Bertahanlah! Badai Pasti Berlalu~


Tugas saya di rumah ialah, mengurusi perpakaianan. Saya tidak tahu sejak kapan peraturan itu ada di keluarga saya, bahwa setiap pakaian, dari yang terluar hingga terdalam, kecil maupun besar, sebelum masuk lemari, harus disetrika terlebih dahulu. Sudah setahun lebih tante yang biasa melakukan pekerjaan rumah di rumah saya berhenti. Silih berganti kami mencari pengganti, dan saya dan kakak pun bagi tugas mengisi kekosongan itu. Tapi pada kondisi normal, sudah ada kok yang bersedia. Namun,  mumpung saya dan kakak ada di rumah, si mba-nya dipulangkan dulu, dengan begitu masing-masing kami bisa berpuasa di lingkungan rumah masing-masing, tanpa ada orang asing.

Tugas saya di rumah ialah, mencuci dan menyetrika. Tapi sebenarnya tidak sesederhana itu. Saya harus memastikan pakaian yang terjemur kering, yang berarti saya harus bolak-balik dari jemuran di belakang rumah, ke jemuran atas (di lantai dua), untuk distribusi pakaian agar bisa disetrika tepat waktu. Lagipula, jemuran punya keluarga saya tidak cukup jika kebetulan cucian saya lebih dari biasanya. Ini terjadi kalau kami habis bepergian, nginap. Dan pulangnya tentu membawa pakaian kotor. Atau kami ada acara, yang kondisinya ialah saya tidak sempat mencuci karena banyak orang di dapur. Tapi secara umum kronologinya begini: setiap hari saya mencuci (pakaian dari lima kepala), menjemur, kemudian pakaian kemarin saya lipat terlebih dahulu sebelum disetrika, dan setelah itu mengantarnya ke lemari.

Tugas saya berbeda dengan kakak saya. Dia menyapu, mengepel dan memasak. Saya tidak bisa memasak, jadi sebagai penggantinya, saya juga mengurusi piring dan alat-alat dapur agar sedia bila dibutuhkan. Lanjut ke mencuci dan menyetrika tadi, kadang saya agak kesal. Saya merasa pekerjaan saya ini lebih berat ketimbang kakak saya (sebenarnya kita tidak boleh membanding-bandingkan ya hehe). Apalagi bagian memasak juga diisi oleh ibu saya, jadi mereka duet. Tapi saya? Tidak pernah sekalipun mereka membantu *hiks.

Bayangkan saja, baju-baju mereka itu besar-besar, diganti dua sampai tiga kali per hari. Belum lagi kalau seprei sedang dicuci. Di tambah, pada bulan puasa ini, pemakaian kudung sholat meningkat dua sampai tiga kali lipat. Dan yang rasanya paling unfair ialah, ketika saya ada kuliah/kelas pagi atau sepanjang hari, sehingga saya tidak sempat mencuci/menyetrika, besoknya saya harus mencuci/menyetrika dalam jumlah yang lebih banyak. Tentu. Sedangkan jika itu terjadi pada kakak saya, besoknya luasan yang dia sapu dan pel, sama saja, bukan?

Belum lagi kalau hujan yang menyebabkan pakaian tidak kering, sehingga suatu waktu tidak ada yang bisa disetrika. Namun, ketika akhirnya pakaian itu kering juga (saya jemur di lantai atas yang punya efek seperti rumah kaca), jumlahnya akan sangat banyak. Masih untung kalau hari itu saya tidak punya kelas, sehingga bisa segera menyetrikanya. Kalau ada, maka setrikaan itu akan tertunda lagi, yang menyebabkan esoknya harus kerja lebih ekstra.

Suatu siang ketika hujan, saya tiba-tiba terbangun dari tidur. Ingat cucian saya. Ada sih perasaan bahwa mungkin kakak saya yang sedang menonton di lantai dua sudah meminggirkannya. Tapi bagaiamanapun saya tetap memastikan. Dan what the hell, jemuran itu masih bertengger di sana dengan baju yang tadinya hampir kering, yang kemudian basah lagi bagian atasnya. Di situ saya marah dong. Kata kakak saya, dia sudah menyeru untuk angkat cucian, cuma saya tidak mendengar (yaiyalah, orang tidur -_-).

Jika kebetulan kami sama-sama menonton di depan tv sambil saya melipat, tidak sekalipun dia membantu saya melipat pakaian-pakaian tersebut. Kalau baju-baju yang tempatnya di lemari atas sudah disetrika, tidak ada yang membawanya naik kecuali saya, kendati mereka sering kok naik-turun. Haha. Begitulah saya ingin mengatakan bahwa urusan perpakaianan itu betul-betul saya seorang yang mengurusi.

So what?  Jadi kenapa jika seperti itu?

Ternyata, saya belajar dari PLC #12 kemarin, bahwa dari pekerjaan rumah yang panjang lebar saya ceritakan ini, ada satu hal yang saya latih:
kemampuan bertahan.
-




Yup. Materi kemarin ialah tentang Resilience, yang diartikan sebagai kemampuan (bisa juga kompetensi) untuk bertahan di situasi yang sulit (?) alias tidak sesuai dengan kehendak kita. Materi ini kurang lebih merangkum Rumus E+R=O (sila  temukan penjelasannya di blog ini wkwk), Dialektika Perang dan Perdamaian Abadi, dan partikel-partikel kecil dari materi yang membahas tentang konflik, pertentangan, tekanan, dalam satu kata praktis tentang cara mengatasinya: be resilient!

Resilience itu seperti lawan dari adversity. Di mana ketika muncul kesulitan, pertentangan, musibah dan silakan bagaimana Teman-Teman menyebutnya, dengan memiliki daya tahan yang tangguh, kita dapat melewatinya tanpa stress ataupun perasaan tertekan yang berarti. Kalau saya refleksikan dengan cerita saya tadi, narasinya mungkin begini: saya yang memilih pekerjaan itu, atau pekerjaan itu sudah ditakdirkan untuk saya, maka saya harus tahan apabila ada kondisi dimana beban kerja saya tidak sebagaimana yang saya harapkan. Tapi itu untuk sebuah adversity yang terbilang sepele. Pada konteks yang lebih kompleks, ada tahapan yang lebih kompleks juga.


Saya mendengar materinya dari rekaman karena tempo hari jaringan saya (lebih tepatnya hospot kakak saya :v) sangat-sangat menguji kesabaran. Hingga saya putuskan untuk keluar saja, menunggu ibu pulang kerja, dan meminjam hospotnya. Ya, tidak penting juga sih. Saya cuma mau bilang, dengan tidak masuknya saya kemarin di PLC, saya tidak tahu ketika Kak Therry menjelaskan ini, gambar mana yang dia tunjuk, atau kalau dia ucapkan kata dalam Bahasa Inggris, ini tulisannya gimana ya. Haha.
Namun, saya akan coba sampaikan dua pokok pembahasan yang paling berbekas di ingatan saya.

Pertama terkait sumber resilience. Ada tiga, bisa dari diri sendiri, sistem lingkungan, dan faktor biologis. Diri sendiri misalnya ya kembali lagi bahwa semua orang berbeda-beda sikapnya dalam menyikapi stressor-stressor yang ada. Misal, si A dan si B sama-sama putus cinta. Bagi si A itu wajarlah, namanya hati manusia sering bolak-balik. Namun bagi si B, ternyata hidup tanpa dia itu beraaaat sekali, sampai-sampai menurutnya, mending bunuh diri daripada hidup tanpanya (-_-). Tapi pada kenyataannya ada kan orang yang bunuh diri karena putus cinta? Haha. Mengapa si A dan si B berbeda ketahanannya, ada banyak sebab lagi. Seperti berikut ini.

Sumber: salah satu slide ppt materi PLC #12, KITA Bhinneka Tunggal Ika

 

Faktor lingkungan? Hmm, yang saya tangkap sejalan dengan faktor individual tadi, di mana kita tahu bahwa lingkungan kita juga pembentuk karakter kita (semoga saya tidak salah :v). Kalau faktor biologis sih, ini jelas di ingatan saya. Kita selalu kan ya menemukan kejadian (merujuk kepada kondisi di luar yang normal) di dalam diri manusia, yang ujung-ujungnya kembali ke faktor gen. Ada sesuatu sel atau hormone khususlah, atau yang kebetulan berbeda dari kebanyakan, faktor keturunan, dan itulah, yang mengindikasikan hampir semua yang terjadi—jika itu berkaitan dengan tubuh, maka pasti ada penjelasan biologisnya. Di sini diberi contoh, perempuan yang menstruasi cenderung lebih mudah stress ketimbang laki-laki. Yes, that’s right!

Selanjutnya, seperti yang saya bilang tadi,  tahap melampaui adversity yang cukup kompleks dalam membentuk sebuah resilience itu tidak semudah kita harus menerimanya, dan bertahan. Setidaknya ada lima tahap:
Pertama, temukan atau sadari wake-up call. Ini semacam alarm yang menjadi titik balik kita dalam menuju hidup yang lebih baik *asiik. Haha, yah semacam cara Tuhan untuk memperingatkan kita, “Hei hamba-Ku, seharusnya kamu tidak begitu loh!” atau “Hamba-Ku, bukan itu tujuannya aku menciptakanmu.” Atau “Harusnya kamu lebih bersyukur lagi hamba-Ku.”

Kedua, flip and switch: kembali pada apa yang kiranya menjadi tujuan hidup kita. Dalam proses ini, ada namanya unleash genius, artinya kita akan menemukan something new yang membuat kita belajar, berlatih, hingga kita sadar kemampuan kita itu ternyata bisa lebih dari yang kita kira (you are stronger than you know). Sehingga fase berikutnya ialah create a new life song. Di titik ini, kita telah menemukan visi hidup kita, amanah Tuhan untuk kita..

Selanjutnya, dan yang terakhir: finding we-spot. Iya, karena visi kehidupan itu tidak berbicara “aku” melainkan “aku dan kamu” atau “aku dan mereka”. Ini tentang kebermanfaatan kita kepada sesama, apalagi yang kita rasa pernah mengalami adversity yang sama dengan kita.

Sumber: salah satu slide ppt materi PLC #12, KITA Bhinneka Tunggal Ika

Hmm, perlukah saya berikan contoh? Haha, sepertinya ini sudah terlalu panjang..
Tapi serius, Teman-Teman, ada banyak kok kalau dipikir-pikir, para founders yang latar belakang mereka mendirikan entah itu yayasan, komunitas, aplikasi, perusahaan dan sebagainya, karena mereka mengalami ihwal yang menjadi tujuan dari kegiatan/gerakan tersebut.

Secara keseluruhan contohnya mungkin begini:
Seorang pengusaha kuliner di masa pandemi Covid-19 ini tidak mengindahkan aturan PSBB. Dia tidak menutup restoran, masih menerima pelanggan dalam kelompok-kelompok, dan seenaknya saja bepergian untuk hal tidak penting. Nahasnya, dia kemudian terjangkit virus itu, diikuti juga beberapa karyawannya. Selama di rumah sakit, dia melihat perjuangan dokter dan perawat dalam mengobati pasien Covid-19, dan itu membuatnya sadar, bahwa ketika dia santai saja keluyuran, ada sekelompok orang yang bahkan makan saja hampir tak sempat. Kabar baiknya dia sembuh. Dan sejak dari rumah sakit, dia bertekad ingin menjadi relawan dalam menyediakan makanan bagi paramedis di RS tempatnya dirawat. Tapi sebelum itu, dia betul-betul mempelajari makanan atau minuman apa yang mampu memenuhi gizi agar tetap fit, termasuk cara penyajian makanan agar dipastikan steril—bersih tanpa virus. Ya begitulah hingga dia betul-betul menjalankan misi itu, dan menjadi bermanfaat bagi orang lain.
Does it make sense?

Oke, akhir kata, saya ingin mengajak Teman-Teman Sekalian, untuk bertahan, sediikiiit lagi. Kalau performa kita tidak bisa sebaik sebelum pandemi, atau sulit untuk tetap se-produktif  kemarin-kemarin, it’s okay. Yang kita butuhkan sekarang ialah percaya. Bukan ragu apakah pelangi akan muncul setelah hujan, melain yakin bahwa hujan itu sendiri akan berhenti, ada atau tanpa pelangi.
Dan untuk adversity apapun, mohon hadapilah dengan tangguh.. Kita bisa kok :)
Sekiaan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Novel "Memberi Jarak pada Cinta"

Some Theories About How The Conflict Appears

Naluri: Review Novel "Penguasa Lalat" oleh William Golding