Beginilah Cara Indonesia Mengajarkan Cinta
Ada Cinta di SMA. Begitulah kata sebuah
judul film yang belum lama ini sempat melejit di mata penikmat film Indonesia,
khususnya remaja. Film yang dibintangi oleh personel CJR, Caitlin Halderman, Gege Elisa, Agatha Chelsea Terriyanto, Cassandra Sheryl Lee dan kawan-kawan ini dengan apik menceritakan tentang
percintaan manis dan picisan para remaja yang mulai beranjak dewasa. Bukan
hanya itu, film-film Indonesia belakangan ini memang didominasi oleh
kisah-kisah cinta berbagai rasa. Sakit, manis, tragis atau menggantung. Sebut
saja Uang Panai, Promise, Cahaya
Cinta Pesantren, Jomblo Ngenes, Demi Cinta, Silariang, London
Love Story 2, Galih dan Ratna, Sweet 20,
Dear Nathan, Mars Met Venus dan masih banyak lagi.
Saya pun pernah menonton
beberapa judul film di atas. Waktu itu, saya bersama seorang teman yang juga
punya ‘kisah cinta’ sendiri di masa putih abu-abunya. Namun, ketika menonton
film tersebut, saya merasa ada yang ganjil. Cinta di SMA, ternyata cinta yang
serba tiba-tiba, berubah dari benci ke cinta, dari cinta ke benci. Sampai di akhir
cerita pun kami masih bisa menebak alur-alur yang serba ‘tiba-tiba’ dan sedikit
tidak masuk akal bagi kami. Bahkan, di akhir cerita kami disuguhi adegan yang
dipertanyakan, apakah itu pantas disuguhkan untuk anak SMA atau tidak.
Menanggapi hal tersebut, saya
berpikir mungkin wajar saja. Toh film merupakan salah satu alat hiburan, dan
orang-orang yang menonton film pasti ingin terhibur karenanya. Tetapi, apakah
film serta-merta hanya menghibur jiwa saja? Ternyata, dikutip dari buku Marseli
Sumarno (1996) yang berjudul “Dasar-Dasar Apresiasi Film,” ada tiga unsur atau
nilai yang harus terdapat dalam sebuah film.
Pertama, nilai hiburan. Nilai hiburan sebuah film sangat penting.
Jika sebuah film tidak mengikat perhatian kita dari awal hingga akhir, film itu
terancam gagal. Kita cepat menjadi bosan. Akibatnya, kita tak bisa
mengapresiasi unsur-unsurnya. Tetapi, nilai hiburan juga sangat relatif, karena
tergantung dari selera penonton. Memang, nilai hiburan ada kalanya dianggap
rendah. Itu terutama sering ditujukan kepada film-film yang menawarkan
mimpi-mimpi atau pelarian dari kenyataan hidup sehari-hari.
Jika ditinjau dari segi hiburan, film Indonesia belakangan mulai terkenal
dengan unsur ‘humor’ yang membuat penonton tertawa terpingkal-pingkal. Para
pelawak-pelawak muda bermunculan dan menikmati masa naik daun karena berhasil
tampil di layar lebar. Dan kehadiran mereka pun disambut baik oleh masyarakat.
Kedua, nilai artistik. Nilai
artistik sebuah film dikatakan berhasil apabila ditemukan pada seluruh
unsurnya. Sebuah film memang sebaiknya dinilai secara artistik, bukan secara
rasional. Sebab jika dilihat secara rasional, sebuah film artistik boleh jadi
tak berharga karena tak punya maksud atau makna yang tegas. Padahal, keindahan
itu sendiri mempunyai maksud atau makna.
Secara estetika, seni dalam film-film Indonesia tidak boleh dipandang
sebelah mata. Sebab secara sederhana nilai
artistik mencakup rancangan suatu skenario atau naskah yang berkelas. Dan saya
rasa Indonesia punya itu.
Ketiga, nilai pendidikan.
Pendidikan yang dimaksud bukanlah pendidikan formal di bangku sekolah. Nilai
pendidikan sebuah film lebih kepada pesan-pesan yang ingin disampaikan (nilai
moral film). Setiap film umumnya mengandung nilai pendidikan, hanya perbedaan
satu dengan lainnya adalah pada kedalaman pesan yang hendak disampaikan. Dan
menurut kaca mata saya, nilai pendidikan inilah yang kurang dimiliki oleh
film-film Indonesia.
Tak bisa dipungkiri, pada umumnya khalayak menonton film untuk memperoleh
“hiburan” bukan “didikan.” Tetapi sebagai manusia yang ingin memanfaatkan waktu
dengan sebaik-baiknya, akan jauh lebih baik lagi jika ada hikmah atau pelajaran
yang dapat dipetik dari tontonan itu. Utamanya untuk para remaja.
Sedari dini remaja harus pintar memilah-milah kegiatannya. Mana yang
berguna bagi masa depan atau mana yang hanya terkesan sebagai pemanis
kehidupan. Menonton film dapat tergolong dua kategori di atas. Kesan menghibur
tidak akan hilang hanya karena bumbu nilai kehidupan yang tersirat, atau
informasi baru mengenai keadaan dunia sekarang. Bukankah film salah satu alat
penyampai pesan?
Sungguh sayang seribu sayang, jika film Indonesia hanya dijadikan sebatas
hiburan oleh para remaja yang seharusnya menyibukkan diri dengan kegiatan
bermanfaat. Terlebih lagi, jika film-film kita menyediakan selera humor tinggi
namun dengan cara-cara tak terdidik. Maksudnya, terkadang hal lucu itu
diekspresikan dengan kesan ‘porno’ atau dengan bahasa-bahasa kasar dan
mengejek. Bagi sebagian besar orang memang sepele. Namun, kaum-kaum
berintegritas akan sadar bahwa hal seperti itu tidak patut ditertawai sebagai
orang yang mengerti pendidikan atau seni.
Selain rasa humor tadi, cerita cinta yang diceritakan pun tak seharusnya
melibatkan anak-anak di bawah umur. Terkadang saya mendapati film romantis ala
Indonesia yang dibarengi ketertarikan anak-anak tokoh utama, atau kisah cinta
dewasa namun dinonton oleh umur tidak semestinya. Secara tidak langsung itu
akan memberi gambaran bahwa kejadian itu mungkin saja terjadi, sehingga tak ada
salahnya melakukan itu. Sering saya mendengar teman-teman saya berkata, ingin
melakukan sesuatu seperti di film ini dan itu. Padahal konten yang dimaksud
masih belum sesuai dengan usianya. Lupakah
kita baha film tak lain hanya kisah manusia yang dilayarlebarkan? Sehingga,
sebelum memproduksi sebuah film betul-betul diperlukan kehati-hatian.
Tetapi, kembali lagi kepada diri masing-masing. Meskipun juga terdapat
Lembaga Sensor Film dan kategori film berdasarkan umur, penikmat film tetap
harus mengontrol diri. Sebab seluruhnya berasal dari kesadaran diri bahwa pasti
ada dampak atau alasan mengapa sebuah film belum bisa ditontonnya atau sudah
bisa dilihatnya. Untuk itu, bagi para film, pandai-pandailah memilih film yang
berkualitas, yang menyediakan tiga unsur: hiburan, artistik dan pendidikan,
agar dengan sendirinya film-film yang terkesan menghibur saja, segera lenyap
dari dunia perfilman Indonesia yang tak kalah saing dengan film-film
mancanegara.
Komentar
Posting Komentar