Man’s Search For Meaning by Viktor E. Frankl : A Reflection

 

 

Selamat Malam (silakan menyesuaikan dengan waktu masing-masing), semoga kita senantiasa diberi kelimpahan rahmat oleh Tuhan yang Maha Baik.

Beberapa saat kemarin, ketika semester lima saya sudah menunjukkan tanda-tanda akan berakhir, kesibukan saya benar-benar turun drastis. No. Bukan kesibukan, tapi aktivitas yang setiap harinya tugas, diskusi, webinar, dan lain-lain, rasanya kok berhenti secara bersamaan dan menyisakan waktu yang begitu luang bagi saya.  But I like it. Really. Saya sudah lama menantikan saat-saat seperti itu, dimana tidak ada deadline—yang berarti saya bisa leluasa melakukan hobi saya: membaca, mendengarkan musik, sembari tetap mengerjakan pekerjaan rumah. Akan tetapi, di luar dugaan, saya mulai merasakan sesuatu yang asing. Bukan sedih, bukan juga kesepian. Semacam rasa kosong nan hampa yang tiba-tiba merembes ke sanubari. Ya, rasa itu datang begitu saja, dan dimana saja. Di kamar mandi, sebelum tidur, setelah makan.. dan itu sungguh, tidak mengenakkan.

Akhirnya suatu ketika saya berdoa kepada Tuhan, “Ya Allah, Tuhan yang Maha Khabir, ada apa dengan perasaan itu? Mohon bantu saya mengenali penyebabnya dan bagaimana mengatasinya..”

Somehow I feel that this book (di judul tulisan ini), adalah jawaban dari doa saya itu.


Sumber: Mizanstore.com



Buku ini memang sudah lama menjadi wishlist saya. Saya tidak tahu penulisnya, sampulnya juga tidak terlalu menarik (dua alasan paling sering untuk saya membaca sebuah buku). Saya mau membacanya karena disampul buku itu tertera sudah terjual lebih dari 16 juta eksemplar, and I was like: Wow, I must read this. Padahal antriannya panjang loh di iPunas, tapi waktu itu saya iseng saja mengecek dan Alhamdulillah dapat stok.

Setelah saya membacanya, terjawablah sudah rasa penasaran “kenapa sih sampai segitu banyaknya yang baca” haha. Memang luar biasa pemirsah. Mengawali buku ini dengan otobiografi si penulis yang seorang psikiater dan penyintas Holocaust, benar-benar magnet yang membuat pembaca ingin membalik terus halamannya (sekalipun bacanya e-book :v). Saya pikir tidak perlu yah mereview lagi kisah dr. Frankl itu. Singkatnya, kisah itu sangat memilukan, atau kalau ada kata yang lebih memilukan dari “memilukan”, maka tentu saja saya akan menggunakan itu. Saya sampai ingin menangis membacanya hiks. Tapi perasaan sedih seperti itu tidak dirasakan sepanjang cerita (setidaknya untuk saya), karena ada humornya juga, ada kebetulan dan keberuntungan kecil yang ‘membahagiakan’. Pembaca yang Budiman, silakan bacalah sendiri, kesaksian penyintas salah satu  tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah peradaban manusia.

 

Oke, lantas mengapa saya menyebut buku ini sebagai jawaban dari doa saya?

Itu sejatinya baru terlihat pada bagian kedua dan seterusnya dari buku ini. Saya bukannya mengerti seluruh isi bukunya haha. Sebagai orang awam, ada juga beberapa bagian yang tidak saya mengerti, terutama jika melibatkan istilah-istilah yang repot juga kalau mau dihapal semua. Namun demikian, saya bisa menggarisbawahi bahwa, mungkin saja (kemungkinannya tidak kecil), yang saya rasakan sebagaimana di pengantar tulisan ini ialah, yang dr. Frankl sebut kehampaan eksistensial. Sederhananya diartikan begini: kondisi dimana manusia merasa hidupnya tidak atau sudah tidak memiliki makna. Katanya, kondisi seperti itu sering melanda pekerja kantoran di hari Minggu atau akhir pekan (mereka punya data terkait ini).

Sebenarnya tidak sesimpel itu sih. Sebab, sempat dijelaskan juga bahwa, banyak orang yang mulai merasa tidak bermakna setelah mengalami tiga hal: 1) penyesalan yang amat dalam, 2) kematian (entahlah, sepertinya yang dimaksud di sini orang terdekat), dan 3) penderitaan. Which is kalau cuma ukuran “tidak tahu mau melakukan apa di waktu luang yang tumpah-tumpah” sepertinya memang belum sampai ke kehampaan eksistensial yang hakiki. Sehingga saya membayangkan (kasus saya), mungkin di semester berikutnya, ketika saya disibukkan oleh tugas dan urusan lain yang menyertainya, saya tidak merasakan kosong atau hampa itu lagi.

Tapi serius, sekalipun saya tidak merasa hampa di awal liburan ini, saya teringatkan kembali, “Iya yah, saya pun belum tahu makna hidup saya.” Dalam hal ini perlu digarisbawahi, bahwa “makna” di sini ialah kebermanfaatan kita kepada sesama makhluk. Adapun untuk tujuan hidup, di agama kita kan sudah dimaktubkan, Wahai manusia! Tidaklah kamu diciptakan melainkan untuk beribadah kepada-Nya.

Dan melalui ilmu agama juga, saya tahu bahwa beribadah kepada Tuhan (secara vertikal) itu kurang afdhol bila tidak disertai ibadah yang sifatnya horizontal (berbuat baik kepada sesama makhluk). Mohon maafkan diksi saya, sebenarnya kurang tahu juga apakah itu “kurang afdhol” atau “tidak disukai” atau yang lebih puitis sedikit, “pincang?”, semoga Pembaca yang Budiman bisa mengerti maksud saya.

Begitulah kemudian buku ini kembali mendesakkan banyak pertanyaan refleksi kepada saya:

Apa makna hidupmu, Wi?

Sudah sejauh mana kebermanfaatanmu?

Apa Kau akan hidup untuk dirimu sendiri?

Hei, mau menyerah begitu saja dengan dalih tawakkal? Padahal usaha dan doamu belum seberapa..

 

Padahal dulu (yah sejak SMA sampai awal kuliah-lah), saya adalah orang yang kompetitif dan antusias. Ikut lomba inilah, nulis inilah, pokoknya harus begitu-beginilah. Namun seiring satu per satu goals itu tidak berhasil saya capai (ada juga yang sudah dicapai, namun tidak mau ditingkatkan), saya kemudian (perlahan) menjadi orang yang: yaudahlah, ngalir saja. Termasuk juga beberapa goals yang melibatkan orang lain, keluarga misalnya.

Mungkin kasusnya juga sama dengan liburan kali ini. Ada dua sebenarnya, dua dilema. Pertama, saya seperti ingin ‘balas dendam’ karena waktu saya kemarin-kemarin mostly dihabiskan di depan laptop, tanpa tidur siang.. maka beberapa hari ini saya mau menjauh dari laptop, dan tidur setiap saya mengantuk. Sehingga meskipun saya sebenarnya punya banyak bahan untuk menulis, saya tetap berdalih jika ingin menyelesaikan itu: nanti sajalah, santai-santai dulu. Kedua, karena saya tahu pandemik masih belum berakhir, saya tidak tertarik untuk meninggalkan rumah. Event-event yang mau saya ikuti juga jadinya daring—membuatnya kurang menarik lagi di mata saya, jadi ya.. untuk menghasilkan karya atau apply ke event tertentu pun masih dipikir berkali-kali. Bisa jadi saya mengalami keduanya dalam satu waktu, sehingga tidak aneh kalau saya merasa hampa sekali kehidupankuu~

Sebagai sedikit pembelaan, tidak sepenuhnya "tidak berkualitas" kok haha. Saya masih membaca e-book, tapi memang frekuensinya yang tidak beraturan *maklum, gawai sering sekali bikin salah fokus :(

Lalu, di malam hari juga saya banyak menghabiskan waktu dengan keluarga. Bercanda, mengawasi adik membaca, nonton bareng.. Juga, akhir-akhir ini saya sedikit-sedikit pakai skincare (hihi), sesuatu yang hampir tidak pernah saya lakukan selama ehm, sejak kesibukan melandalah.

Tapi sekali lagi saya serius untuk mulai aware dengan makna hidup tadi. Sudah dibahas sedikit-sedikit juga sih di salah satu materi PLC saya (kalau belum tahu, Peace and Leadership Class oleh KITA Bhinneka Tunggal Ika). No, bukan salah satu. Kayaknya ada empat materi PLC yang menyinggung makna hidup—dan secara keseluruhan—pesan yang ingin disampaikan buku Man’s Seacrh For Meaning ini.

Kesimpulannya apa? Di buku tersebut sudah dijelaskan kok bagaimana agar keluar dari perasaan hampa atau lebih tepatnya, bagaimana cara menemukan makna hidup. Akan cukup panjang kalau saya bahas satu-satu. Tetapi jika itu dibawa ke kasus saya, tidak ada sih cara konkret. Saya mungkin bisa menyimpulkan begini: paksa diri untuk tetap produktif (dengan tidak merasa terbebani), do self care! Olahraga, tidur yang cukup, skincare-an, perdalam soft-skill, dan lakukan hobi. Serta, yang tidak kalah penting dan harusnya ini yang terpenting ialah, meningkatkan jiwa spiritual (baca: mendekatkan diri kepada Tuhan). Ya. Saya pernah membaca bahwa orang yang dihatinya bersemayam Tuhannya, tidak akan pernah merasa kesepian. Sekalipun yang rasakan itu bukan kesepian, saya tetap yakin bahwa Tuhan belum ‘betah’ tinggal di hati saya yang banyak maksiatnya ini :(

Yah seperti itulah mungkin, apa yang bisa saya refleksikan dari membaca buku hebat ini. Saya bersyukur sekali karena merasa membaca buku ini di waktu yang tepat. Alhamdulillah.. Maka sekali lagi benarlah kalimat-kalimat di ceramah agama, bahwa Tuhan memberikan yang kita butuhkan, dan Dia jugalah yang paling tahu kapan kita membutuhkannya.-

 

Komentar

  1. Wahh keren kak wiwi.

    Jadi makin penasaran dengan buku ini. Saya baru baca setengahnya.👍

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasihh kak wahyuu :)

      Tuntaskan bacanya kak haha👍

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Novel "Memberi Jarak pada Cinta"

Some Theories About How The Conflict Appears

Naluri: Review Novel "Penguasa Lalat" oleh William Golding