Merah
Ingin rasanya
aku menjadi ikan arwana.. Bisa bermuara ke laut mana pun, menghindari seikan
pun dan berlabuh dimana pun. Jikalau arwana lautan tak pantas untukku, arwana
di comberan juga boleh. Toh setidaknya aku bisa bersembunyi di pipa-pipa kecil
dan besar tempat air bekas mandimu mengalir. Aku tetap ingin menjadi ikan
meskipun itu bukan arwana. Apa yang membuat kau tak bahagia ketika menjadi
ikan? Saat seseorang melempar batu ke arahmu, dengan sigapnya kau dapat
menghindar masuk ke air atau menyelam lebih dalam.
Jika mereka
bersikeras ingin menangkapmu atau sedekar ingin menakutimu, kau boleh
mengibaskan ekormu, agar duri kecil disana dapat meneteskan satu atau dua tetes
darah. Seandainya aku menjadi ikan, aku hanya akan di air, tak akan mencampuri
urusan daratmu. Urusi saja semuanya. Siapa juga yang mau mengurusi
manusia-manusia yang terus berbuat onar? Membunuh, merampas, merusak, menodai, dan masih
banyak me- lain.
Tapi sesekali,
aku akan menengok ke atas, sekedar mengintip apakah matahari masih terbit di
timur atau sudah tidak lagi. Bukan sesekali sebenarnya, aku sering mengintipmu
eh tidak rumahmu untuk memastikan bahwa kau tidak keluar rumah memakai baju
merah.
Karena baju
merah itulah…. Baju merah itulah yang membuatku ingin menjadi ikan. Merah yang
sepadan dengan lipstikmu juga darah yang mengalir dari tubuhnya.
Kalau gerimis,
aku ingin bersembunyi di pojok bawah jembatan, sebab takut teringat waktu kau
dan dia saling tindih tempo hari. Kualihkan pandanganku sebentar karena malu, entah pada
siapa. Lalu kumenoleh lagi, dan kau telah menusuk sebilah pisau tepat di bagian
dada lawan mainmu.
Ada bercak darah
di wajahmu. Di dinding juga ada beberapa. Lepas itu kau berangkat sambil
mengusap wajah dan berlalu….
Celakanya,
ternyata aku masih ingat itu meskipun aku menjadi ikan. Ikan apapun itu. Mau arwana,
bandeng, mujair, koi, bahkan ikan duyung. Jadi… aku harus bagaimana?
-Ini Kisahnya..
Pinrang, 18 Februari 2016
-Ini Kisahnya..
Pinrang, 18 Februari 2016
Komentar
Posting Komentar