Selain Cinta, Impian adalah Hal yang Paling Membuat Galau Kaum Muda
Yap. Setidaknya itulah yang saya simpulkan dari memandang diri saya
sebagai remaja yang beranjak dewasa. Begitu pula teman-teman saya, adik kelas
saya, laki-laki maupun perempuan. Sewaktu SMA kemarin, di pantry dan mushollah—pada bukan waktu sholat, sering saya dan
beberapa teman berkeluh kesah tentang kebimbangan ingin masuk ke jurusan mana,
universitas apa. Dan setelah masuk universitas lagi, sering juga saya dan
beberapa teman bingung sendiri. Memangnya masuk jurusan ini karena apa ya?
Terus, kalau lulus nanti mau kerja di mana? Dan seterusnya, dan seterusnya.
Rabu kemarin (25 Maret), saya cukup terkejut mengetahui bahwa materi PLC
ketujuh ini berjudul: Do You Know Your
Dream? Haha. Apasih. Saya
sebenarnya menghindari topik-topik seperti ini. Bukannya karena tidak punya
mimpi, justru saking banyaknya mimpi saya, saya belum menyisihkan waktu untuk
memilahnya. Agar fokus, agar terarah dan tidak tergoda lagi dengan mimpi-mimpi
orang lain. Meskipun saya ini suka sekali berencana, percayalah, tidak semua
rencana itu terwujud (dengan sebenarnya memang bukan kita yang berhak
menentukan). Terkadang saya juga memilih untuk tidak merencanakan apa-apa. Ikut
arus istilahnya. Sebutan untuk kondisi berpasrah ketika kita merasa ‘arus’-nya
terlalu kuat untuk dilawan.
Kak Therry pasti bisa membaca pikiran para GoP yang disuguhi materi ini.
Sehingga di awal materi dia bertanya, “Apa sih hubungan ‘mengetahui mimpi’
dengan kepemimpinan dan perdamaian?” dan tahu apa jawabannya?
Itu karena dengan mengetahui mimpi, ialah salah
satu tanda kita telah berdamai dengan diri sendiri (inner peace). Ditambah lagi, dengan mengetahui mimpi alias sesuatu
yang ingin kita raih, tidak akan sulit kita melewati quarter life crisis masing-masing. Wah, saya langsung ngeh. Selain cinta—kisah kasih di sekolah,
impian memanglah hal paling menggalaukan anak-anak muda.. termasuk saya sendiri
:v
So, mimpi seperti apa sih yang dimaksud di
sini? Jika Pembaca yang Budiman berpikir bahwa mimpi itu seperti “mau jadi
apa”, yang berarti jawabannya mungkin dokter, arsitek, polisi, akuntan,
ternyata keliru. Termasuk juga jawaban untuk pertanyaan: mau kuliah di mana,
ingin menjadi siapa, negara yang ingin dikunjungi, jumlah gaji maunya berapa,
dan sejenisnya. Bukan itu, Pembaca Sekalian.
Tidak apa. Saya pun berpikir seperti itu pada
awalnya. Toh, mayoritas orang Indonesia (?)—saya tidak tahu ya di luar negeri,
memang mendefinisikan impian dan cita-cita serupa, sebagai sebuah profesi masa
depan. Yah meskipun ada juga sih beberapa yang out of the box, yang ketika ditanya apa mimpimu, dia menjawab dengan pola berbeda: saya ingin membuat kapal yang bisa terbang dan digunakan untuk
berperang. Kurang lebih itu contoh yang diberikan Kak Therry, tentang
seorang anak pelosok yang mimpinya berbeda dari kebanyakan anak lain.
Nah, quotes
dari Pak Anies di atas merupakan gambaran dari, mengapa cita-cita seperti
dokter, tentara, atlet dan kawan-kawannya bukanlah impian yang dimaksud di sini.
Sebenarnya tidak salah. Hanya saja, jika kita memang mencita-citakan untuk
menjadi “seorang”, kita juga harus tahu apa alasannya. Why? Dengan begitu kita bisa menemukan positive value dari cita-cita itu.
Misalnya saja, si A ingin jadi hakim karena dia
ingin menegakkan keadilan. Jika si A memegang teguh alasannya ingin menjadi
hakim, tentu dia akan masuk kuliah hukum—dan sejenisnya dengan cara-cara yang
baik (baca: adil). Tidak menyontek saat tes, tidak menyogok, karena dia tahu
itu adalah satu bentuk ketidakadilan. Jika targetnya hanyalah menjadi hakim
tanpa diikuti dengan suatu nilai positif (misal dia ingin jadi hakim karena
gajinya banyak), ya besar kemungkinan dia akan menggunakan segala cara untuk
meraihnya. Sebab tidak ada prinsip, ditambah visi yang terlalu materiil.
Dalam menemukan mimpi sendiri, biasanya ada dua
cara berpikir yang digunakan. Satu: dari what-how-why.
Dua: dari why-how-what. Seperti
yang ditunjukkan gambar (di bawah) berikut. Orang-orang yang berpikir dari luar
ke dalam ialah, mereka yang menjadikan beragam profesi tadi sebagai impian,
kemudian mencari cara mencapainya, sudah tercapai, baru bertanya: kenapa ya saya kerja di sini?
Berbeda jika kita berpikir dari dalam ke luar.
Memang prosesnya tidak secepat kita memutuskan ingin menjadi apa, karena kita
perlu melihat ke dunia luar: perubahan apa yang kita inginkan? Nilai positif
apa yang akan dibawa sepanjang hayat? It’s
a really difficult question—at least for me. Tapi sisi baiknya, ketika kita
sudah menemukan visi hidup, menjadi apapun, selama itu mendukung visi kita, ya
tidak ada masalah.
Sebagai contoh si A tadi, ketika misalnya tidak
ditakdirkan menjadi hakim, melainkan bupati, maka dia tetap bisa menegakkan
keadilan sebagai bupati. Atau jika tidak ditakdirkan lagi menjadi bupati—melainkan
hanya pegawai neger, maka dia tetap bisa
berlaku adil dalam melayani masyarakat atau paling tidak kepada anak-anaknya
kelak.
Selain itu, mengetahui visi atau mimpi,
menjadikan kita tahu, when we say no!
Setiap keputusan yang diambil pasti tidak akan
jauh dari tujuan kita, dan terhadap godaan-godaan atau hambatan pada prosesnya
nanti, kita tidak sungkan menolaknya. Maaf,
itu tidak sejalan dengan visi hidup saya. Mengagumkan, bukan?
Lagipula, indikator seorang pemimpin yang bakalan
diikuti oleh banyak orang salah satunya ialah mampu menginspirasi. Dan untuk
bisa menjadi inspiratif itu, tentu harus punya kemauan kuat dulu, why-nya harus tangguh. Bisa juga kita
bahasakan visioner.
Begitulah kiranya PLC #7 ini memberitahu saya
bahwa, saya pun masih belum memiliki visi itu. Impian yang saya tuliskan ketika
di awal—yang katanya banyak itu, masih berupa profesi dan lingkupnya cuma untuk
saya, bukan pada lingkungan di sekitar saya.
Jikalau Pembaca yang Budiman merasa tidak cukup muda lagi untuk menggalaukan impian, tenang.. tidak ada kata terlambat kok untuk memulai. Karena (sekali lagi) impian yang dimaksud di sini adalah bukan tentang mau jadi apa, melainkan mau melakukan apa...
Jikalau Pembaca yang Budiman merasa tidak cukup muda lagi untuk menggalaukan impian, tenang.. tidak ada kata terlambat kok untuk memulai. Karena (sekali lagi) impian yang dimaksud di sini adalah bukan tentang mau jadi apa, melainkan mau melakukan apa...
Ada sesuatu yang sedikit mengganjal di benak
saya, bahwa Kak Therry sempat bilang, menyukai sesuatu itu tidak bisa dijadikan
alasan. Saya ingin menjadi sastrawan
karena saya suka menulis puisi. Katanya, itu bukanlah visi seorang
pemimpin. Meskipun kita butuh minat atau passion
itu dalam bermimpi (ya kalau tidak suka dengan sesuatu, untuk apa melibatkan
itu dalam visi hidup kan? :v) Dan benar juga sih. Namanya juga kelas
kepemimpinan dan perdamaian haha.
Diskusi waktu itu berlangsung sangat alot,
Pembaca Sekalian. Biasanya kita mulai jam 17.00 sampai jam delapan atau
setengah sembilan malam paling lambat. Tapi Rabu kemarin, kita mulainya jam
16.00 dan berakhir sekitar jam 22.00 :)
Ada banyak pertanyaan, dan ilmu tambahan.
Termasuk bocoran tentang PLC berikutnya, tentang How To Find Your Dream. Sudah dikasi tahu satu sih, bahwa untuk
merancang visi atau mimpi itu jangan membayangkan kita sendiri, melainkan as a unit alias satu keluarga. Jadi,
ketika cari pasangan nanti, cari yang kira-kira sevisi dengan Pembaca Sekalian.
Sama-sama peduli isu lingkungan, sama-sama cinta perdamaian, atau senada ingin
mencerdaskan anak bangsa. Ehem.
Akhir kata saya ucapkan terima kasih telah
membaca sampai sini. Selamat mencari tahu mimpi masing-masing!
Komentar
Posting Komentar