Tidak Ada Kabar adalah Kabar Baik
Singkat cerita, bertahun-tahun berlalu, dan aku hampir lupa bahwa aku punya blog ini.
Singkat cerita, (dan memang aku berpikir keras bagaimana
membuatnya sesingkat mungkin) aku kehilangan akses ke akun Facebook-ku, dimana
email dan nomor ponsel yang terdaftar sudah hilang. Ada beberapa jejak digital yang
ingin kuhapus dan memang harus dihapus. Namun tiba-tiba, email-ku yang aktif
sekarang terhubung dengannya, sehingga dia pun bisa kuakses kembali (masih
menjadi misteri mengapa demikian).
Singkat cerita, ku-review kembali profil Facebook-ku dan aku
menemukan blog ini. Ah, ternyata saya pernah seantusias ini dengan buku,
menulis, dan berbagi cerita. So, I was thinking, Apakah menulis bagiku
adalah semacam “pelabuhan” yang seorang pelayar akan kembali kepadanya sejauh
apapun dia berlayar? Atau seperti cemilan, yang sekenyang-kenyangnya orang,
pasti masih ada ruang untuk ngemil? Wkwk, tapi ini bukan tentang makanan. Ini
adalah tentang rasa rindu untuk meluapkan perasaan melalui bunyi keyboard dan
sepetak kertas putih di layar laptop. Ini bukan semacam update kabar, toh aku
yakin tidak akan ada yang membuka laman ini kecuali diriku, dan aku pun menulis
ini bukan agar dibaca orang, melainkan untuk kubaca sendiri, sebagaimana yang kutipan
dalam memoir What I Talk When I Talk About Running, bahwa seseorang itu hendaknya
menulis apa yang ingin dia baca.
Aku sudah sampai di tahap dimana aku merasa kata-kata dan
perasaan di kepala sudah terlalu banyak, dan qaddarallah belum ada teman yang
bisa diajak cerita panjang, sehingga kuputuskan untuk sedikit mengurainya melalui
tulisan.
Alhamdulillah, empat tahun terakhir ini aku menemukan aktivitas yang bermanfaat insya Allah, lebih bermanfaat menurutku ketimbang membaca deretan novel dan kumpulan cerpen yang awalnya kuwacanakan. Tafaqquh fii ad-diin. Mempelajari apa-apa yang wajib diketahui oleh seorang muslim/muslimah agar dia bisa menjalankan perannya sebagai “hamba”. Atas pertolongan Allah tentunya, aku sampai di titik dimana sudah bisa sedikit-sedikit berbagi. Hanya saja akhir-akhir futur sering melanda karena ada pekerjaan lain. Ah, pekerjaan yang seharusnya aku tidak menceburkan diriku ke sana, tapi ما شاء اللهُ يكن وما لم يشأ لم يكن. Karena aku sudah berada disini, maka aku berbaik sangka bahwasanya perbuatan Allah selalu baik, dan Allah juga yang akan menolong dan menjagaku maka Dialah sebaik-baik yang menjaga.
Namun selama beberapa tahun terakhir, aku hampir tidak
pernah menamatkan satu buku fisik (yang kubaca sendiri). Ada rasa rindu
membalik lembaran-lembarannya, rindu memegangnya sampai tertidur.. Bukannya
tidak ada aktivitas membaca, hanya saja karena sekarang temanya sudah
kupersempit (tidak mau lagi baca fiksi-fiksi yang kurang faedah), jadi agak
sulit menentukan buku apa yang bisa kubaca sendiri, ringan, tanpa mendengar
penjelasan guru. Mau baca buku terjemahan (dari kitab ulama) tidak ada
“rasa”-nya, baca langsung dari tulisan Arab pun masih pontang-panting. Dan
begitulah aku terus terjebak di dunia digital karena kitab-kitab para ulama
memang mesti diambil penjelasannya dari guru (dalam hal ini aku hanya bisa ikut
online).
Iyaps, sangat disayangkan semangat membacaku mulai menurun,
tapi karena aku sudah menyadarinya sekarang, mari kita usahakan dalam waktu
dekat punya teman yang selalu bisa dibawa kemana-mana itu hehe.
So, apa sebenarnya perasaan yang demikian banyak, yang
kuanggap mengganggu tadi? Humm, sebenarnya aku merasa tidak di kondisi yang
ideal sebagai seorang muslimah sekarang. Ada beberapa hal yang harus kuhadapi
dan itu seperti bertentangan dengan separuh jiwaku. Tapi di satu sisi, aku
merasa jalan keluarnya masih saaangat jauh. Ibarat lari marathon, langkahku
masih di 500-meter pertama. Ah, apa aku lari saja ya? :)
Aku sudah sampai di tahap penerimaan, bahwa it’s okay, Wi,
jalani saja dulu. Toh bisa jadi kamu tidak sampai ke garis finish. Marathon
tidak cocok denganmu, sehingga kamu menyerah di tengah track, bukan karena
malas atau putus asa, mlainkan karena kamu tahu, kalau kamu lanjutkan itu akan
menyakitimu bahkan bisa membunuhmu. Tapi untuk tahu sejauh mana resiliensimu,
kamu harus terus berlari.
Ada sebuah hadits yang kudengar berulang kali,
عَنْ صُهَيْبٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:«عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ، فَكَانَ خَيْرًا لَهُ».
Dari Ṣuhaib -raḍiyallāhu 'anhu- meriwayatkan, Rasulullah ﷺ bersabda,"Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Sungguh, seluruh urusannya adalah kebaikan. Hal ini tidaklah didapati kecuali pada seorang mukmin. Ketika mendapatkan kesenangan, ia bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya. Ketika ditimpa kesusahan, ia bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya." (HR. Muslim)
https://hadeethenc.com/ar/browse/hadith/3298
Tentu aku berharap termasuk dari orang beriman yang Rasulullah takjub atasnya, namun aku bingung apakah kondisiku sekarang menuntut syukur atau sabar. Orang-orang bersyukur dan mengatakan aku beruntung, sementara dalam hatiku senantiasa khawatir, “jangan-jangan ini perlalaian (istidraj)”. Wallahul musta’an.. ada sedikit penyesalan kenapa aku tidak tegas di awal, tegas bahwasanya bukan ini yang kuinginkan pada kehidupanku. Atau mungkin Allah ingin menguji kesungguhanku? I really have no idea :(
Sebelumnya, ada masa-masa dalam hidupku, dimana aku sangat ambisius terkait pekerjaan. Mau kerja ini, menjadi seperti ini, dan sekarang kekhawatiranku adalah aku kembali ke masa itu tanpa kusadari. Bukan kembali secara lahir, melainkan batinku, aku khawatir dia ingin menjadi seperti itu lagi. Padahal rumah adalah sebaik-baik tempat untuk wanita. Dia adalah hijabnya, yang melindunginya dari perkara-perkara yang bisa merusak dirinya.
Pada akhirnya, kepada Allah semata-lah hamba itu berharap.
Harapan bahwa keadaan akan menjadi lebih baik dalam waktu dekat, bahwa untuk
sampai ke lingkungan yang lebih baik itu, aku harus melewati fase ini, dan
Allah pula-lah yang akan menolong untuk melaluinya.
Yang perlu diupayakan sekarang, adalah bagaimana menjaga hati, pikiran dan perbuatan agar tetap berada di koridor ketaatan, meski harus babak belur, meski harus terjatuh berkali-kali. Apa sih yang mau dicari di dunia, Wi? Bukankah dunia memang tempat berlelah-lelah? Kemudian istirahat yang abadi itu di surga, dan dia sebaik-baik tempat kembali. Maka kita usahakanlah kesudahan yang baik itu.
Komentar
Posting Komentar