Aku dan Kau di Pasar Minggu



Tolong bawa aku ke pasar jika aku mulai angkuh. Terlahir dari keluarga mapan meskipun tak mencapai taraf ‘kaya’ kadang membuatku merasa lebih dari yang lain. Bukan inginku rasa itu ada. Kau tahu, kan kadang hati sendiri pun kita tak tahu putih atau hitamkah ia. Tidak aba-aba dari otak kita yang memerintah rasa itu muncul, itu terjadi begitu saja. Seperti angin yang bertiup di hadapanku saat ini, melintas begitu saja---tanpa permisi.
Pernah kudengar kata orang—entah siapa, sering-seringlah ke rumah sakit. Katanya agar tersadar, ternyata banyak dari makhluk-Nya yang belum diberi kesehatan. Aku setuju. Kini akan kutambahkan. Agar kelak kau menulis : pernah kubaca tulisan di blog yang diberi nama ‘Kertas Kosong’ bahwa tak hanya rumah sakit sebagai destinasi tempat untuk mengingat nikmat Tuhan.
Sering-seringlah ke pasar! Maka kau akan tersadar ternyata banyak dari makhluk-Nya yang perlu beberapa lembar ribuan untuk sekadar makan atau untuk ditabung dan digunakan jika ada keperluan mendesak.
Sudah kulakukan. Jika belum maka tak pantaslah aku menulis ini untuk dibaca olehmu. Di pasar memang aku diam, tetapi mataku tak henti menyapu pemandangan---baik atau buruk dan hati ini tak henti menyusun kata yang menggambarkan bentuk mereka, sehingga hasratku berbisik : untung aku tak seperti mereka.
Dosakah aku berkata demikian? Sekalipun dalam hati? Aku tak tahu. Yang kutahu, setiap memandang mereka ada harap dan sesal. “Aku ingin menjadi orang kaya dan akan aku beli semua daganganmu hingga senyummu merekah”, harapku.
“Tapi, nasibmu demikian tak lain mungkin tak bukan karena masa kecilmu kalu habiskan dengan bermalas-malasan. Padahal aku tahu kau bisa saja menjadi cendekia di negeri ini. Mungkin juga kau pandai tetapi kau terbengkalai “biaya sekolah” yang mencekik leher orang tuamu. Dan kau enggan mengais uang sendiri”, sesalku dan mungkin juga sesalmu.
Atau jangan bilang kau tidak beribadah, musabab itulah Tuhan tidak menghendaki kau dengan hidup lebih baik. Tetapi Tuhan Maha Pengasih, kawan. Jadi hal apakah yang membuatmu begini?
Kau menyesal? Aku sesal melihatmu. Sesal tak bisa menolong, toh lolonganku ini pun hanya sebatas tulisan yang akan termuat di blog. Dan sudah termuat jika ini telah kau baca.
Hatiku masygul. Semakin ke sudut pasar kuberjalan, semakin banyak iba dan kata yang tak hentinya waktu kurangkai dalam hati. Sebut saja, seorang nenek yang menjajakan kunyit. Kutebak-tebak, usia mungkin sudah 70-an. Urat tangannya menyembur keluar. Sehingga Rambutnya yang putih semua mungkin akan lebih jika dihitung jari. Dari keriput wajahnya terpancarkan perih. Kendati begitu ringkih, inginnya ia tetap pulih dari miskin, menjajakan kunyit meski tak seorang pun kulihat membeli.
Aku juga melihatmu. Sosok remaja yang demi memanfaatkan hidup yang berarti, membantu orang tuanya memotong ikan-ikan besar kemudian membungkusnya dengan kantongan satu-satu. Ya, Kau yang saat itu memakai kaos oblong, ada sedikit bolong di ketiaknya. Celanamu biru-tua, siswa sekolah menengah pertama lazim menggunakannya ke sekolah. Pertanda juga bahwa kau mungkin sedang atau telah melewati masa putih-biru tua.
Sudah diluar kepala rute langkah ibuku saat di pasar. Kami biasanya masuk melalui sebuah gang kecil yang dikelilingi penjual banno’ yang bisa saja meledak ditelingamu saat kau melintas disana. Sebagaimana pasar tradisional, tentulah yang paling dicari itu ikan dan sayurnya. Jadi, aku dan ibu akan langsung berbelok kiri beberapa langkah menemui pedangang pecah belah, cengkeh, lada, juga para penjajah keperluan rumah tangga yang menerobos bahu demi bahu juga bahuku.
Akhirnya tibalah aku disebuah tempat tak berbatas yang berdarah-darah, dan disitulah kau berada. Aku menepis bau amis yang mengetuk lubang hidungku dengan menutup mulut. Hanya mataku sekarang yang menjelajah kemana-mana, berusaha mencari sesosok untuk disapa. Tetapi aku tidak seramah dulu. Aku juga tak pernah berpikir kalau dulu aku ramah, hanya sebagai pembanding siapa tahu kau menganggapku berubah dengan sikapku yang sekarang.
Itu dia. aku melihatmu. Ya, kau yang sedang memegang pisau….

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Novel "Memberi Jarak pada Cinta"

Some Theories About How The Conflict Appears

Naluri: Review Novel "Penguasa Lalat" oleh William Golding