Dari Kami: Pedagang Pasar Minggu




Siang ini tak seterik saat kau datang di hari minggu kemarin. Sebetulnya, kulihat kau dengan jelas waktu itu, hanya pura-pura aku tak melihatmu karena takut kau akan menyinggung masalah pendidikanku yang tandas di tengah jalan. Maaf.
Maaf juga karena tak menyapamu, padahal sudah lama kita tak berseteru seperti yang dulu. Ya, kita dulunya musuh yang akrab, bukan? Kuingat sekali kau, yang notabene anak seorang cendekiawan malah sering menyontek padaku, kala ujian pun kau sengaja duduk dibelakangku, tau-taunya kulihat kau sesekali berdiri dan mengintip lembar jawabanku. Tapi tak masalah, toh kau juga punya sesuatu yang tak kupunyai tetapi sialnya aku tak bisa mengambilnya semudah kau mengambil jawaban matematika dariku, uang.
Oleh karena itu, aku sungguh bekerja keras demi mendapatkannya. Segala cara telah kutempuh. Pengorbanan? Jangan pikir aku tak berkorban apa-apa. Sudah kukorbankan semua. Tenagaku, waktuku, wajahku, kulitku, pakaianku, teman-temanku sampai pendidikanku. Itulah mengapa kaumelihat celana biru tua kukenakan kala itu, aku memang berhenti sekolah dan aku tak punya celana abu-abu, pasangan rok yang tiap hari kaukenakan ke sekolah untuk dipakai walau sekedar untuk menjajakan ikan-ikan mati.
Aku lihat tatapanmu padaku, dan pada penjual lain di Pasar Minggu. Penuh kasihan, semua hanya seakan-akan kamilah orang termalang di dunia. Ha ha ha, ternyata kau belum berubah. Masih tolol sampai sekarang. Tak apa, bukankah merubah sesuatu yang melekat itu tak singkat?
Pertemuan kita di pasar minggu yang tak terduga sepertinya meninggalkan kesan dibenakmu. Sampai-sampai kau menulisnya di sebuah blog. Seakan-akan kau mengira tak ada di antara kami yang dapat membacanya saking kuno dan primitifnya kami. Ha! Kau kira hanya yang orang tuanya PNS saja yang boleh mengetik jari di kolom pencaharian? Kau pikir kami yang sehari-hari berdagang ini tak tahu-menahu tentang teknologi?
Kau salah, Rindah. Aku sebenarnya menyesal menulis ini dengan sederetan kata-kataku yang mungkin akan menyakitimu. Tetapi, bukankah balasan ini akan menjadi bukti bahwa aku telah membaca tulisan yang sepertinya kau peruntukkan untukku. Kau kasihan sekali kasihan dengan orang yang salah.
Kami, hampir selururh pedagang di Pasar Minggu memang terlihat lusuh, kusut dan utak-atikan, tapi asal kau tahu, sepulang dari Pasar Minggu itu, kami akan berbaring syahdu sambil mengibas-ibaskan uang sebagai kipas. Sebenarnya bukan karena panas, di rumah kami, hampir tak ada ruang yang tak mendapat jatah AC, melainkan hanya ingin menyayang-nyayangnya. Musabab uang itulah yang menjadi penyebab kami diiba setiap hari.
Kami sadar betapa pentingnya uang itu. Tetapi, kami tak ingin seperti kalian yang mengiba tanpa menolong. Akhirnya, setiap bulan rutin kami menyumbang ratusan bahkan jutaan rupiah di panti asuhan atau di surau-surau yang tiada donaturnya. Tapi bukan berarti kami miskin kembali. Kami tetap berpakaian compang-camping---membiarkan orang seperti kau mengasihani kami agar kami tahu, siapakah diantara kalian yang akan menolong? Tapi sampai saat ini, sampai saat pasar minggu kemarin, tak ada, Rindah. Dan kau malah mengira-ngira jikalau kami tidak beribadah kepada Yang Diatas. Kami berdagang pun kami niatkan atas ibadah. Tidak ada kebohongan dan kecurangan didalamnya.
Kau ini lucu sekali. Kau hanya bisa mengiba dan mengasihani kami. Padahal bukan itu yang kami butuhkan. Kami butuh uang. Kau juga tentunya. Potong tanganku jika uang yang kau empunya sekarang mau kau serahkan pada kami. Tidak, bukan? Jadi berhentilah mengiba seakan kau peduli tentang kami. Justru kau yang harusnya memperbanyak ibadah.
Lagipula, sebagaimana yang kukatakan tadi, kami tidaklah miskin seperti dugaanmu. Dunia ini hanya sandiwara, bukan? Jadi kurasa tak apa kita bersandiwara di dunia yang memang hakikatnya adalah sandiwara.
Lain kali berkunjunglah lagi. Akan kusuguhi kau dengan air zam-zam---masih ada sedikit yang bawa ibuku selepas umrah. Meskipun kami tak berpendidikan, kami masihlah lebih bisa memahami arti hidup yang sebenarnya, Rindah. Kuharap kau menempuh jalan hidupmu dengan baik. Jangan curang lagi, jika tak mau lebih rendah dibanding kami.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Novel "Memberi Jarak pada Cinta"

Some Theories About How The Conflict Appears

Naluri: Review Novel "Penguasa Lalat" oleh William Golding