Terlalu Panjang untuk Dibaca...
Rabu, 4 Maret 2020
Sebuah surat.*
Untuk siapa saja
Dari Kota Makassar 90233
Selamat malam, semoga Tuhan
terus melimpahi kita dengan rahmat.
Haruki Murakami, pernah
berkata dalam bukunya, What I Talk About
When I Talk About Running, bahwa dia lebih suka berinteraksi dengan uncertain readers di luar sana, ketimbang
orang-orang dalam hitungan nyata di kehidupannya. Dan kurasa aku juga begitu.
Aku suka bercerita, tapi tidak kepada orang-orang yang kukenal atau mengenalku.
Itulah mengapa agak sulit untuk memberi nama pada penerima surat ini. Maka,
silakan baca saja dan anggap kita tidak saling kenal (pun karena sesekali aku
akan bercerita tentang diriku sendiri).
Kira-kira sebulan yang lalu,
aku mulai terlibat di yayasan KITA Bhinneka Tunggal Ika (singkatnya panggil
saja KITA). Sebuah yayasan yang bergerak dalam pendidikan perdamaian dan anti
kekerasan. Sudah lama sebenarnya aku mengenalnya. Tetapi, berkat rekruitmen
yang disebut Guardian of Peace (GoP), aku sadar, untuk komunitas selevel
ini, sekadar “kenal” rasanya sangat rugi.
Singkat cerita, setelah
menjalani Direct Assesment, Peace Leadership Training, dan beberapa
kali Peace Leadership Class. Awalnya,
aku agak mengantisipasi, kalau saja selama kegiatan-kegiatan tersebut
berlangsung (yang rata-rata tidak sebentar) aku menjadi sedikit bosan. Namun di
luar dugaan, ternyata ada-ada saja hal yang membuat lupa bahwa hari telah
petang, yang berarti sudah saatnya pulang.
Jika kuceritakan tentang apa
saja yang kudapatkan setiap kelas maupun
pelatihan di KITA, maka mungkin aku akan diberi teguran. Sebab, tidak seharusnya
menghemat tulisan—dari yang diisyaratkan 3-4 judul, menjadi satu
yang bahkan tidak berjudul ini. Haha. Jadi, yang akan kau dengar ini ialah
sepenggal kisah dua hari semalam di Malino, yang mungkin akan terus kukenang
seumur hidup.
KITA dan kami menamainya Outdoor Class (OC) yang masih bagian
dari Peace Leadership Training. Sederhana
saja, pikirku, palingan di sana kami akan diberi materi seyogyanya yang biasa
dilakukan di ruang KITA, hanya saja dalam atmosfer yang berbeda. Meskipun,
sempat kucuri dengar bahwa kegiatan OC akan fokus bagaimana kami—para GoP saling mengenal jauh kehidupan masing-masing
dan bisa memahaminya. It’s okay, not too
bad.
Hingga tiba hari H, sudah
terasa kesenangan itu dari awal. Saat bercerita hal-hal bahagia, ketika mendengar
cerita bahagia orang lain, sampai di Malino langsung disuguhi makanan lezat,
untuk pertama kalinya lagi selama bertahun-tahun membangun tenda perkemahan
kecil-kecilan, dan sebagainya dan sebagainya. Itu pertengahan hari pertama.
Sesi bercerita itu, KITA dan
kami namakan “refleksi”. Rasanya aneh. Aku yang tadinya begadang dan
merencanakan tidur di perjalanan yang batal karena ternyata OC-nya sudah mulai
sejak berangkat, toh merasa seru-seru saja terus diajak berpikir—bercermin ke masa lalu, sampai ke penghujung hari. Total
ada empat refleksi: Tiga hal paling membahagiakan, perjalanan hidup diibaratkan
sungai, sosiogram atau lebih ke menceritakan
orang-orang berpengaruh dalam kehidupan kita, serta minta maaf dan memaafkan. Banyak
aku mendengar kisah orang lain, dan tidak sedikit yang mengejutkanku. Bahwa di
balik pribadi dia yang seperti ini
ternyata begini, dan begitu dan begitu. Kisah hidupku sendiri? Hah, lupakanlah.
Itu bukan apa-apa.
Sampai pada sesi—bukan refleksi sih, hanya semacam memberi kesan dan
apresiasi terhadap orang lain maupun kisah-kisahnya, aku pun menitikkan air
mata—sesuatu yang menurut pribadiku, sangat jarang kulakukan di hadapan orang
lain. Kau tahu kenapa? Ketika itu instruksinya ialah tepuk pundaknya, bagi teman yang dari cerita-ceritanya kau anggap
tegar, dan seseorang menepuk punggungku (iya, bukan pundak). Apa ya? Aku
tahu, barangkali tepukan itu hanya sebatas apresiasi atau simpati, karena kuceritakan
tentang ayahku yang telah berpulang. Tetapi, entah mengapa aku merasa akan
tetap senang menerimanya meskipun itu suatu kebohongan. Selama ini yang kutahu
ialah aku rapuh, yang baru diberi cobaan kecil saja mengeluhnya minta ampun.
Dan seseorang berkata aku tegar?
Tidak sampai di situ. Setelah
satu dua tetes air mata jatuh, kesedihan malah kian tak terbendung. Aku
terus-terusan berpikir bahwa, kenapa
menyimpannya sendiri selama ini, Wi? Aku sadar bahwa meskipun punya
keluarga dan sahabat, aku sangat jarang sekali menceritakan kebahagiaan dan
kesedihan pada mereka. Jadi, KITA ini benar-benar wahh.. mampu mengungkap tabir
yang paling tebal sekalipun dariku dan (bisa jadi) teman-teman GoP lainnya.
Keesokan harinya tentu lebih
seru lagi. Meskipun Minggu pagi-pagi—setelah seru-seruan dengan
senam, kami ditegur karena tidak sadar waktu dan tanggung jawab. Namun berkat games yang seru-sengit, kami pun tidak
membahasnya lagi, kecuali sesekali untuk memastikan kami tidak mengulangi
kesalahan yang sama.
Sayangnya, di Minggu pagi itu
juga, bertepatan salah satu komplotan mahasiswa konvensional sedang melakukan
perpeloncoan. Hmm, ituloh, yang katanya bisa menguatkan fisik dan mental.
Padahal ingin saja melestarikan budaya kekerasan dan (bisa kubilang) pembodohan
yang mereka dapatkan juga pada masanya. Jelas terlihat oleh kami perasaan
geram. Tapi lucu juga sih, di sebelah utara sekumpulan orang yang belajar
perdamaian dengan visi menebarkannya, di selatan malah menujukkan sikap yang
tidak mendamaikan sama sekali. Oke. Kita lewati saja itu.
Lanjut ke sesi refleksi terakhir.
Refleksi yang untuk sampai padanya, kami harus menempuh perjalanan sekitar dua
kilometer (pulang-pergi), dengan medan naik-turun, dan dengan sesuatu untuk
dijaga. Ya. Perjalanan pergi kami diberi lilin yang jika apinya padam, kami
tidak bisa melanjutkan perjalanan.
Bisa dibilang kami baik-baik
saja, bahkan setelah melewati jembatan (?) bambu seadanya untuk menyeberangi
sungai. Kami tiba di tempat semacam gubuk, dan kembali diajak untuk melihat ke
masa lalu: siapa yang paling ingin kaumaafkan, dan kepada siapa kau paling
ingin minta maaf?
Di sini teman-teman banyak
menangis, meskipun di grup kecilku hampir tidak ada air mata. Kucuri-curi
informasi dari grup sebelah, ohh.. ternyata alasan mereka menangis barengan ialah karena mereka memiliki
kisah dan perasaan yang sama. Aku memang tidak terlibat langsung, tapi
membayangkan ada orang yang mengerti betul perasaanmu karena pernah di posisi
serupa, tentu sangat melegakan.
Dan tibalah kita di momen
yang paling kusuka. It’s about defense.
Setelah balik dari air terjun, kami ternyata main air lagi. Sederhananya, kami
GoP dituntut agar sebuah lilin menyala yang diberikan kepada kami harus bisa
menyalakan satu lilin lain, yang untuk menuju ke sana, bakalan dilempari
kantong-kantong air.
Kami pun membentuk lingkaran
dua lapis. Satu menghadap ke lilin, satunya menghadang gangguan-gangguan itu.
Aku yang notabenenya membelakangi jalan, harus siap dengan kantong air yang
lolos dari jangkauan lingkaran luar. Rasanya benar-benar seru. Kau terus
berjalan tanpa tahu dari arah mana saja datangnya serangan. Yang bisa dilakukan
hanyalah percaya bahwa temanmu di belakang akan melindungi sebisanya, dan fokus
saja agar lilinnya tetap menyala.
Akhirnya kami berhasil di
kesempatan terakhir (mungkin salah satu faktornya karena kantong air lawan
sudah habis haha). Kemudian disampaikanlah makna dari apa yang dilakukan tadi.
Sayangnya, aku tidak punya rekaman penuh untuk momen ini :(
Apa sudah terlalu banyak? Aku
sudah berusaha loh untuk membuatnya singkat, dengan tetap menggambarkan
perasaanku di tiap sesinya. Tapi yah mungkin dari segi berceritaku saja, yang
kebiasaan suka bertele-tele. Maaf ya.
Pokoknya itulah. Kami belajar
banyak nilai perdamaian, tanpa pernah menyebut kata “damai” itu sendiri. Kami
belajar menjadi pencerita dan pendengar yang baik.. Tak lupa pula kami membahas
hal-hal teknis terkait GoP, dan tetap me-review
hasil dari refleksi-refleksi yang ada.
Dan sekali lagi, sesaat
sebelum beres-beres, aku kembali menitikkan air mata. Wah, tidak pernah dua hari terasa sesingkat ini. Aku menjadi
sedikit emosional melihat orang-orang baik di sekitarku itu, dan merasa
bersyukur telah dipertemukan oleh mereka.
Akhirnya kami pulang (setelah
tentu ada sesi foto-foto dulu), dengan perjalanan ke rumah yang juga tidak
kalah seru dengan perjalanan ke Malino-nya.
Sebenarnya surat ini akan
kukumpul sebagai tugas pasca OC itu. Namun tidak tahu, apakah tugas yang
dimaksud itu boleh dalam bentuk seperti ini. Paling tidak kan ada kau yang
membacanya. Terima kasih :)
Bila terasa sedikit membosankan,
percayalah, itu hanya pada caraku bercerita saja. Di sana, aku sama sekali
tidak teringat pulang. Sementara kau tahu kan, lirik lagu yang terkenal itu: only hate the road when you missing home~
Selamat beraktivitas kembali.
Salam hangat,
Dwi Rezki Fauziah
*surat ini saya tulis sebagai refleksi Outdoor Training, lebih dulu daripada refleksi yang lain sehingga gaya ceritanya sedikit berbeda :v
*surat ini saya tulis sebagai refleksi Outdoor Training, lebih dulu daripada refleksi yang lain sehingga gaya ceritanya sedikit berbeda :v
Komentar
Posting Komentar