Eksklusif: Bincang Damai Bersama Konflik*



*Apa yang tertulis di bawah ini merupakan refleksi dari PLC #11, dengan judul Nature of Conflict.







ModeratorSelamat pagi Pembaca yang Budiman, saya ucapkan selamat datang di laman ini. Saya moderator merasa sangat antusias—dan saya yakin Pembaca Sekalian pun begitu. Sebab kita kedatangan tamu spesial, dia datang dari dimensi waktu dan ruang yang tak disangka-sangka.. Kita sambut, Tuaaan Konflik! Apa boleh saya memanggil Anda “Tuan”?

Tn. Konflik: Oh ya silakan saja. Halo..

Moderator: Aduh Tuan Konflik, kami bersyukur sekali nih Anda berkesempatan hadir di Bincang Damai kali ini. Jadi, untuk beberapa menit ke depan Tuan cukup jawab saja pertanyaan dari saya. Apa itu jelas?

Tn. Konflik: Oh iya, jelas. Sila dilanjutkan, Moderator.

Moderator: Oke, langsung saja ya. Pertama-tama, coba deskripsikan dulu diri Anda, Tuan.

Tn. Konflik: Iya. Saya yakin tanpa saya jelaskan pun, para Pembaca yang Budiman pasti tahu siapa saya. Bahkan bisa dibilang, tidak ada satu pun manusia terhadap manusia lain yang saya tidak pernah hadir di antaranya, jika mereka memang intens berinteraksi. Ini sih cuma persoalan istilah ya.
         Tidak jarang juga loh, para ilmuan berusaha mendefinisikan saya. Misalnya saja Karl Marx, Sigmund Freud, dan Charles Darwin.

Moderator: Ohiya Tuan, seperti yang terangkum pada gambar di bawah ini.


             
Tn. Konflik: Nah, betul sekali. Tapi kalau saya pribadi sih, disebut "pertentangan dari dua pihak atau lebih" sudah cukup. Asalkan perlu digarisbawahi, “dua” pihak atau lebih itu bukan berarti harus dua atau tiga kepala. Melainkan bisa juga dari satu raga yang sebagaimana Platon bilang, terdiri dari tiga gerak jiwa. Atau sederhananya, antara akal dan yang kita sebut hati nurani pun boleh.

Moderator: Hmm paham, paham.. Tapi ini berbeda dengan masalah kan ya? Soalnya tidak sedikit juga tuh yang sulit membedakan antara konflik dengan masalah. Bisa diutarakan sedikit tidak, perbedaannya dimana?

Tn. Konflik: Kalau masalah, ya cakupan atau batasannya lebih luas. Ketika kenyataan sudah tidak sesuai dengan ekspektasi kita, ya itu sudah dikategorikan masalah, meskipun tidak ada pertentangan. Misal, kita diberi banyak tugas kuliah di saat kuota sedang sekarat-sekaratnya. Masalah kan? Tapi itu bukan konflik alias pertentangan. Kalau konflik, ya jelas antara siapa dan siapa yang berseberangan, meskipun itu hanya antara logika dan nurani. Akan tetapi, konflik adalah bagian dari masalah juga. Jadi bisa dibilang, semua konflik adalah masalah, tapi tidak semua masalah itu konflik.

Moderator: Wah, menarik sekali Tuan Konflik. Semoga yang masih sulit membedakan keduanya dapat paham ya melalui penjelasan Anda.
            Nah pertanyaan selanjutnya nih. Dari manakah sebenarnya konflik berasal?

Tn. Konflik: Bagus pertanyaannya, Moderator. Konflik itu asalnya ada banyak sebenarnya. Sama dengan definisi, ada banyak juga ahli atau ilmuan yang berusaha merumuskan asal saya, sudah diwakili oleh gambar yang diperlihatkan Saudara tadi.
Tapi saya kira Pembaca yang Budiman, jika menyempatkan waktu berpikir secara mendalam—istilahnya deep thinking bisa kok merumuskan sendiri dari mana saya berasal. Atau ini.. coba ikut Peace and Leadership-nya KITA Bhinneka Tunggal Ika, di situ sudah dijabarkan secara partikular sebab-sebab saya muncul. Saya kira Saudara Moderator paham sekali dengan apa yang saya bicarakan ini.

Moderator: Hehe ya begitulah, Tuan. Monggo, dilanjut pembahasannya.

Tn. Konflik: Jadi, secara garis besar, ada empat elemen (baca: sikap) yang ada dalam diri manusia, yang menjadi pemicu keberadaan saya. Pertama, ialah ketidakmampuan mereka dalam memberikan respon yang tepat terhadap setiap kejadian. Nah ini maksudnya begini. Jika setiap orang, dewasa dalam menyikapi perbedaan pendapat, ketidaksamaan frekuensi karena yakin pada hakikatnya manusia berbeda ya, pasti tidak akan terjadi konflik. Sebelum saya muncul, orang-orang yang mampu memberikan respon yang baik terhadap perbedaan akan mendiskusikannya terlebih dahulu kah, atau mencari jalan tengah, intinya tidak memberikan celah untuk saya hadir di antara mereka.

                Kedua, kaitannya juga dengan yang pertama tadi, karena manusia terlalu menuntut orang lain untuk sesuai dengan standard-nya, dalam artian tidak respek. Misalnya gini nih, si A dalam standar kerjanya merasa lima orang sudah cukup untuk meng-handle sebuah seminar online. Tapi, si B bilang, sepertinya itu tidak cukup karena barangkali si B mengharapkan target acara yang lebih besar dari si A. Nah ketika si A dan B masing-masing memaksakan standar mereka, di situlah saya muncul.

                Ketiga, ketika manusia terlalu berlebih-lebihan. Jelas.. dimana pun berlebih-lebihan itu tidak baik. Saya kira Pembaca yang Budiman paham akan hal ini.

                Keempat, prasangka buruk. Barangkali orang yang kita rasa bertentangan dengan kita, sebenarnya sama saja, cuma mungkin cara penyampaiannya yang belum betul, kurang jelas, jadi perlu komunikasi di sini.

                Kelima, adanya self interest. Percayalah. Jika semua manusia di dunia bekerja secara tulus, ikhlas, menghendaki kebaikan untuk kelompok tanpa ada kepentingan pribadi, saya mungkin tidak bakalan sesering ini hadir di keseharian mereka. Meskipun tidak dipungkiri semua pasti punya, tapi kan ada orang terlalu menonjolkannya, sehingga itu tidak baik bagi lingkungannya sebagai makhluk sosial.

                Termasuk juga sebenarnya ketidakmampuan manusia dalam mengolah atau memberi 'makan' secara adil tiga gerak jiwa oleh Platon. Tahu, kan?

Moderator: Hmm tahu, Tuan. Ini pernah dibahas kok sebelumnya di sini.. 
                   Jadi ternyata penyebabnya adalah dari dalam manusia sendiri ya Tuan..

Tn. Konflik: Ya kalau itu tidak datang dari diri sendiri, maka itu adalah percikan dari orang lain. Apalagi kalau dia  tidak bijak menyikapi si pemantik saya ini, tentu percikan apinya akan semakin besar.

Moderator: Iya, betul sekali, Tuan. Tapi saya tertarik nih dengan self interest. Memang salah ya Tuan, kalau seseorang itu punya kepentingan seperti mau dibilang pintar, baik, dan sebagainya? Itukan termasuk self image yang ingin diperlihatkan ke orang-orang..

Tn. Konflik: Hmm begini ya. Manusia itu banyak yang: Satu, ingin jadi baik. Dua, ingin menjadi terbaik. Ingin menjadi baik, berarti kita butuh penilaian orang. Sedangkan menjadi terbaik, berarti kita membandingkan diri dengan orang lain. Nah kalau penilaian orang itu kemudian tidak seperti yang kita harapkan, atau kita gagal mencapai kedudukan orang lain karena memang kondisi kita beda.. Itulah yang memicu saya hadir.

                Yang seharusnya manusia lakukan ialah, to be a better person. Jadilah lebih baik, tanpa perlu dilihat orang, tidak membanding-bandingkan, karena ini tentang diri sendiri dan Tuhan. Biarlah Tuhan yang menjadi saksi atas kebaikan-kebaikan kita.

Moderator: Wah, menarik sekali ya Tuan. Pertanyaan selanjutnya nih Tuan, sebagai hamba yang bertuhan, kita percaya bahwa ciptaan-Nya tidak ada yang sia-sia. Kira-kira apa alasan dibalik penciptaan Tuan?

Tn. Konflik: Haha. Banyak kok. Saya pernah dengar seperti ini, katanya manusia itu setelah berkonflik—dan berhasil melampauinya, justru bertambah akrab. Ada juga yang bilang, hidup tanpa saya itu rasanya sangat membosankan. Ya, sebisa mungkin jangan sering-sering juga. Tapi bayangin yah, kalau Saudara misalnya punya rekan kerja yang nurut-nurut aja, apa-apa diiyakan. Kita minta masukan, katanya semua oke, setuju. Hmm.. kapan kita berkembang?

Moderator: Iya juga ya, Tuan. Haha.. Oke satu lagi Tuan, sebelum kita akhiri Bincang Damai kali ini. Sebenarnya, bagaimana sih cara berdamai dengan Tuan?

Tn. Konflik: Wah sederhana sekali, Saudara Moderator. Kita tadi telah membahas darimana saja saya berasal, atau apa yang memicu saya hadir. Untuk berdamai dengan saya, ya tentu berdamai dulu dengan diri sendiri. Redam sifat mau menang sendiri, prasangka buruk, berlebih-lebihan.. tingkatkan kesadaran bahwa kita ini berbeda-beda dan perbedaan itu indah, bahwa saya hadir sebenarnya pun mencari kedamaian. Bukankah setelah saya, akan muncul damai-damai lalu konflik lagi dan berdamai lagi?

                Jadi sederhana saya, bangun dulu damai itu di masing-masing pribadi. Setelah itu, kalau memungkinkan kita membaginya dengan orang lain—mengapa tidak?

Moderator: Baik, Tuan, paham-paham..  Caranya sederhana ya diucapkan, tapi pasti perlu effort dan pembiasaan untuk direalisasikan. Bukan begitu, Tuan?

Tn. Konflik: Benar sekali. Saya kira untuk merubah sesuatu, terutama jika itu berkaitan dengan kebiasaan kita, tentu perlu kemauan, kesadaran, dan usaha yang konsisten.

Moderator: Baik, terima kasih banyak, Tuan Konflik atas waktunya hari ini. Kita berharap tentunya, orang-orang tidak lagi memandang Tuan sebagai hal yang sepenuhnya negatif, melainkan sadar bahwa justru hadirnya Tuan ialah karena manusia yang tidak sadar memunculkan vibes negatif itu dengan berprasangka, berlebih-lebihan, mengedepankan ego, dan sebaginya.
                Semoga pembicaraan singkat kita ini dapat menghadirkan damai-damai baru di hati yang sedang berkonflik. Terima kasih sekali lagi, Tuan.

Tn. Konflik: Sama-sama..

Moderator: Kalau begitu saya undur diri. Di lain hari, kita akan berbincang lagi dengan Tuan Konflik—mungkin dengan tema berbeda, sebab Tuan ini akan ada di sepanjang zaman, tidak pernah mati, kecuali Tuhan berkendak dan/atau manusia tidak lagi menjadi “manusia”.












Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Novel "Memberi Jarak pada Cinta"

Some Theories About How The Conflict Appears

Naluri: Review Novel "Penguasa Lalat" oleh William Golding