Some Theories About How The Conflict Appears


Sepertinya wawancara ekslusif seorang moderator dengan Tuan Konflik (baca di sini: https://abdatullah.blogspot.com/2020/05/eksklusif-bincang-damai-bersama-konflik.html ) belum bisa memahamkan kita lebih dalam tentang penyebab konflik itu sendiri. Untuk itu, saya di sini akan coba menjabarkannya (lagi), berdasarkan teori-teori yang ada. Haha. Sebenarnya Itu bukan keinginan saya, Teman-Teman. Tapi, PLC ke-15 ini (wah tidak terasa sudah sejauh ini) sungguh membahas tentang teori-teori penyebab konflik itu. Kemarin Kak Therry apik sekali menjelaskan teori tersebut beserta contohnya di kehidupan nyata.




Berhubung saya tidak banyak tahu sejarah, penjelasan saya mungkin akan membosankan haha. Apalagi, saya kurang fokus mencatat nama-nama pencetus teorinya karena tempo hari sambil nyambi menyetrika baju :(

Tapi bagaimana pun juga, saya merasa materi ini sangat bermanfaat untuk benar-benar memahami konflik di sekitar kita. Terlebih lagi, saya dapat ‘jatah’ wajib merefleksi pekan itu (yang sekarang sudah telat tiga hari :v) haha. Jadi, selamat membaca :)

1. Human Needs Theory

Jadi, teori yang pertama mengatakan bahwa konflik itu terjadi karena ada salah satu atau salah dua, tiga dan seterusnya dari kebutuhan manusia yang tidak terpenuhi. “Tidak terpenuhi” di sini tentu yang merasakan ialah diri kita sendiri. Sehingga, inilah yang kadang membingungkan. Seringkali kita merasa tidak melakukan kesalahan apapun, atau kita juga tidak merasa merebut sesuatu dari orang lain, namun nyatanya, kitalah yang menghalangi orang tersebut terpenuhi kebutuhannya.

Teori ini kalau tidak salah diusung oleh John Burton, berdasarkan hierarki kebutuhan manusia oleh Abraham Maslow. Bisa kita lihat pada piramida di bawah ini:




Saya juga cukup tertarik membahas piramida di bawah ini—masih ada hubungannya dengan teori Maslow itu, bahwa ternyata semakin ke bawah, maka hal tersebut semakin sulit dinegosiasi (hah?).




 Maksudnya begini Teman-Teman, jika konflik itu berasal dari pertentangan kepercayaan, kebutuhan, dan nilai yang dianut, maka konflik itu sangat sulit terhindarkan. HARGA MATI, katanya. Lain pasal jika yang berbeda itu adalah data (yang mana bisa kita artikan informasi) atau posisi. Palingan baku cekcok sedikit saja, habis itu selesai. Beda kan, kalau yang satu bilang berbicara kotor itu worst dan satunya fine-fine aja misalnya, nah kalau mereka satu tim itu biasanya bakalan kacau kalau tidak menerapkan respek terhadap nilai yang dianut satu sama lain. Got it?

Yang banyak terjadi juga pada teori ini ialah, ketika harga diri seseorang merasa tersakiti. Misal, ketika dalam satu tim yang junior ternyata lebih cerdas dan kritis dibanding seniornya, sehingga harga diri si senior sebagai orang yang lebih tua dan berpengalaman pun tersakiti. Nah, di sini biasanya akan terjadi konflik yang dimanifestasikn dalam bentuk lain (ya kan si senior mana mungkin bilang: saya tidak suka kamu lebih cerdas daripada saya). Biasanya diwujudkan dalam bentuk penolakan pendapat, tidak mengapresiasi, dan sebagainya.


2. Realistic Group Theory

Singkat saja, teori ini bilang bahwa salah satu  penyebab konflik juga ialah keterbatasan sumber daya, yang menyebabkan orang-orang harus bersaing untuk memperolehnya. Ya sesederhana pembagian sembako dadakan yang tidak berkupon. Pasti berpeluang besar untuk terjadi konflik. Sama juga dengan konflik agraria (tanah terbatas kan yak), atau di negara-negara di Benua Afrika yang untuk memperoleh air bersih pun harus berebut :( (Alhamdulillah air kita cukup).

Sebenarnya teori ini, dan teori-teori lain subyeknya ialah kelompok. Namun, bisa juga kita tarik ke pengalaman antar-individu, atau individu-kelompok. Misalnya lagi, perebutan kekuasaan. Meskipun kekuasaan bukanlah resource, tapi terbatasnya jumlah “status” pemimpin yang dibutuhkan, tentu menjadikan ada persaingan di dalamnya. Yah, biasa terjadilah  ya.. dekat-dekat pilpres atau pilkada ada-ada saja perang dingin antara kubu A dan kubu B, C, D dan seterusnya.

Ini sih no debat kalau saya hehe.

 3. Psychoanalytic Theory

Sigmund Freud mengatakan, ada tiga (hmm semacam fungsi) dalam tubuh manusia yang mempengaruhi emosionalnya: Id, ego, dan superego.

Id adalah dorongan manusia untuk menghidupi insting (kebutuhan dasar)-nya. Sifatnya egois, tidak realistis, dan tujuannya mendapatkan kenikmatan sebanyak-banyaknya. Id ini berada di alam bawah sadar kita. Superego sebaliknya, mengendalikan agar pemenuhan kebutuhan itu tidak melanggar moral atau values yang berlaku di kehidupan. Adapun ego, ialah yang menghubungkan keduanya.  Saya mengutip ini dari id.quora.com, bahwa cara mudah mengingat ini ialah, bayangkan seorang individu yang dibisiki setan dan malaikat yang sedang berdebat. Setannya adalah id, malaikat sebagai superego, dan si individunya ialah ego. Oh, sekalian saja saya sertakan link-nya: https://id.quora.com/Apa-itu-id-ego-dan-superego :)


Ya, seperti yang pernah saya bilang di refleksi Resilience (kalau tidak salah), apa-apa yang terjadi dalam diri manusia itu pasti ada penjelasannya secara biologis dan psikologis (jika itu terkait dengan sikap). Seolah-olah Tuhan tidak mau memberi jawaban kepada manusia, bahwa itu terjadi begitu saja, melainkan ada alasan, pun ada maksudnya.

Bagian ini sebenarnya pernah disinggung Tuan Konflik dalam wawancaranya eksklusifnya dengan moderator di Bincang Damai. Sayangnya si moderator itu tidak mengulas alasan psikologis ini lebih dalam. Ckckck, dasar si moderator -_-


4. Social Identity Theory




Hmmm~

Saya mendesah ketika sampai di bagian ini. Karena saya tahu penjelasannya sangaat panjang, dan sedikit bingung bagaimana meringkasnya agar tidak semakin membosankan untuk dibaca haha.

Jadi teori ini ialah tentang bagaimana kelompok-kelompok yang terbentuk karena adanya persamaan (meskipun dari hal sepele) itu bisa berpeluang menimbulkan konflik. Yups. Pertama-tama, itu sudah naluri manusia untuk cenderung bergabung dengan orang yang memiliki kesamaan dengannya. Sama-sama dari Universitas A, sama-sama suka puisi, sama merk mobil, handphone, skincare (?), sama-sama memperjuangkan perdamaian, dan sebagainya. Hal ini disebut social categorization, which is good. Namun pada tahap selanjutnya, yang hampir tidak bisa dihindarkan ketika kelompok-kelompok tadi sudah terbentuk ialah, berusaha menujukkan identitas kelompok dengan cara membanding-bandingkannya dengan kelompok lain: social comparison.

Yups. Membandingkan di sini tidak mesti menjelek-jelekkan kelompok lain. Tetapi, lebih ke menonjolkan kelebihan yang kelompok itu punya. Misal, jumlah yang lebih banyak, aktivitas yang lebih rutin, anggota yang lebih beragam, dan semacamnyalah. Kalau kita berada di sisi yang (kita rasa) lebih unggul, tentulah ada pride tersendiri. Tapi bayangkan jika kita malah di posisi sebaliknya. Kelompok dengan anggota lebih sedikit, kegiatan sekali setahun saja, diisi oleh orang itu-itu saja, hmmm, kondisi seperti akan mendatangkan insecurities sehingga apabila kedua jenis kelompok itu dipertemukan, peluangnya sangat besar untuk berkonflik. Perbedaan pendapatlah, ketidakpercayaanlah, rasa berkuasa, dii satu sisi ada yang minder, dan sebagainya-dan sebagainya.

Saya rasa contoh dari konflik karena social identity ini sangat sering kita jumpai di Indonesia sebagai negara who has a lof of diversity. Konflik agama, suku/ras, paham ini-paham itu. tapi yang cukup menarik juga ketika Kak Therry mencontohkan ini ialah, pada outbound-outbound di luar sana yang sering membagi tim secara random, lalu diharuskan membuat yel-yel, yang tiba-tiba aja gitu ya langsung berlomba-lomba juga menunjukkan ini kelompokku loh, baru ketemu langsung kompak :). Saya yakin, jika kita berada di tim yang—ternyata kurang kompak, akhirnya menggerutu sendiri.

Kenapa sih dapat orang-orang kalem?
Wah timnya kok orang-orang seru semua!
Duh sialnya ada di kelompok ini..

Haha. Dan kenapa ini menjadi contoh yang berkesan bagi saya ialah, karena saya betul-betul mengalaminya :v


5. Social Dominance Theory

Oke. Sudah sampai di teori terakhir dan cukup menarik juga sebenarnya. Tapi secara singkat mungkin sebagaimana namanya, kata teori ini, konflik itu bisa sekali muncul dalam satu kelompok/komunitas jika ada dominasi yang berlebihan dari satu atau dua orang di antaranya. Contoh real-nya ialah Orde Lama dan Orde Baru kita. Saya membayangkan begini (sekali lagi ini hanya bayangan saya haha), Soekarno waktu itu mau mendeklarasikan dirinya menjadi presiden seumur hidup, yang menyebabkan kubu Soeharto geram. Lalu, sepertinya semesta mendukung itu sehingga Soeharto pun naik sebagai presiden. Soeharto juga tidak mau kalah sama Soekarno. Setelah memimpin cukup lama (31 tahun), ada desas-desus bahwa dia ingin menjadikan keturunannya sebegai penerus kekuasaan. Dan yah, pastilah ada konflik kepentingan di dalamnya.

Mungkin itulah alasan konflik menjamur kala itu, bahkan sampai sekarang ada yang belum tertuntaskan. Okelah. Saya tidak ingin tulisan ini menjadi ulasan sejarah yang saya sendiri merasa tidak cukup kompeten untuk menjelaskannya haha.

Kalau kita bawa ke kehidupan sehari-hari, sering kan ya kita melihat senior-senior yang sudah demisioner masih saja ingin mengatur-atur pemimpin yang menjabat di organisasi/himpunan. Percayalah, itu tidak baik untuk iklim kebersamaan dalam kelompok. Meskipun masukan dari si senior ini tentu demi kebaikan kelompok, kadang perbedaan nilai yang dianut (seiring berkembangnya zaman juga) bisa saja tidak lagi cocok diterapkan di kelompok tersebut. Terlebih lagi, pemimpin ada untuk memimpin kan? Kapan orang lain akan berkembang jika yang mendominasi itu-itu saja?

Yah begitulah penjelasan tentang penyebab-penyebab konflik itu saya jabarkan dengan tanpa kaidah-kaidah ilmiah :v (Saya pribadi meminta maaf pada cabang ilmu yang fokus membahas ini).

Akhir kata, saya ingin bilang bahwa, mengetahui teori-teori konflik akan membantu kita menganalisis akar masalahnya apa? Karena seperti yang saya katakan di awal, bahwa kadang kita mendapati satu dua orang yang terhadap kita kok sering sekali berkonflik. Entah itu beda pendapat, apa-apa tidak setuju, sering saling bad mood-an, sementara kita merasa tidak melakukan kesalahan yang berarti. Hm, di situlah bisa kita telaah lagi. Apakah karena ada kebutuhannya yang karena kita itu tidak terpenuhi, atau perebutan limited resources, atau itu barangkali karena dianya yang memang belum stabil secara emosional, apakah karena identitas kelompok yang selalu dibangga-banggakan, atau karena ada dominasi dalam konotasi negatif di dalamnya.

Oke? Selamat berpikir~



PS: Setiap gambar dalam tulisan ini ialah hasil screenshots dari PPT materi PLC #15 Akademi KITA Bhinneka Tunggal Ika



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Novel "Memberi Jarak pada Cinta"

Naluri: Review Novel "Penguasa Lalat" oleh William Golding