Cerpen: Bila Badi Mati, Itu Bukan Salah Kami
Kami
dibakar amarah. Tidak pernah sekalipun di kampung kami, terjadi pembunuhan
sadis seperti itu. Kami selalu saling menghormati, menghargai, dan
menyelesaikan masalah dengan kepala dingin, dengan damai. Tentulah Badi yang
salah. Orang seperti dia memang tidak usah dibiarkan hidup. Bisa-bisa warga
setempat banyak yang pindah kampung, kalau ada uang. Kalau tidak ya, mungkin
tidak berani lagi keluar rumah. Kami justru menyelamatkan nyawa orang banyak.
Mana
bisa membunuh kembang desa cantik nan perawan dimaafkan? Syekiah bahkan sudah
terima lamaran Jauhari untuk menikah bulan depan. Sungguh malang. Hanya ingin
mencuci di kali seberang, dia harus meregang nyawa, dengan keadaan perawan. Eh
bisa jadi sebelum dibunuh, si Syekiah di-sentuh
dulu sama Badi. Dulu kan, waktu masih waras, si Badi juga mati-matian kejar
Syekiah. Kata orang sih, mereka sebenarnya suka sama suka. Hanya saja, Syekiah
menolak karena tidak mau ditinggal tatkala Badi kuliah lagi di ibu kota.
Badi
itu ganteng loh. Bak Syekiah, dia juga digandrungi banyak gadis cantik. Tapi
itu, dia sekolahnya tinggi-tinggi. Sampai ke ibu kota negara. Dalam setahun,
pulangnya palingan cuma di Idulfitri dan Iduladha. Sampai kemudian, dia datang
dijemput tantenya (Badi itu yatim piatu dari kecil), sudah acak-acakan mukanya.
Rambut gondrong, wajah dekil, kaos lusuh, dan badannya, ihh bau. Kami kaget
sekali waktu.
Usut
punya usut, tantenya Badi bilang, (dengan wajah memerah karena malu) bahwa Badi
ternyata sudah gila. Sebenarnya terlalu kasar juga bagi kami yang suka bicara
baik-baik ini menyebutnya “gila”. Sebab, dia tidak pernah kok berlarian
telanjang di jalanan, atau melempar batu ke sembarang rumah. Kerjaannya hanya
duduk diam melongo di depan rumah, kadang pula di pinggir kali seberang tempat
kejadian itu. Tapi memang, suatu hari,
ketika anak-anak kami berkerumun, dan mengejeknya, “orang gila.. orang gila.. orang gila..” dia marah. Dia mengejar
anak-anak tersebut sambil mengacung-acungkan pisau (mungkin diambil dari dalam
rumahnya sebelum berlari), yang kalau saja anak-anak itu tidak segera menuju
rumah mengunci pintu, entah apa yang akan terjadi. Sejak saat itu, baik
anak-anak, muda, tua, semua sungkan menyapa Badi, bahkan menatap wajahnya pun
tidak.
Tahun
demi tahun berlalu, tahu-tahu tantenya sudah pindah rumah, tanpa membawa Badi.
Alhasil jadilah Badi sebagaimana orang ‘gila’ pada umumnya. Sendiri, kasihan,
dan merana. Semakin hari badannya kian kerempeng, wajahnya semakin dekil, dan
badannya berkali-kali lipat baunya.
Hingga
datang hari itu. Seorang dari kami telah bersaksi, melihat tubuh Syekiah
melentik di bebatuan, beberapa meter dari Badi yang berlumuran darah. Tatapannya
nanar, tapi tidak jelas apa yang berusaha ditunjukkan oleh raut wajah datarnya.
Si saksi pun segera memberitahu Razik—ayah Syekiah dengan berkata bahwa Badi membunuh
putri sematawayangnya. Sontak kami yang kala itu sedang ngopi dengan Razik, kaget. Tanpa berpikir panjang pun, kami
langsung menyusul Badi—mumpung dia belum lari.
Di
tengah jalan, kepada siapa pun yang bertanya mau kemana, kami sebisa mungkin menyampaikan informasinya dengan
tidak ketinggalan langkah. Akhirnya, orang-orang yang juga mau tahu ceritanya,
ikut bersama kami, lalu saling bertanya dan menjawab tanpa lupa mengucapkan “katanya”.
Badi, atau siapa pun yang melihat kami pastilah takut. Apalagi melihat jasad
Syekiah yang masih ada di sana, semua telunjuk mengarah kepadanya. Badi mundur
beberapa langkah—siap ambil ancang-ancang, seolah-olah tahu, kami datang dengan
amarah.
Ya
sudahlah. Rupanya salah satu dari kami itu ialah kakak Jauhari, yang tentu
marah melihat calon iparnya dihabisi. Dia pun mengeluarkan kata-kata, yang
secara ajaib membuat kami tidak berhenti memukuli Badi, meskipun dia telah
merintih kesakitan. Hingga senja itu tiba, jasad Syekiah sudah bertandang di
rumah duka. Sementara nasib Badi tidak ada yang peduli. Kecuali lalat-lalat yang
dengan senang hati mengerumuni.
Esok
harinya, saya (bagian dari kami, orang yang menceritakan ini padamu) mendengar anak
saya, Erlis mengatakan sesuatu pada ibunya. “Bu, besok kalau mau mencuci, tidak
usah di kali seberang ya. Batunya licin-licin. Kemarin, dari jauh Erlis lihat
ada perempuan kepeleset. Tadinya mau Erlis tolong, tapi kayaknya sudah
dihampiri sama laki-laki yang kebetulan lihat juga.” Saya dan istri saya saling
tatap, tapi tidak tahu mau bilang apa.
Campalagian, April 2020.
-
Cerpen ini
sebenarnya saya buat sekitar satu setengah tahun yang lalu, namun saya sunting
sedikit, karena sepertinya ini bisa menjadi “Refleksi PLC #9” dengan judul Social Identity, Prejudice, and Stereotype.
At least, pesan yang saya dapat dari PLC itu, dan yang juga
berusaha saya sampaikan melalui cerpen di atas ialah, kita sering kali
membiarkan diri kita mengambil fakta, berdasarkan apa yang kita lihat saja,
bukan apa yang sebenarnya terjadi. Tidak jarang, amarah membuat kita seakan
tidak sempat lagi kroscek, sekadar mengonfirmasi, ataupun membicarakan suatu
persoalan baik-baik. Akhirnya ya tidak heran. Saling bunuh-membunuh mudah saja
terjadi (padahal ini menyangkut nyawa seseorang) jika merasa sudah paling
benar, dan yang satunya sudah paling salah.
Saya memang
sudah lama belajar (dan masih akan terus belajar) untuk tidak menilai sesorang
dari luarnya, apalagi terkait mengklaim baik-buruknya. Misalnya saja, dalam
aspek agama, orang-orang mengatakan bahwa perempuan yang ber-niqab (baca:
cadar) sudahlah pasti pengetahuan
agamanya di atas rata-rata. Padahal tidak juga, beberapa kali saya mendapati
yang berniqab sholatnya tidak tuma’ninah, sangat gelisah sampai tatapan mata
kami sempat bertemu.
Berbeda dengan
salah satu senior saya, yang meskipun menggunakan celana, sholatnya kok kayak
khusyuk sekali, plus ditambah sholat sunnah rawatib. Yah meskipun saya tahu, di
perspektif Tuhan, hanya Dia-lah yang tahu hati manusia, dan saya juga tidak
benar bila menyimpulkan bahwa si wanita cadar kurang baik sholatnya
dibandingkan wanita yang berpakaian biasa-biasa saja.
Cuma, yang ingin
saya sampaikan ialah, tidaklah pakaian (baca: luaran) itu menjadi tolak ukur
kita dalam menilai dalamnya.
Meskipun
sebenarnya yang disampaikan pada materi ini ada banyak, bukan hanya prejudice dan stereotype, tapi saya percaya bahwa yang sering kali membuat
kehidupan tidak damai ialah dua hal ini. Mirisnya, kebiasaan menilai orang dari
luarnya sudah tertanam sejak kecil, sebagaimana video yang diperlihatkan kepada kami,
tentang eksperimen yang intinya menunjukkan bahwa anak-anak memilih “boneka
kulit hitam” lebih jahat daripada yang berkulit putih.
Bukankah sudah
dibahas sebelumnya? Bahwa the real us bukanlah
raga kita, melainkan jiwa yang kita beri makan dengan pemahaman dan
pengalaman-pengalaman. Kalau input-nya
positif, tentu output-nya positif
juga. Hanya perlu berdoa, semoga faktor eksternal tidak menjadikan hal-hal yang seharusnya
kita pahami benar, menjadi tidak dilakukan dan berpura-pura tidak ingat
apa-apa.
Komentar
Posting Komentar