Eksklusif: Bincang Damai Bersama Konflik*
Moderator: Selamat pagi Pembaca yang Budiman, saya ucapkan selamat datang di laman ini. Saya moderator merasa sangat antusias—dan saya yakin Pembaca Sekalian pun begitu. Sebab kita kedatangan tamu spesial, dia datang dari dimensi waktu dan ruang yang tak disangka-sangka.. Kita sambut, Tuaaan Konflik! Apa boleh saya memanggil Anda “Tuan”?
Tn. Konflik: Oh ya
silakan saja. Halo..
Moderator: Aduh Tuan
Konflik, kami bersyukur sekali nih Anda berkesempatan hadir di Bincang Damai kali
ini. Jadi, untuk beberapa menit ke depan Tuan cukup jawab saja pertanyaan dari
saya. Apa itu jelas?
Tn. Konflik: Oh iya,
jelas. Sila dilanjutkan, Moderator.
Moderator: Oke,
langsung saja ya. Pertama-tama, coba deskripsikan dulu diri Anda, Tuan.
Tn. Konflik: Iya.
Saya yakin tanpa saya jelaskan pun, para Pembaca yang Budiman
pasti tahu siapa saya. Bahkan bisa dibilang, tidak ada satu pun manusia
terhadap manusia lain yang saya tidak pernah hadir di antaranya, jika mereka
memang intens berinteraksi. Ini sih cuma persoalan istilah ya.
Tidak jarang juga loh, para
ilmuan berusaha mendefinisikan saya. Misalnya saja Karl Marx, Sigmund Freud, dan
Charles Darwin.
Moderator: Ohiya
Tuan, seperti yang terangkum pada gambar di bawah ini.
Tn. Konflik: Nah,
betul sekali. Tapi kalau saya pribadi sih, disebut "pertentangan dari dua pihak
atau lebih" sudah cukup. Asalkan perlu digarisbawahi, “dua” pihak atau lebih itu
bukan berarti harus dua atau tiga kepala. Melainkan bisa juga dari satu raga
yang sebagaimana Platon bilang, terdiri dari tiga gerak jiwa. Atau sederhananya,
antara akal dan yang kita sebut hati nurani pun boleh.
Moderator: Hmm paham,
paham.. Tapi ini berbeda dengan masalah kan ya? Soalnya tidak sedikit juga tuh
yang sulit membedakan antara konflik dengan masalah. Bisa diutarakan sedikit
tidak, perbedaannya dimana?
Tn. Konflik: Kalau
masalah, ya cakupan atau batasannya lebih luas. Ketika kenyataan sudah tidak
sesuai dengan ekspektasi kita, ya itu sudah dikategorikan masalah, meskipun
tidak ada pertentangan. Misal, kita diberi banyak tugas kuliah di saat kuota
sedang sekarat-sekaratnya. Masalah kan? Tapi itu bukan konflik alias
pertentangan. Kalau konflik, ya jelas antara siapa dan siapa yang
berseberangan, meskipun itu hanya antara logika dan nurani. Akan tetapi, konflik
adalah bagian dari masalah juga. Jadi bisa dibilang, semua konflik adalah
masalah, tapi tidak semua masalah itu konflik.
Moderator: Wah,
menarik sekali Tuan Konflik. Semoga yang masih sulit membedakan keduanya dapat
paham ya melalui penjelasan Anda.
Nah pertanyaan selanjutnya nih.
Dari manakah sebenarnya konflik berasal?
Tn. Konflik: Bagus
pertanyaannya, Moderator. Konflik itu asalnya ada banyak sebenarnya. Sama
dengan definisi, ada banyak juga ahli atau ilmuan yang berusaha merumuskan asal
saya, sudah diwakili oleh gambar yang diperlihatkan Saudara tadi.
Tapi saya kira Pembaca yang Budiman,
jika menyempatkan waktu berpikir secara mendalam—istilahnya deep thinking bisa kok merumuskan
sendiri dari mana saya berasal. Atau ini.. coba ikut Peace and Leadership-nya KITA Bhinneka Tunggal Ika, di situ sudah
dijabarkan secara partikular sebab-sebab saya muncul. Saya kira Saudara
Moderator paham sekali dengan apa yang saya bicarakan ini.
Moderator: Hehe ya begitulah, Tuan. Monggo, dilanjut
pembahasannya.
Tn. Konflik: Jadi,
secara garis besar, ada empat elemen (baca: sikap) yang ada dalam diri manusia,
yang menjadi pemicu keberadaan saya. Pertama, ialah ketidakmampuan mereka dalam
memberikan respon yang tepat terhadap setiap kejadian. Nah ini maksudnya
begini. Jika setiap orang, dewasa dalam menyikapi perbedaan pendapat,
ketidaksamaan frekuensi karena yakin pada hakikatnya manusia berbeda ya, pasti
tidak akan terjadi konflik. Sebelum saya muncul, orang-orang yang mampu
memberikan respon yang baik terhadap perbedaan akan mendiskusikannya terlebih
dahulu kah, atau mencari jalan tengah, intinya tidak memberikan celah untuk saya hadir
di antara mereka.
Kedua, kaitannya juga dengan
yang pertama tadi, karena manusia terlalu menuntut orang lain untuk sesuai
dengan standard-nya, dalam artian
tidak respek. Misalnya gini nih, si A dalam standar kerjanya merasa lima orang
sudah cukup untuk meng-handle sebuah
seminar online. Tapi, si B bilang,
sepertinya itu tidak cukup karena barangkali si B mengharapkan target acara
yang lebih besar dari si A. Nah ketika si A dan B masing-masing memaksakan
standar mereka, di situlah saya muncul.
Ketiga, ketika manusia terlalu
berlebih-lebihan. Jelas.. dimana pun berlebih-lebihan itu tidak baik. Saya kira
Pembaca yang Budiman paham akan hal ini.
Keempat, prasangka buruk. Barangkali
orang yang kita rasa bertentangan dengan kita, sebenarnya sama saja, cuma
mungkin cara penyampaiannya yang belum betul, kurang jelas, jadi perlu
komunikasi di sini.
Kelima, adanya self interest. Percayalah. Jika semua manusia
di dunia bekerja secara tulus, ikhlas, menghendaki kebaikan untuk kelompok
tanpa ada kepentingan pribadi, saya mungkin tidak bakalan sesering ini hadir di
keseharian mereka. Meskipun tidak dipungkiri semua pasti punya, tapi kan ada
orang terlalu menonjolkannya, sehingga itu tidak baik bagi lingkungannya
sebagai makhluk sosial.
Termasuk juga sebenarnya
ketidakmampuan manusia dalam mengolah atau memberi 'makan' secara adil tiga gerak jiwa oleh Platon. Tahu,
kan?
Moderator: Hmm tahu, Tuan. Ini pernah dibahas kok sebelumnya di sini..
Jadi ternyata penyebabnya adalah dari dalam manusia sendiri ya Tuan..
Tn. Konflik: Ya kalau
itu tidak datang dari diri sendiri, maka itu adalah percikan dari orang lain. Apalagi kalau dia tidak bijak menyikapi si pemantik saya ini, tentu percikan apinya akan semakin besar.
Moderator: Iya, betul
sekali, Tuan. Tapi saya tertarik nih dengan self
interest. Memang salah ya Tuan, kalau seseorang itu punya kepentingan
seperti mau dibilang pintar, baik, dan sebagainya? Itukan termasuk self image yang ingin diperlihatkan ke
orang-orang..
Tn. Konflik: Hmm
begini ya. Manusia itu banyak yang: Satu, ingin jadi baik. Dua, ingin menjadi
terbaik. Ingin menjadi baik, berarti kita butuh penilaian orang. Sedangkan
menjadi terbaik, berarti kita membandingkan diri dengan orang lain. Nah kalau
penilaian orang itu kemudian tidak seperti yang kita harapkan, atau kita gagal
mencapai kedudukan orang lain karena memang kondisi kita beda.. Itulah yang
memicu saya hadir.
Yang seharusnya manusia lakukan
ialah, to be a better person. Jadilah
lebih baik, tanpa perlu dilihat orang, tidak membanding-bandingkan, karena ini
tentang diri sendiri dan Tuhan. Biarlah Tuhan yang menjadi saksi atas
kebaikan-kebaikan kita.
Moderator: Wah,
menarik sekali ya Tuan. Pertanyaan selanjutnya nih Tuan, sebagai hamba yang
bertuhan, kita percaya bahwa ciptaan-Nya tidak ada yang sia-sia. Kira-kira apa
alasan dibalik penciptaan Tuan?
Tn. Konflik: Haha. Banyak
kok. Saya pernah dengar seperti ini, katanya manusia itu setelah berkonflik—dan
berhasil melampauinya, justru bertambah akrab. Ada juga yang bilang, hidup
tanpa saya itu rasanya sangat membosankan. Ya, sebisa mungkin jangan
sering-sering juga. Tapi bayangin yah, kalau Saudara misalnya punya rekan kerja
yang nurut-nurut aja, apa-apa diiyakan. Kita minta masukan, katanya semua oke, setuju. Hmm.. kapan kita berkembang?
Moderator: Iya juga
ya, Tuan. Haha.. Oke satu lagi Tuan, sebelum kita akhiri Bincang Damai kali
ini. Sebenarnya, bagaimana sih cara
berdamai dengan Tuan?
Tn. Konflik: Wah
sederhana sekali, Saudara Moderator. Kita tadi telah membahas darimana saja
saya berasal, atau apa yang memicu saya hadir. Untuk berdamai dengan saya, ya
tentu berdamai dulu dengan diri sendiri. Redam sifat mau menang sendiri,
prasangka buruk, berlebih-lebihan.. tingkatkan kesadaran bahwa kita ini berbeda-beda dan perbedaan itu indah, bahwa saya hadir sebenarnya pun mencari kedamaian.
Bukankah setelah saya, akan muncul damai-damai lalu konflik lagi dan berdamai
lagi?
Jadi sederhana saya, bangun dulu
damai itu di masing-masing pribadi. Setelah itu, kalau memungkinkan kita
membaginya dengan orang lain—mengapa tidak?
Moderator: Baik,
Tuan, paham-paham.. Caranya sederhana ya diucapkan, tapi pasti perlu effort dan pembiasaan untuk direalisasikan.
Bukan begitu, Tuan?
Tn. Konflik: Benar
sekali. Saya kira untuk merubah sesuatu, terutama jika itu berkaitan dengan
kebiasaan kita, tentu perlu kemauan, kesadaran, dan usaha yang konsisten.
Moderator: Baik,
terima kasih banyak, Tuan Konflik atas waktunya hari ini. Kita berharap
tentunya, orang-orang tidak lagi memandang Tuan sebagai hal yang sepenuhnya negatif,
melainkan sadar bahwa justru hadirnya Tuan ialah karena manusia yang tidak sadar
memunculkan vibes negatif itu dengan
berprasangka, berlebih-lebihan, mengedepankan ego, dan sebaginya.
Semoga pembicaraan singkat kita
ini dapat menghadirkan damai-damai baru di hati yang sedang berkonflik. Terima
kasih sekali lagi, Tuan.
Tn. Konflik:
Sama-sama..
Moderator: Kalau
begitu saya undur diri. Di lain hari, kita akan berbincang lagi dengan Tuan
Konflik—mungkin dengan tema berbeda, sebab Tuan ini akan ada di sepanjang
zaman, tidak pernah mati, kecuali Tuhan berkendak dan/atau manusia tidak lagi
menjadi “manusia”.
Komentar
Posting Komentar