Naluri: Review Novel "Penguasa Lalat" oleh William Golding
Efek #dirumahaja, saya iseng mengikuti sebuah challenge. Tantangannya adalah membaca buku selama dua minggu, dan menuliskan kesan terhadap buku itu. Hmm, saya memang selalu punya buku untuk dibaca sih. I mean, setiap satu novel selesai, saya pasti segera mencari bacaan lain. Tapi, di hari-hari normal, saya sedikit sekali meluangkan waktu untuk membaca tok saja—sampai buku itu tamat. Saya hanya membawanya kemana-mana, agar setiap penantian (menunggu dosen, teman diskusi, antrian, internet yang lambat, dll), jeda antar kegiatan, atau saat lagi pengen saja, barulah saya buka bukunya.
Tapi karena sekarang bisa dibilang masa di mana terlalu banyak waktu kosong, jadi ya memang saya harus punya target menyelesaikan baca bukunya berapa hari. Termasuk Penguasa Lalat ini. Buku yang sebenarnya tidak akan saya beli jika melihatnya di pajangan Gramedia atau toko buku lain. Saya tidak tahu penulisnya, cover tidak begitu menarik—begitupun judulnya, serta sinopsis di balik buku pun belum membuat saya terlalu penasaran hingga ingin membukanya. Haha.
Saya mendapatkan buku ini pada
14 Februari 2020, di acara Blind Book
Date-nya @katakerja. Kebetulan, buku ini ialah milik kakak kelas saya
sewaktu SMA, yang merupakan salah satu pustakawan katakerja,
dan katanya buku ini pernah mampir di perpustakaan sekolah. Pantas saja, cover-nya tidak asing. Singkat kata,
saya pun mulai antusias membacanya, karena kakak kelas saya itu bilang, “bukunya bagus banget dek!”
Oke. Halaman pertama, kedua,
ketiga dimengerti. Berikutnya sepuluh halaman, 20 halaman, dan berpuluh-puluh
halaman, benar-benar menguras pikiran. Ini
novel apa kumpulan esai sih? Saya senang membaca buku terjemahan, tapi
serius, ini yang tersulit kata-katanya untuk saya mengerti. Terlalu ‘tinggi’,
terlalu kaku, baku bak karya ilmiah (bahkan karya ilmiah lebih mudah dipahami
sedikit daripada itu).
Saya dibikin tambah pusing lagi
dengan terlalu banyaknya tokoh dalam cerita itu. Ada Ralph, Piggy, Jack, Simon,
Roger, si kembar Sam dan Eric, Maurice—dan ya, sepertinya merekalah yang paling
sering disebut dalam buku. Penggambaran dari tiap tokoh pun tidak terlalu
ditonjolkan. Jadi, saya bebas saja membayangkan wajah Ralph seperti bocah kecil
di film Jumanji. Lalu Piggy ialah versi nyata dari Russel dalam film animasi Up. Jack sendiri hmm, saya cuma bayangkan
dia adalah anak laki-laki yang sedikit gondrong dengan alis yang tebal dan
sering berkerut. Yah, mereka bertigalah pemeran utamanya Pembaca Sekalian.
Percayalah, saya tetap membalik
satu per satu halamannya (tanpa terkecuali) meskipun saya tidak mengerti apa
yang mereka bicarakan haha. Saya yakin, pasti akan ada segmen, di mana saya
bisa paham keseluruhan cerita dengan hanya membaca bagian itu. Kendati
sebenarnya saya sudah tahu sih dari sinopsis di belakang buku. Tapi saya ingin
klimaks. Ya, puncak konflik ceritanya.
Jadi, alkisah, sekelompok anak
sekolah (kira-kira setara SD-SMP) terdampar di pulau terpencil, akibat
kecelakaan pesawat. Jangan heran ya kalau mereka selamat (namanya juga fiksi
:v). Anak-anak itu kemudian bukannya panik, malah merasa senang terbebas dari
orang dewasa dan sekolah. Di samping, mereka tetap sadar, bahwa tidak mungkin
selamanya mereka di pulau itu sambil menua. Jadi, sembari menikmati masa-masa
sendiri*eh, mereka juga menyusun rencana, bagaiamana agar kapal-kapal yang
lewat bisa mengetahui ada mereka di sana.
Lalu ketua pun dipilih. Ralph
yang saat itu memegang kerang—sebagai semacam toa untuk memanggil anak-anak
lain (diistilahkan majelis), dengan sendirinya menganggap diri sebagai ketua
dan tidak adanya anak yang menentang semakin memperjelas pemilihan ketua tanpa
voting itu. Dan ada juga Piggy, si gembul berkaca mata yang punya asma dan
selalu menjadi bahan bully-an :(
Piggylah yang sangat mendukung
Ralph sebagai ketua, karena mereka paling pertama bertemu setelah kecelakaan,
meskipun Ralph juga salah satu pem-bully
Piggy :(
Saya tidak mengerti ya, kenapa
waktu itu dikisahkan Jack tidak protes. Sementara dia adalah ketua paduan
suara, yang bisa dibilang bertentangan dengan Ralph. Mungkin karena mereka
masih anak-anak ya haha.
Jadi begitulah. Perintah Ralph
bisa dibilang diikuti anak-anak lain dengan baik. Ralph—atas saran dari Piggy
kemudian mengatakan bahwa, jika mereka ingin diselamatkan, harus ada tanda,
tanda yang paling mungkin adalah asap, dan asap diperoleh dari api. Dibagilah
kelompok menjadi pengumpul kayu bakar dan penjaga api—yang salah satunya Jack.
Nah, si Jack ini bandel, Pembaca
Sekalian. Ketika disuruh jaga api, dia malah mengajak timnya pergi berburu—karena
dia suka itu—sehingga api pun padam. Padahal kala itu, ada kapal yang melintasi
pulau, yang barangkali bisa menyelematkan mereka. Di situlah konflik antara
Ralph-Piggy dan Jack bermula.
Lama kelamaan membaca, saya
menyerah juga. Saya butuh petunjuk untuk memahami setiap peristiwa di buku itu.
Akhirnya, saya intip-intiplah review
terdahulu dari buku ini hehe. Di situ (sekitar 100 halaman terakhir) saya baru ngeh. Ternyata Ralph itu dilambangkan
sebagai pemimpin yang sistematis, tertib, kaku, dan visioner. Sementara Piggy simbol
ilmuan, yang darinya pemimpin bisa mendapat pertimbangan, masukan, meskipun
kadang diremehkan (dianggap lemah) di birokrasi. Lalu, si Jack ini diibaratkan
para pendemo (baca: pembangkang) di luar sana yang menentang keteraturan. Dia liar,
biadab, dan yah tidak suka diatur-atur.
Setelah membaca salah satu review itu, kejadian-kejadian sebelumnya
yang saya baca mulai related. Saya
pun membaca 100 lembar terakhir dengan khidmat dan banyak mengangguk. Iya
benar. Cerdas sekali Golding ini menyederhanakan konsep Natural Man (naluri dasar manusia)—dibalut politik tipis-tipis menjadi
cerita yang apik.
Saya ingat ketika Jack benci
dimarahi oleh Ralph karena meninggalkan api untuk berburu, sementara dia merasa
“Toh aku bawa daging untuk kita semua”,
sementara Ralph tetap mempermalukan Jack di depan majelis karena dianggap lalai
dan tidak sesuai kesepakatan. Lalu, di antaranya selalu ada Piggy yang
menberikan alternatif solusi karena kecerdasannya di atas rata-rata anak lain.
Memang sempat Ralph dan Jack ini
sejalan. Yakni ketika mereka ingin berburu “si buas”—seseuatu yang dianggap
dapat membunuh satu-satu dari mereka ketika malam. Waktu itu karena Ralph
takut, yang memimpin perjalanan adalah Jack si pemberani. Dan di situ kelihatan
sih, bagaimana Ralph juga ingin dikatakan “berani” hanya karena mengekori Jack,
namun tidak pernah memuji Jack atas kecakapannya menyusuri jalan berbatu menuju
puncak—tempat si buas. Hingga suatu hari Jack benar-benar memisahkan diri dari
majelis dan membentuk kelompok baru, karena pertentangan dengan Ralph yang
tidak dapat lagi dibendung (scene di
mana Jack pergi dan apa alasannya itu keren aslii).
Puncak di mana saya benar-benar
kagum dengan filosofinya Golding ialah ketika kacamata Piggy dicuri. Dimana ketika
Ralph dkk sudah kehilangan kekuatan, mereka ingin berdamai dengan suku liarnya
Jack. Mereka menjadikan dalih “penyelematan” sebagai hal yang harusnya mereka
capai bersama. Sayangnya, Jack dkk benar-benar tidak kenal kompromi :(
Kesendirian Ralph setelah tewasnya
Piggy, serta bergabungnya Sam dan Eric ke suku Jack menjadi saat-saat yang
paling saya ingat di novel ini. Bayangkan saja, Ralph seorang diri, tidak
pandai berburu, berkelahi pun bisa sedikit-sedikit, dan dia sedang dalam
pengejaran suku liar untuk dibunuh. Namun, datangnya tim penyelamat tepat
ketika Ralph dan Jack dkk sedang kejar-kejaran menjadi action pamungkas. Ya, setidaknya Ralph tidak mati.
Hebat. Betul-betul hebat. Tidak heran
kalau William Golding ini dapat nobel sastra. Saya mungkin akan
merekomendasikan novel ini jika Pembaca Sekalian memang suka dengan deep thinking, bukan membaca untuk
menghibur diri ketawa-ketiwi. Selain dari yang seperti itu, membaca tulisan ini
(tanpa membaca novelnya) saja rasanya sudah cukup :v
Adapun mengenai bahasanya yang
sulit dimengerti, itu bukan salah Golding-nya sih, melainkan penerjemahnya saja
yang ‘kalah’ dalam memilih diksi. Tapi tetap kita apresiasi ya..
Novel ini begitu filosofis,
memberikan perbandingan antara ketertiban-kekacauan, kecerdasan-naluri, dan
keinginan untuk diikuti. Ya, memang begitulah sifat dasar manusia. “Manusia adalah binatang yang berpikir,” kata
filasafat. Yang mana itu berarti masing-masing kita mempunyai naluri—liar
layaknya binatang, namun dengan berpikir kita bisa mengolah naluri tersebut.
Lalu bagaimana dengan judul “Penguasa
Lalat”-nya? Darimana judul itu muncul dan apa maknanya? Haha, sampai di sini
pun saya sudah membeberkan banyak spoiler.
Jadi, jika Pembaca Sekalian tertarik membaca salah satu mahakarya sastra ini,
silakan cari bukunya atau pinjam ke saya juga boleh :)
Masih banyak kok,
filosofi-filosofi yang tidak saya bocorkan, yang akan lebih syahdu bila Pembaca
Sekalian yang langsung mendapatinya..
Saya pamit dulu.
Komentar
Posting Komentar