Tetralogi : Senja
#1 : Kisah Seorang Gadis Pecinta Senja
Apa yang lebih
disukainya melebihi senja? Jikalau setiap petang menjelang, sebuah kursi di
teras rumhanya tak pernah kosong dan memang hanya dihuninya seorang. Siapapun
yang mencarinya di kala senja, katakan saja pada sesiapa itu “dia sedang
bersama senja”. Itupun kalau ada yang mencarinya…
Gadis itu, si
pecinta senja itu dengan mata biru yang lekat, rambut hitam lebam, raut wajah
yang teduh dengan sedikit polesan bedak halus akan terus melamun sampai
matahari benar-benar tenggelam tanpa menyisakan bekas. Kursi pun masih harus
memanas walaupun udara disekitarnya telah merintih dingin
Gadis pecinta
senja itu. Sangat mencinta, lebih mencinta bahkan melebihi cinta manapun yang
terdalam yang pernah kaulihat. Tak hanya itu. Jikalau matahari sedang naik dan
tidak ada tanda-tanda senja, dia akan membaca banyak cerpen tentang senja.
Mulai dari Sepotong Senja untuk Pacarku, Senja di Pulau Tanpa Nama, Senja di
Kaca Spion, Negeri Senja, Matahari Tak Pernah Terbenam di Negeri Senja, Senja
dan Sajak Cinta, Hujan, Senja, dan Cinta, sampai Di Ujung Senja.
Jangan bertanya
tentang keluarganya. Sepanjang aku mengenalnya tak sesiapa pun kulihat pernah
menyentuh gagang pintu hanya sekedar untuk masuk atau keluar. Aku sendiri
sangat penasaran. Siapa yang menemaninya makan, siapa yang ditemaninya
berbicara, dimana dia membeli makanan, atau dia sebenarnya makan sesuatu atau
tidak. Setahuku, jalan setapak di depan rumahku inilah satu-satunya jalan yang
mesti dia lewati jika ingin berbelanja.
Jangan juga kau
bertanya darimana asalnya. Karna pertanyaan itupun masih menggantung-gantung di
kepalaku. Seingatku, saat kupulang dari bekerja sore itu, dia sudah bertandang
rapi disana. Jalanku sudah buntu mencari jawaban. Anggap saja dia turun dari
langit dan tiba-tiba saja menyukai senja.
Tak pernah
kutemui gadis seperti dia. Dia hanya ada satu di dunia. Meskipun dia hanya
menatap senja sepanjang petang, (aku tidak tahu apa yang ia kerjakan dibalik
tembok rumahnya) dia tak pernah tampil seperti gadis-gadis penyindir dan tak
urus diri seperti di film-film. Setiap ingin bertatap muka dengan senja,
dandanannya selalu rapi, rambutnya baik
diikat maupun tidak selalu menunjukkan tanda bahwa empunya telah menyisirnya
berulang kali. Tak jarang make up tipis tampak meriasi wajahnya yang sebenarnya
tanpa make up pun sudah cantik.
Jelita sekali
dia. maka jika dipandang sekilas, akan lebih masuk akal jika orang mengira dia
akan kencan daripada hanya keluar-duduk di teras-dan terus bergeluyut dengan
senja.
Gadis itu, si
pecinta senja itu. Apa lagi yang lebih tidak disukainya selain hujan? Sebagai
pecinta senja tentu ia benci jika harus tak bertemu walau sehari. Pernah suatu
hari di petang yang mendung, senja tetutupi awan. Alhasil kursi di teras
rumahnya tak jadi memanas, sebab ia tka duduk dianan.
Dia sedih,
sangat sedih, lebih sangat sedih dan mungkin melebihi kesedihan yang paling
sedih yang pernah kau temui di dunia ini. Kalau sudah begitu, maka ia hanya
akan menatap lagit yang dibaliknya ada senja di hadapatan mata jendela sembari
jemarinya meraba tetes-tetes air yang berjatuhan, menyisakan embun lalu ia
menulis padanya : senja.
Sudah berulang
kali kutanyakan ini, bukan padanya melainkan pada diriku sendiri “apa sebenarnya
yang kau cari pada semburat merah di sore hari itu?” tapi aku tak kuasa
mendapat jawabannya. Mungkin jika kutanyakan padanya, aku mendapat jawaban.
Jadi kuberanikan diri bertanya.
Hasilnya, dia
hanya membisu. Jangankan menjawab tanyaku,
memandangku pun ia enggan. Aku benar-benar tidak mengerti. Teki-teki ini bahkan
lebih menyulitkan dari soal olympiade matematika internasional yang empat
variabelnya.
Tujuh hari telah
menjadi seminggu. tapi senja tetaplah senja. Mau itu satu, dua, tiga, dan
tujuh. Hari ini aku berangkat lagi untuk
memata-matai gadis pecinta senja.
Aku terbelalak. Ini
adalah kali pertamanya dalam setahun dia tidak duduk di kursi terasnya, tidak
memandang senja sehingga senja terlewatkan begitu saja. Bukan karna hujan, hari
ini langit tak ingin menangis.
Ini kali pertama
dalam setahun juga aku pulang dengan rasa penasaran yang begitu
memuncak. Aku bahkan lebih penasaran mengapa dia tak datang hari ini, dari pada
mengapa dia memandangi senja setiap hari.
Kemana gerangan
gadis pecinta senjaku…?
Komentar
Posting Komentar