12 Februari
Karyawan pos,
Heri dan bapak itu telah menjadi saksi kisahku hari ini. Kisah yang menambah
catatan peristiwa memalukan di memori otakku, Heri mungkin juga. Kami bukannya
malu karena jatuh di selokan, salah panggil orang, atau tanpa sengaja menabrak
kaca ketika jalan.
Selalu saja
setiap ingin mengirim naskah, ada-ada saja kejadian membekas. Pernah, di
situasi sama, kami pun harus menggigit jari. Naskah telah terkirim, tapi lembar
perizinan pengganti kartu siswa yang nyatanya lebih penting daripada naskah itu
tertinggal, padahal hari itu adalah deadline.
“Di kantor pos
saja, dek..”
“Disana lebih
murah”
Kami telah
menjumpai beberapa masalah sebelum berangkat, tak disangkanya kami bertemu lagi
di perjalanan, tepatnya di perempatan jalan sekitar nol kilometer dari sekolah.
Izin keluar asrama bagi kami, sama seperti mengurus SIM bagi kau. Kami harus
menyetor kertas dengan nama kami tertera sebagai “peminta izin” disertai nama pembina
kami sebagai “pemberi izin”. Kendaraan, kadang kami pun harus memutuskan urat
malu lagi untuk mendapatkannya beserta helm. Tak jarang kami diancam macam-macam
kalau sampai telat dikembalikan.
Perjuangan tidak
berhenti sampai disitu, kami harus berhadapan lagi dengan bapak-bapak yang
selalu keliling sekolah kami sambil meneriaki nama siswa yang kedatangan
penjenguk. Aku berani taruhan. Semua siswa ketika diperhadapkan dengan dia
pasti pasang muka-muka baik sambil cenge-ngesan
dan sekali-kali mengedipkan mata, memohon. Untuk kau, kuingatkan! Kalau dia
marah, marahnya tiada tara, sedang jika
kena marah, perihnya tak terperi. Hahaha.. aku terang-terangan saja yah, toh
sepenglihatanku dia tak pernah membaca cerpen-cerpen remaja maupun dewasa yang
dimuat diblog-blog ataupun majalah. Hanya saja setiap kami kesana, koran-koran
bekas maupun bukan bekas selalu bertebaran.
“Astaga.. alamat
surat kulupa di perpustakaan”
“Kembali?”
Motor kami pun
putar stir. inilah yang kutakutkan ketika meminjam motor seseorang, takut
bensinnya habis dan kami terpaksa membeli seliter atau dualiter sebagai
pengganti. Untunglah, empunya motor orang baik. Dia pasti maklum bagaimana jika
anak asrama keluar kandang dan berkelana ke jalan kota.
Kami dapat
masalah lagi. Ternyata naskah harus di-copy
dua rangkap. Uang ada, motor ada, oke ayo kita fotocopy. Sempat juga kami
membeli roti untuk mengganjal perut di tempat yang bertuliskan “Fotocopy Rezki”
itu. Fotocopy selesai, motor pun kami bawa menyusuri
kota-peduaan-pertigaan-perempatan-perlimaan sampai kami menemukan kantor pos.
Enam puluh detik
akhirnya menjadi semenit, semenit itupun merangkak ke lima menit. Kami diberi
masalah lagi dengan tak jua menemukan kantor oranye itu. Dengan tetap tidak
turun dari motor, kami tanya seorang pejalan kaki yang paling ramah wajahnya---menurut
kami. Setelah berbincang sedikit, orang itu menunjuk arah Selatan, sabil
berkata “Disana dek”.
Kau ketawakah?
Ini karena seseorang memberi kami alamat palsu. Tapi tak semuanya palsu.
Kuingat katanya juga, orang Pinrang itu ramah-ramah. Bisa jadi, karna setibanya
kami di kantor pos, kakak penjaga pos itulah yang menyapa kami terlebih dahulu,
menanyakan tujuan kami, dan mengurus pengiriman surat kami.
“Ini dikirimnya
cuma bisa besok, dek”
“Kak, memang
hari ini tak bisa?”
“Apa tak bisa
stempel pengirimannya tanggal 12 Februari?”
“Tidak bisa,
dek. Bisanya ya 13 Februari”
“Tapi kami deadline lombanya 12 Februari, kak”
“Ehm, kalau
begitu saya akan bawa ini ke kantor pos Pare-Pare sore ini, bagaimana?”
“Biayanya
bagaimana?”
“…”
Dia dan teman wanita
disampingnya tertawa mendengarku. Teman wanitanya itu. Apakah dia? Pegawai pos
yang selalu diceritakan Panjul? Pasalnya setelah surat dikirimnya untuk Lomba
Menulis Surat Pos Indonesia di kantor pos yang sama dengan kami sekarang, dia
selalu memperagakan cara wanita memberi stempel pada amplop dengan muka masem
dan tangan yang menurutku lebih mirip membuat cobek dari pada memberi stempel.
Kami selalu
tertawa mengingatnya.
“Ini harganya
dua puluh lima ribu satu amplop yah, jadi totalnya seratus dua puluh ribu.”
GDERRRR~
Petir petang
hari menyambar kami. Ingat kami, uang disaku usai fotocopy Cuma delapan puluh
tujuh ribu. Kami mengocek saku dalam-dalam sampai tempat yang hanya bisa
dijangkau debu sekalipun demi mengumpulkan uang untuk menambah delapanpuluh
tujuh ribu menjadi seratus duapuluh. Tapi nihil, mulai dari ketas lima ribuan
sampai koin lima ratusan terkumpul, nominal uang tersebut tetap tak genap
seratusduapuluh.
Mereka jelas
mendengar, melihat dan mengerti bahwa uang yang kami bawa tak cukup.
“Kita pulang
ambil uang dulu?”
“Memang uangnya
berapa, dek?”
“Seratus tujuh
ribu kak”
“Tidak apa-apa,
dek. Segitu saja, nanti saya yang tambahkan.”
GDEERRR~
Untuk kedua
kalinya kami tersambar petir lagi, tapi kali ini tak bergemuruh, malahan
membawa bunyi musik pembuka acara ulang tahun. Senang ya senang, tapi tetap
saja kami malu. Entahlah jika bagi kau itu tidak memalukan.
Akhirnya kami
pun pulang membawa muka yang kami bungkus bersama malu. Sebelum pulang, kami
membungkuk tigapuluh derajat sambil berucap terima kasih pada kakak tadi,
lantas segera berlari. Di ujung pintu samar-samar kudengar sebuah suara..
12 Februari 2016
-Ini Kisahku..
Pinrang, 12 Februari 2016
-Ini Kisahku..
Pinrang, 12 Februari 2016
Komentar
Posting Komentar