Yang Terjadi Ketika Anda Membaca 'Catatan' dari Seorang Bookaholic
Bertrand Russel—seorang filsuf dari Britania Raya mengatakan, ada dua motif untuk membaca buku. Pertama, kau menikmatinya dan yang kedua, kau bisa menyombongkannya.
Jleb. Ketika saya membaca kutipan itu, saya sempat mengelak
bahwa “tidak kok, saya membaca buku karena menikmatinya..” namun beberapa jenak
kemudian hati nurani saya berbisik, “eii, masa sih, Wi?”
Haha, baiklah. Saya menyatakan setuju bahwa kalimat Russel
di atas juga berlaku untuk saya. Dan karena itu, saya harus banyak beristighfar.
Tuhan tidak suka orang yang sombong :(, dan sungguh saya percaya, manusia sama
sekali tidak pantas untuk sombong, apalagi hanya untuk perkara buku bacaan. Akan
tetapi bagi saya pribadi, sepertinya perlu ditambahkan satu opsi lagi, bahwa:
kau tidak menikmatinya dan tidak pula ingin menyombongkannya. Karena memang,
kadang saya tetap menuntaskan membaca sebuah buku, meskipun sudah tidak
dihayati lagi.
Hari ini sebenarnya saya baru saja menamatkan buku ke-100
yang saya baca, yang dicatat semenjak—hmm, semenjak saya ingin mencatatnya
haha. Yakni ketika saya duduk di Kelas X, awal semester di 2015. Yah,
it takes 4 years and half approximately. Dan seriously, itu sama sekali bukan
kebanggaan. Ada banyak orang di luar sana yang membaca 100 buku dalam
setahun (bahkan saya percaya ada yang lebih daripada itu), maka 4 setengah
tahun adalah waktu yang cukup lama. Awalnya memang target seratus buku itu saya
ancang-ancang hanya selama menjadi siswa SMA, tapi sayangnya tidak tercapai :(
Meski demikian, seratus buku itu bukannya do not deserve appreciation :”), karena
sebagaimana yang saya bilang tadi, kadang pun (kadang, bukan berarti tidak
pernah loncat-loncat atau berhenti di tengah jalan :v) saya harus memaksa diri
untuk melanjutkan membaca. Why? Ya karena selain hobi, saya percaya bahwa saya
butuh membaca. Itu menambah pembendaharaan kosakata, melancarkan menulis,
meningkatkan empati (katanya), dan beberapa manfaat dalam bidang kesehatan yang
pernah saya baca. Dan itu butuh usaha loh gaes. Usaha untuk membeli buku,
meminjam buku, menyeleksi buku yang ingin dibaca, maintaining reading-nya and so on. Mungkin sama halnya dengan orang
yang hobi main basket. Memangnya dengan hobinya dia main basket, lantas dia tidak
merasa lelah ketika bermain? So, here I am to appreciate myself cuz at least,
seratus buku itu memakan waktu 4,5 tahun, bukannya lima atau tujuh tahun
hahahhaha.
Kenapa saya mengawali tulisan ini dengan kutipan dari
Rassell tadi, ialah karena saya sadar, ketika membaca kembali daftar 100 buku
itu, merefleksikannya, itu ngena sekali
dengan apa yang dibilang bapak filsuf itu. Kalau boleh saya sebut judulnya, salah
satu buku yang tidak saya nikmati ialah Serial Dilan (1990 dan 1991). Waktu itu
saya baca karena merasa bahwa di kelas saya bahkan orang yang tidak suka
membaca pun tamat sampai serial ketiga, masa saya tidak? Haha, sungguh
pikiran yang kekanak-kanakan. Tapi seperti yang saya bilang tadi, ada juga yang
tidak saya nikmati, namun tidak ada juga niat untuk pamer. Misalnya novel Rafilus
karya Budi Darma. For me, that’s a weird story, tapi dipaksa-paksakan selesai
karena sayang sudah dibeli haha. Dan saya pikir tidak ada alasan untuk
memamerkannya ke khalayak hmm..
Adapun untuk kategori “dibaca dan dinikmati” ada banyak permisah. Ya karena memang pada dasarnya
saya menikmati membaca. Apalagi jika itu adalah karya-karya dari penulis
favorit saya. Maka, untuk mengenangnya, saya ingin mereview sedikit tiga buku
favorit saya. Bagusnya sih tiga buku terbaik dari 100 buku itu. Tapi sepertinya I
can’t choose, terlalu sulit.. Jadi saya persempit saja, tiga buku dari 21 buku
yang saya baca tahun ini. Berhubung masih lumayan fresh juga ingatan tentang
bukunya :)
Pertama, sebuah memoir dari Haruki Murakami, What I Talk About When I Talk About
Running. Wahh, kalau untuk buku ini sebenarnya saya siap membuat tulisan
baru lagi untuk me-review-nya, saking buku ini meninggalkan kesan yang amat
dalam.
Sumber: Goodreads.com |
Jadi buku ini saya pinjam dari @katakerja sebelum pandemi melanda, dan dalam versi
English. Itu adalah kali pertama saya membaca buku berbahasa asing, and suprisingly
saya tidak berhenti membalik halaman-halamannya kendatipun saya tidak mengerti
keseluruhan kalimat-kalimatnya. Sederhana sih isinya, di sini Murakami
menceritakan bagaimana dia menjadikan olahraga sebagai ‘sarana’ agar tetap
produktif menulis. Dan olahraga untuk dia adalah lari marathon. Pernah tidak
berpikir gaes, bagaimana ya caranya pelari marathon itu bisa tahan berlari
selama berjam-jam (sampai ratusan kilo), apa yang ada di pikirannya, terutama
di pikiran Murakami ini yang notabene seorang penulis kondang? Nah buku itulah
yang menjawabnya dan menurut saya, waoah~ amazing sekali hahahaha. Saya tidak
berhenti mengagumi buku ini..
Kedua, serial Winnie the Pooh (Winnie the Pooh dan The House
at Pooh Corner) oleh A.A. Milne. Buku ini saya dapat secara kebetulan di
iPunas, dan saya tergerak membacanya karena Pooh adalah karakter kartun favorit
saya, tapi saya bahkan tidak tahu satupun kisahnya. So, saya tidak ragu untuk
menambahkan dua buku ini ke bookshelf.
Sumber: Dokumentasi pribadi dari iPunas |
Dan membaca kisah-kisah di dalamnya, saya terkesima sekali
dengan keluguan Pooh dan kawan-kawan. Huaa.. rasanya seperti ingin kembali ke
masa kanak-kanak. Akan tetapi, meskipun buku ini kategori buku anak, tapi bahasa yang
digunakan sama sekali bukan bahasa anak-anak (ya karena diterjemahkan dari
Bahasa Inggris), ilustrasinya juga menakjubkan tapi tidak mendominasi, sehingga menurut saya,
ini adalah bacaan yang sangat arif untuk semua umur. Berangkat dari dua buku
inilah saya kemudian banyak membaca buku-buku anak (sempat terbesit juga mau
jadi penulis buku anak haha) dan itu merupakan healing tersendiri yang patut dicoba pemirsah.
Ketiga, novel Salah Asuhan dari Abdul Moeis. It’s kinda late (very late) I read this book. Ya, buku ini adalah pelopor kejayaan Balai Pustaka, dan kalau teman-teman ingat, buku terbitan tahun 1928 ini sering sekali dikutip di soal ujian nasional karena bahasa yang digunakan sangat sangat baku, bahkan masih ada pengaruh melayu-melayunya.
Sumber: Dokumentasi pribadi dari iPunas |
Meskipun ceritanya khas sinetron, tapi karakter dan rangkaian
peristiwa dibuat logis, sehingga sayapun tidak berhenti membalik (eh e-book sih
ini :v) halamannya sampai saya bisa membuktikan bahwa tebakan saya untuk scene selanjutnya itu benar :)
Alasan lain kenapa buku ini berkesan ialah karena saya suka
genre-nya. Romance, tapi dipadukan dengan kekeluargaan, norma sosial, agama,
budaya, dan kearifan lokal. Dan saya suka sekali cerita-cerita kompleks seperti
itu, seperti benar-benar membukukan kehidupan. Saya bahkan kepo dengan budaya Minangkabau
setelah membacanya, which is selain
menghibur, buku ini—sekalipun fiksi, juga memberikan banyak pengetahuan baru
kepada saya.
Sebenarnya ada satu lagi, yakni Man’s Search For Meaning-nya Viktor E. Frankl. Akan tetapi saya sudah bahas di postingan sebelum ini. In case y’all wonder, you can go check on it :)
Nah itu dia tiga buku (+1) yang menurut saya sangat berkesan
di tahun 2020 ini.
Resolusi saya untuk tahun-tahun kedepan ialah, pertama, saya
ingin membaca banyak buku psikologi.
Ada beberapa kejadian di 2020 ini yang menjadikan saya ingin lebih memahami manusia. Pikir saya dengan understanding human, saya bisa mereduksi prasangka buruk dan perasaan "merasa lebih baik" terhadap seseorang. Ya, I know that's wrong, but I sometimes still can't handle it. Misalnya begini: waktu penilaian hasil wawancara calon Guardian of Peace 3 sama Kak Therry (Direktur
officer KITA Bhinneka Tunggal Ika), ada satu calon yang mengaku bahwa dia butuh
enam bulan untuk keluar dari hal terberat yang dia alami (kematian ayahnya).
Nah, karena itu ada kaitannya dengan salah satu indikator penilaian, saya
bilanglah:
“Kayaknya nilainya rendah deh Kak, soalnya dia butuh waktu
yang cukup lama-enam bulan (as if I were roughly two months) untuk bangkit kembali.” Dan tanpa saya duga, Kak
Therry dengan wajah santainya bilang, “No. Enam bulan itu adalah waktu yang
singkat. Masih banyak yang lebih lama daripada itu.”
Jleb.
Meskipun sudah beberapa kali disampaikan pada PLC-PLC, khususnya tentang respek dan adaptasi budaya, saya masih mau mengeksplor lagi, agar tertancap kuat bahwa "you shouldn't compare yourself to others, Wi!" karena ada sangat banyak faktor yang membentuk someone’s behavior.
Padahal sebelumnya saya kurang tertarik dengan buku
non-fiksi. Yah barangkali bacaan non-fiksi saya itu hanya satu dari 10 buku
fiksi. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa slogan tentang “membaca adalah
jembatan ilmu” tidak afdhol rasanya kalau yang dibaca buku fiksi saja haha.
Kedua, karena saya sudah agak lama tidak baca cerpen, saya mungkin akan
'bereksperimen' lagi dengan karya cerpenis-cerpenis yang belum pernah saya cicipi
sebelumnya. Untuk saat ini yang masuk di wishlist
baru Mochtar Lubis, Raymond Carver dan Franz Kafka. Saya juga mau coba baca cerpen karya
penulis Jepang. Yah barangkali ada yang klop, termasuk Men Without Women-nya Haruki Murakami, nanti, kalau harganya sudah
turun-turun hahaha.
Akhir kata, I just wanna say that I write this as my own
documentation. I don’t engage you guys to reading book, including books that I’ve
mention earlier, but I think it’s good for us, to know what we like to do, and
at the end of the year (or maybe at the other momentum) we reflect it. Apa
hikmah dibalik aktivitas itu? Apakah hobi kita memberikan manfaat atau pengaruh
positif bagi kita? Apakah perlu ditingkatkan atau malah dikurangi misalnya? Ya,
sejak bergabung di KITA cukup sering saya
melontarkan pertanyaan-pertanyaan seperti ini, yang jawabannya barangkali hanya
kita dan Tuhan yang tahu.
Adapun jika Teman-Teman ternyata sudah sampai disini, terima
kasih sudah membaca tulisan panjang nan remeh-temeh ini :)
Keren sekali
BalasHapus