Sebuah Catatan Tentang Menjadi 'Orang Baik'

Awal mula aku berpikir untuk menulis ini ialah ketika mau bayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) di awal semester (6), namun provider bank-nya tidak ada di dekat rumah (satu kabupaten malahan). Aku pun minta tolong kepada seorang teman yang—honestly tidak terlalu akrab juga dengannya. Hanya kupikir, kalau minta tolong ke dia, pasti ditolong. Akhirnya kutanyakan, sudahkah dia bayar UKT, karena kalau belum aku mau nitip. Niatku kalau dia ternyata sudah bayar, aku akan cari orang lain. Dia pun bilang sudah, namun ketika aku mengutarakan maksud bertanya itu, dia menawarkan, “Sini saya bayarkan, Wi.”

Meskipun pada akhirnya aku menolak tawaran teman itu, aku berpikir adakah aku juga akan menawarkan hal serupa ketika ada di posisinya? Begitulah kemudian tercap di kepala bahwa temanku itu (memang) orang baik, dan aku bisa jadi sebaliknya. Hal yang sangat sepele mungkin, tapi karena akhirnya kutulis tentang ini, berarti itu sudah demikian mengganggunya di pikiran sehingga mendesak untuk dituliskan.

Kejadian itu kemudian me-recall banyak ingatan, yang menunjukkan memang sedari dulu (sejak SD barangkali) tidak banyak orang yang minta tolong padaku, bahkan itu teman dekat sendiri. Minta tolong di sini hampir dari segala aspek, kecuali mungkin dalam hal pelajaran, aku masih agak sering mendapat chat untuk dijelaskan, atau untuk diperlihatkan contoh tugas :’)

Salah satu kejadian yang paling kuingat juga ialah ketika kelas 3 SMA. Waktu itu akhir semester, dan LKS-LKS (a.k.a Lembar Kerja Siswa) dari setiap mapel sudah ditagih. Aku, adalah orang yang paling malas mengisi-isi LKS. Karena (pikirku) toh jawabannya sudah didikte di lembaran buku itu juga, jadi tidak mengasah cara berpikir, tidak menantang, hanya buang-buang tenaga. Tapi mau tidak mau harus kuselesaikan meskipun jawabannya aku singkat-singkat.

Beberapa jam sebelum deadline, sambil mengerjakan dengan setengah hati, aku tertidur. Ketika bangun, anehnya LKS-ku sudah terisi penuh. Ternyata teman sekamarku waktu itu yang mengisikan haha. Senang? pasti :), senangnya karena dia tidak membangunkanku karena dia tahu—aku benci sekali diganggu tidurnya, lalu mengisi LKS-ku sekalipun aku tidak memintanya :v.

Ingatan itu kemudian membuatku berpikir, “kalau aku berada di posisi seperti itu, aku tidak bakalan mengerjakan LKS temanku.” Ya, itu jujur. Bahkan kalau si teman tadi tidak mengisikan LKS-ku, it’s okay, aku akan tanggung konsekuensi dari kemalasan dan ketiduran itu, maka aku ingin temanku (jika kami bertukar posisi) juga melakukan hal serupa.

 

-

Aku pernah membaca bahwa manusia adalah makhluk yang paradoks. I agree! Sebab aku menganggap diriku  bukan orang baik, namun seringkali merasa lebih baik dari orang lain, bahkan yang kuanggap lebih baik dariku sekalipun. Tidak banyak orang tahu, tapi aku sering melakukan kenakalan-kenakalan yang (untungnya) masih dalam taraf wajar. Bolos, tidak memperhatikan guru, melanggar aturan sehari-hari (di asrama), bersikap jutek, dan sebagainya.

 Di tahun 2020 kemarin, berkat masuk di KITA Bhineka Tunggal Ika, perlahan-lahan aku mulai berdamai dengan diri sendiri, termasuk belajar untuk tidak membandingkan diri dengan orang lain (yang mana menghasilkan narasi “aku lebih baik” atau “aku tidak lebih baik”). Ya, ada satu value of peace yang kerap dimunculkan pada materi-materi Peace and Leadership Class yaitu no comparison. Sampai di situ, secara kognitif, sudah kupahami ‘teori’-nya. Akan tetapi, prakteknya masih susah dan sampai sekarang pun masih sering lupa. Bedanya sekarang setiap kali membandingkan, tidak butuh waktu lama untuk sadar bahwa compare yourself to others itu tidak sehat untuk kedamaian jiwa :v. Tapi, bahkan setelah menerima materi itu, aku masih sering menganggap “aku tidak lebih baik” dari orang lain. Entah karena faktor quarter life crisis atau memang aku banyak bertemu orang-orang yang membuatku minder.

 Sampai ada satu kejadian yang paling kuingat. Ketika itu aku melakukan kesalahan sebagai ketua kelas di suatu matkul. Aku ditegur, dan seketika juga berusaha untuk memperbaikinya (meskipun ternyata cuma bisa minta maaf). Tidak terduga, ketika aku minta maaf (melalui pesan daring) itu, dosenku bilang seperti ini:

Tidak apa-apa, Nak. Terima kasih sudah menjadi pribadi yang sangat bagus.


Jleb. Responku setelah membaca (chat) itu adalah:

Satu, malu.

Dua, tertawa sinis (menertawai diri sendiri).

Tiga, syukur. Allah Maha Menutupi Aib hamba-Nya.

 Mungkin itu pertama kalinya kudengar seseorang memuji karakterku. Pujian yang biasa kudengar (meskipun yang pantas dipuji itu hanya Allah) adalah terkait nilai belajarku, keseriusanku (tekad maskudnya wkwk), kadang-kadang juga dipuji dari segi penampilan (LOL). Dan memang, sebagaimana yang kukatakan di awal, aku sendiri pun merasa bukan orang yang pantas dipuji kepribadiaannya. Aku tidak tahu ketika bertemu teman lama, apakah harus menyapanya diluan atau menunggunya menyapaku. Ketika berpapasan dengan tetangga di jalan (misal saya naik motor dan dia jalan kaki), aku tidak tahu apakah harus singgah menawarinya tumpangan atau lebih baik tidak usah. Bahkan sesederhana sapaan, kadang aku bingung ingin memanggil orang “kak” “pak” “bu” “tante” atau “om”. Pikirku banyaak sekali hal yang tidak kuketahui.

Namun demikian, (setelah kebiasaan merefleksi di KITA), aku jadi berpikir, apakah selama ini aku saja yang tidak menghargai diriku? Apakah aku terlalu merendah sehingga lupa mengapresiasi diri sendiri?

Barangkali memang aku masuk kategori baik, tapi bukan pada jalur “suka menolong”. (Sebenarnya lucu bahwa ‘baik’ di sini diartikan sangat luas oleh sebagian kita. Dermawan, suka menolong, ramah, tidak mudah marah, dll sering kali diwakili dengan “baik” sehingga sangat sulit membuat standar bagaimanakah hakikat baik itu..) Dalam standarku sendiri, kebaikan juga termasuk berusaha tidak menyakiti perasaan orang lain, tidak mengambil hak orang lain, meminta maaf dan berterima kasih pada tempatnya, kendati orang (yang betul-betul) baik sekalipun tentu berpeluang untuk tergelincir (melanggar standar baiknya sendiri).

 Aku pikir sampai situ saja sudah aman. Punya pikiran bahwa aku adalah orang baik (menurut standarku sendiri, and I don’t really care about other people’s standard), tetapi yakin seyakin-yakinnya aku manusia biasa yang kapanpun bisa berbuat salah. Dengan begitu aku tidak terlalu merendahkan diri, tidak juga terlalu sibuk dengan penilaian orang (setidaknya aku berusaha), dan tidak terlalu kecewa dan menyalahkan diri jika suatu saat aku melakukan kesalahan.

 Namun, ketika menonton Love Alarm 2 ±sebulan yang lalu, pemikiran itu goyah. Ada satu episode dimana lead male yang bernama Hye-young (diceritakan sebagai orang yang tangguh, pekerja keras, penyayang, sopan, pokoknya baik plus plus haha) baru tahu ternyata ayahnya adalah seorang narapidana (dari membunuh).

Hal itu baru ketahuan ketika ibunya Hye-young dapat surat dari pengadilan yang mau memberikan remisi kepada si bapak asalkan ada persetujuan dari wali. Di situlah ibu Hye-young menceritakan semuanya, dan berkata, “Meski begitu (ayahmu seorang pembunuh), kamu tumbuh dengan sangat baik, Nak.”

Sebelum memutuskan apakah setuju atau tidak terkait remisi itu, Hye-yoong pun mengunjungi ayahnya di penjara. Melihat gerak-geriknya, Hye-young tahu bahwa ayahnya itu belum sepenuhnya sadar (a.k.a tobat). Ibu Hye-young selalu bilang bahwa dia sangat mirip dengan ayahnya sehingga dia tahu kapan ayahnya itu berbohong atau tidak. Dan dalam kunjungannya tersebut, ada narasi (dalam hati) Hye-young yang kurang lebih seperti ini:

Selama ini aku mengira bahwa ayahku adalah orang baik karena aku pikir diriku adalah orang baik. Apakah benar aku tumbuh dengan baik?”

 

 

Wahh iya juga yah... barangkali tidak benar juga menganggap diri sebagai orang baik sekalipun itu berdasarkan standar sendiri. Karena sekalipun ditanya, apakah kamu benar-benar telah menjadi orang baik? Aku pikir tidak ada yang bisa menjamin ya atau tidaknya.

Setelah direfleksi, direfleksikan lagi… Ahhh, ternyata aku lupa satu hal. Once Kak Therry said, “jangan mencoba jadi orang baik, tetapi cobalah menjadi orang yang lebih baik.” Di sinilah mungkin letak kesalahanku. Comparison-nya memang sudah dikurangi, tapi malah terlalu fokus pada diri sendiri. Aku merasa ketika sudah melalukan yang sesuai dengan standar baikku, aku sudah jadi orang baik. Jadinya ya tidak ada keinginan untuk memperbanyak (dan memperdalam) interaksi, menganggap diri ‘cukup’, tidak ada usaha untuk merubah yang buruk dengan dalih self-love (padahal aku belum tahu juga bagaimana self-love itu :v). Aku jadi ingin berkata kepada diriku, “jangan cintai aku, apa adanya.. jaaangaaan~”

Yups. Cukup panjang pemirsah, tapi percayalah proses menemukan (atau menyadari(?)) pikiran-pikiran tersebut lebih panjang, dan bahkan bisa sampai seumur hidup kalau-kalau kutemukan lagi kegelisahan dalam mengamalkan prinsip “don’t be the good one, but be the better one ini. Pesanku (to myself or you—who feel the same), jangan pernah bosan untuk memperbaiki diri. Anggap saja taraf tertinggi (ujung) dari kebaikan itu adalah kematian, dimana selama kau belum mati, kau masih bisa menjadi orang yang lebih baik dari dirimu yang sekarang. But that’s privacy, Wi. Apakah kamu menjadi lebih baik atau tidak, itu antara kau dan Tuhan saja. Never expect anything from others but never leave them too.

Sekian :)

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Novel "Memberi Jarak pada Cinta"

Naluri: Review Novel "Penguasa Lalat" oleh William Golding

Some Theories About How The Conflict Appears