Postingan

Tidak Ada Kabar adalah Kabar Baik

Singkat cerita, bertahun-tahun berlalu, dan aku hampir lupa bahwa aku punya blog ini. Singkat cerita, (dan memang aku berpikir keras bagaimana membuatnya sesingkat mungkin) aku kehilangan akses ke akun Facebook -ku, dimana email dan nomor ponsel yang terdaftar sudah hilang. Ada beberapa jejak digital yang ingin kuhapus dan memang harus dihapus. Namun tiba-tiba, email -ku yang aktif sekarang terhubung dengannya, sehingga dia pun bisa kuakses kembali (masih menjadi misteri mengapa demikian). Singkat cerita, ku-review kembali profil Facebook -ku dan aku menemukan blog ini. Ah, ternyata saya pernah seantusias ini dengan buku, menulis, dan berbagi cerita. So, I was thinking, Apakah menulis bagiku adalah semacam “pelabuhan” yang seorang pelayar akan kembali kepadanya sejauh apapun dia berlayar? Atau seperti cemilan, yang sekenyang-kenyangnya orang, pasti masih ada ruang untuk ngemil? Wkwk, tapi ini bukan tentang makanan. Ini adalah tentang rasa rindu untuk meluapkan perasaan melalui bun...

Would you like to hear a story?

  Sekitar Juni 2020 kemarin, saya mendapat tugas untuk menuliskan cerita perubahan selama mengikuti program Guardian of Peace (GoP) KITA Bhinneka. Saya pikir bahwa tulisan tersebut hanya akan dibaca oleh Kak Therry—selaku direktur, dan Kak Naomi—selaku officer , jadi, waktu itu saya benar-benar buka-bukaan haha. Ternyata (dan entah bagaimana), cerita perubahan saya itu terpilih untuk dimuat di Annual Magazine KITA Bhinneka. Duh, sebenarnya waktu itu saya belum siap mem- publish cerita saya. Ada apa gerangan, Wi, kok kamu masih ‘takut’ orang-orang membacanya?   Saya pikir jawabannya adalah, karena ada beberapa kalimat yang menurut saya cukup sensitif, ada prasangka-prasangka, dan proses membandingkan, meski dengan dalih “begitulah adanya.” Yang mana, kalau orang-orang yang mengenal saya membacanya, somehow I feel like I’ll be hated. Dan waktu itu sempat ada kekhawatiran juga bahwa barangkali, perubahan yang saya rasakan ini hanyalah sementara, sebagai euforia dari berkom...

Sebuah Catatan Tentang Menjadi 'Orang Baik'

Awal mula aku berpikir untuk menulis ini ialah ketika mau bayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) di awal semester (6), namun provider bank -nya tidak ada di dekat rumah (satu kabupaten malahan). Aku pun minta tolong kepada seorang teman yang— honestly tidak terlalu akrab juga dengannya. Hanya kupikir, kalau minta tolong ke dia, pasti ditolong . Akhirnya kutanyakan, sudahkah dia bayar UKT, karena kalau belum aku mau nitip. Niatku kalau dia ternyata sudah bayar, aku akan cari orang lain. Dia pun bilang sudah, namun ketika aku mengutarakan maksud bertanya itu, dia menawarkan, “Sini saya bayarkan, Wi.” Meskipun pada akhirnya aku menolak tawaran teman itu, aku berpikir adakah aku juga akan menawarkan hal serupa ketika ada di posisinya? Begitulah kemudian tercap di kepala bahwa temanku itu (memang) orang baik, dan aku bisa jadi sebaliknya. Hal yang sangat sepele mungkin, tapi karena akhirnya kutulis tentang ini, berarti itu sudah demikian mengganggunya di pikiran sehingga mendesak untuk ditulisk...

Yang Terjadi Ketika Anda Membaca 'Catatan' dari Seorang Bookaholic

Gambar
Bertrand Russel—seorang filsuf dari Britania Raya mengatakan, ada dua motif untuk membaca buku. Pertama, kau menikmatinya dan yang kedua, kau bisa menyombongkannya . Jleb. Ketika saya membaca kutipan itu, saya sempat mengelak bahwa “tidak kok, saya membaca buku karena menikmatinya..” namun beberapa jenak kemudian hati nurani saya berbisik, “eii, masa sih, Wi?” Haha, baiklah. Saya menyatakan setuju bahwa kalimat Russel di atas juga berlaku untuk saya. Dan karena itu, saya harus banyak beristighfar. Tuhan tidak suka orang yang sombong :(, dan sungguh saya percaya, manusia sama sekali tidak pantas untuk sombong, apalagi hanya untuk perkara buku bacaan. Akan tetapi bagi saya pribadi, sepertinya perlu ditambahkan satu opsi lagi, bahwa: kau tidak menikmatinya dan tidak pula ingin menyombongkannya. Karena memang, kadang saya tetap menuntaskan membaca sebuah buku, meskipun sudah tidak dihayati lagi. Hari ini sebenarnya saya baru saja menamatkan buku ke-100 yang saya baca, yang dicatat ...

Man’s Search For Meaning by Viktor E. Frankl : A Reflection

Gambar
    Selamat Malam (silakan menyesuaikan dengan waktu masing-masing), semoga kita senantiasa diberi kelimpahan rahmat oleh Tuhan yang Maha Baik. Beberapa saat kemarin, ketika semester lima saya sudah menunjukkan tanda-tanda akan berakhir, kesibukan saya benar-benar turun drastis. No . Bukan kesibukan, tapi aktivitas yang setiap harinya tugas, diskusi, webinar, dan lain-lain, rasanya kok berhenti secara bersamaan dan menyisakan waktu yang begitu luang bagi saya.   But I like it. Really . Saya sudah lama menantikan saat-saat seperti itu, dimana tidak ada deadline—yang berarti saya bisa leluasa melakukan hobi saya: membaca, mendengarkan musik, sembari tetap mengerjakan pekerjaan rumah. Akan tetapi, di luar dugaan, saya mulai merasakan sesuatu yang asing. Bukan sedih, bukan juga kesepian. Semacam rasa kosong nan hampa yang tiba-tiba merembes ke sanubari. Ya, rasa itu datang begitu saja, dan dimana saja. Di kamar mandi, sebelum tidur, setelah makan.. dan itu sungguh, tida...

It's been a Month..

  Hai hai.. here we go again ! Salam dan doa untuk kita semua ya, berhubung pandemi (ternyata) belum usai dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan itu, pun karena sejatinya kita memang perlu untuk saling mendoakan. Welcome “Akuuu!” Hari ini saya memilih untuk mengajak “aku” bercerita, alih-alih “saya”. Karena saya sebenarnya berharap yang membaca ini adalah orang-orang yang mengenal baik saya, ketimbang Pembaca Budiman yang sering saya sebut di tulisan-tulisan lalu. Haha, karena ini ringan banget gaes. Kayak sebatas curhatan saya terkait sebulan terakhir ini. Oke. Aku sengaja menulis ini sebelum melanjutkan menulis beberapa refleksi dan review buku yang tertunda. Sekadar check-in saja sih.. Aku membayangkan sedang menceritakan cerita-cerita seperti ini kepada my besties dan karena sulit lagi mendapatkan masa itu, aku luapkan di sini saja :) Satu bulan terakhir ini, menurutku ialah bulan tersibuk (mungkin) selama work from home berlangsung. Utamanya satu dua minggu terakhir in...

Menyelesaikan Masalah vs. Melampaui Masalah

Gambar
Selamat malam, semoga Tuhan selalu melimpahi kita dengan rahmat-Nya. Tulisan ini ialah yang terakhir sebelum kami—para GoP berpindah ke  Advanced Class  untuk PLC berikutnya. Meskipun lagak-lagaknya (dilihat dari  slide opening -nya) materi ini sudah masuk  advanced class  sih haha.  Over all,  sebenarnya saya mau bilang materi ini adalah salah satu yang berkesan. Pertama kali saya memberi judul refleksi sama dengan judul PLC-nya, juga pertama kali saya menuliskannya tepat dihari kami diberikan. Hanya saja karena satu dan lain hal, baru sempat saya unggah sekarang. Jadi, semoga Pembaca Sekalian juga merasakan “kesan” yang saya dapatkan. Selamat membaca :) -   Awal bergabung di KITA Bhinneka Tunggal Ika sebagai guardian of peace , saya sebenarnya sering mempertanyakan ini (dalam hati :v), kenapa yah orang-orang KITA pakai istilah “melampaui” alih-alih “menyelesaikan” atau “mengatasi”? Biasanya kata tersebut disandingkan dengan m...