Postingan

Would you like to hear a story?

  Sekitar Juni 2020 kemarin, saya mendapat tugas untuk menuliskan cerita perubahan selama mengikuti program Guardian of Peace (GoP) KITA Bhinneka. Saya pikir bahwa tulisan tersebut hanya akan dibaca oleh Kak Therry—selaku direktur, dan Kak Naomi—selaku officer , jadi, waktu itu saya benar-benar buka-bukaan haha. Ternyata (dan entah bagaimana), cerita perubahan saya itu terpilih untuk dimuat di Annual Magazine KITA Bhinneka. Duh, sebenarnya waktu itu saya belum siap mem- publish cerita saya. Ada apa gerangan, Wi, kok kamu masih ‘takut’ orang-orang membacanya?   Saya pikir jawabannya adalah, karena ada beberapa kalimat yang menurut saya cukup sensitif, ada prasangka-prasangka, dan proses membandingkan, meski dengan dalih “begitulah adanya.” Yang mana, kalau orang-orang yang mengenal saya membacanya, somehow I feel like I’ll be hated. Dan waktu itu sempat ada kekhawatiran juga bahwa barangkali, perubahan yang saya rasakan ini hanyalah sementara, sebagai euforia dari berkomunitas la

Sebuah Catatan Tentang Menjadi 'Orang Baik'

Awal mula aku berpikir untuk menulis ini ialah ketika mau bayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) di awal semester (6), namun provider bank -nya tidak ada di dekat rumah (satu kabupaten malahan). Aku pun minta tolong kepada seorang teman yang— honestly tidak terlalu akrab juga dengannya. Hanya kupikir, kalau minta tolong ke dia, pasti ditolong . Akhirnya kutanyakan, sudahkah dia bayar UKT, karena kalau belum aku mau nitip. Niatku kalau dia ternyata sudah bayar, aku akan cari orang lain. Dia pun bilang sudah, namun ketika aku mengutarakan maksud bertanya itu, dia menawarkan, “Sini saya bayarkan, Wi.” Meskipun pada akhirnya aku menolak tawaran teman itu, aku berpikir adakah aku juga akan menawarkan hal serupa ketika ada di posisinya? Begitulah kemudian tercap di kepala bahwa temanku itu (memang) orang baik, dan aku bisa jadi sebaliknya. Hal yang sangat sepele mungkin, tapi karena akhirnya kutulis tentang ini, berarti itu sudah demikian mengganggunya di pikiran sehingga mendesak untuk ditulisk

Yang Terjadi Ketika Anda Membaca 'Catatan' dari Seorang Bookaholic

Gambar
Bertrand Russel—seorang filsuf dari Britania Raya mengatakan, ada dua motif untuk membaca buku. Pertama, kau menikmatinya dan yang kedua, kau bisa menyombongkannya . Jleb. Ketika saya membaca kutipan itu, saya sempat mengelak bahwa “tidak kok, saya membaca buku karena menikmatinya..” namun beberapa jenak kemudian hati nurani saya berbisik, “eii, masa sih, Wi?” Haha, baiklah. Saya menyatakan setuju bahwa kalimat Russel di atas juga berlaku untuk saya. Dan karena itu, saya harus banyak beristighfar. Tuhan tidak suka orang yang sombong :(, dan sungguh saya percaya, manusia sama sekali tidak pantas untuk sombong, apalagi hanya untuk perkara buku bacaan. Akan tetapi bagi saya pribadi, sepertinya perlu ditambahkan satu opsi lagi, bahwa: kau tidak menikmatinya dan tidak pula ingin menyombongkannya. Karena memang, kadang saya tetap menuntaskan membaca sebuah buku, meskipun sudah tidak dihayati lagi. Hari ini sebenarnya saya baru saja menamatkan buku ke-100 yang saya baca, yang dicatat

Man’s Search For Meaning by Viktor E. Frankl : A Reflection

Gambar
    Selamat Malam (silakan menyesuaikan dengan waktu masing-masing), semoga kita senantiasa diberi kelimpahan rahmat oleh Tuhan yang Maha Baik. Beberapa saat kemarin, ketika semester lima saya sudah menunjukkan tanda-tanda akan berakhir, kesibukan saya benar-benar turun drastis. No . Bukan kesibukan, tapi aktivitas yang setiap harinya tugas, diskusi, webinar, dan lain-lain, rasanya kok berhenti secara bersamaan dan menyisakan waktu yang begitu luang bagi saya.   But I like it. Really . Saya sudah lama menantikan saat-saat seperti itu, dimana tidak ada deadline—yang berarti saya bisa leluasa melakukan hobi saya: membaca, mendengarkan musik, sembari tetap mengerjakan pekerjaan rumah. Akan tetapi, di luar dugaan, saya mulai merasakan sesuatu yang asing. Bukan sedih, bukan juga kesepian. Semacam rasa kosong nan hampa yang tiba-tiba merembes ke sanubari. Ya, rasa itu datang begitu saja, dan dimana saja. Di kamar mandi, sebelum tidur, setelah makan.. dan itu sungguh, tidak mengenakkan.

It's been a Month..

  Hai hai.. here we go again ! Salam dan doa untuk kita semua ya, berhubung pandemi (ternyata) belum usai dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan itu, pun karena sejatinya kita memang perlu untuk saling mendoakan. Welcome “Akuuu!” Hari ini saya memilih untuk mengajak “aku” bercerita, alih-alih “saya”. Karena saya sebenarnya berharap yang membaca ini adalah orang-orang yang mengenal baik saya, ketimbang Pembaca Budiman yang sering saya sebut di tulisan-tulisan lalu. Haha, karena ini ringan banget gaes. Kayak sebatas curhatan saya terkait sebulan terakhir ini. Oke. Aku sengaja menulis ini sebelum melanjutkan menulis beberapa refleksi dan review buku yang tertunda. Sekadar check-in saja sih.. Aku membayangkan sedang menceritakan cerita-cerita seperti ini kepada my besties dan karena sulit lagi mendapatkan masa itu, aku luapkan di sini saja :) Satu bulan terakhir ini, menurutku ialah bulan tersibuk (mungkin) selama work from home berlangsung. Utamanya satu dua minggu terakhir ini. L

Menyelesaikan Masalah vs. Melampaui Masalah

Gambar
Selamat malam, semoga Tuhan selalu melimpahi kita dengan rahmat-Nya. Tulisan ini ialah yang terakhir sebelum kami—para GoP berpindah ke  Advanced Class  untuk PLC berikutnya. Meskipun lagak-lagaknya (dilihat dari  slide opening -nya) materi ini sudah masuk  advanced class  sih haha.  Over all,  sebenarnya saya mau bilang materi ini adalah salah satu yang berkesan. Pertama kali saya memberi judul refleksi sama dengan judul PLC-nya, juga pertama kali saya menuliskannya tepat dihari kami diberikan. Hanya saja karena satu dan lain hal, baru sempat saya unggah sekarang. Jadi, semoga Pembaca Sekalian juga merasakan “kesan” yang saya dapatkan. Selamat membaca :) -   Awal bergabung di KITA Bhinneka Tunggal Ika sebagai guardian of peace , saya sebenarnya sering mempertanyakan ini (dalam hati :v), kenapa yah orang-orang KITA pakai istilah “melampaui” alih-alih “menyelesaikan” atau “mengatasi”? Biasanya kata tersebut disandingkan dengan masalah, konflik, pertentangan, keterbatasan, yang

Mungkinkah Melakukan Perubahan Sosial Tanpa Kekerasan?

Gambar
  Mungkinkah mengintervensi sosial tanpa kekerasan? Pertanyaan inilah yang menjadi topik di awal PLC #17 kemarin tentang The Spirit of Non-Violence . Dan mendengarnya, I really have no idea . Pikiran saya malah melayang-layang ke masa SD-SMP, kepada cerita-cerita guru saya tentang perbedaan anak sekolah pada masanya dan pada masa saya ketika diceritakan. Pesannya sama saja, mereka kerap ditegasi dan dikerasi oleh guru mereka, yang menjadikannya patuh, disiplin, dan bahkan itu didukung oleh orang tua mereka. Lalu, pikiran saya itu singgah juga di pesantren setara SMP saya. Para ustazd yang tidak segan memukul, pun pengurus OSIS (disebut OSPI), termasuk saya sendiri. Mungkin ini disebut negative discipline ya? Dan saya percaya bahwa metode itu memang banyak negatifnya.   Tetapi, bagaimanapun saya menganggap itu bukanlah sebuah kesia-siaan. Mengintervesi (dalam artian mengubah keadaan yang melibatkan orang lain) dengan kekerasan toh masih banyak dipakai di perkuliahan karena katanya