Seputar KITA dan Istilah-Istilah yang Akan Sering Kau Dengar


Sebelum mulai bercerita, saya ingin mengajak Pembaca Sekalian mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya pada tenaga medis, bapak/ibu ojek online, penjaga warung, minimarket dan supermarket, petugas keamanaan, petugas kebersihan, dan profesi lainnya yang masih harus bekerja—keluar rumah di saat seperti ini.

Jika kebetulan Pembaca Sekalian datang dari masa depan—eh, maksud saya sepuluh atau 20 tahun sejak 2020 ini dan tidak tahu kondisi seperti apa yang saya maksud, saya akan jelaskan sedikit.

Ini tentang sebuah bencana pandemi. Penyakitnya disebut Covid-19 (Corona Virus Disease 2019)—yang bisa dilihat dari namanya—dibawa oleh virus corona. Nama asli virusnya dalam istilah medis mungkin tidak sesederhana itu. Tetapi, yang diingat oleh semua orang, termasuk kami-kami yang awam virologi atau ilmu kesehatan terkait, ya itu: Virus Corona.

Asal virus ini—katanya dari sebuah pasar hewan di Wuhan, Provinsi Hubei, China, yang diungkap pertama kali Desember 2019. Perjalanannya cukup panjang. Mulai dari gejalanya yang lebih mirip pneumonia ketimbang flu, penyebaran yang begitu pesat ke berbagai negara di dunia dan bagaimana setiap negara mengantisipasinya, dampak pandemi itu terhadap perekonomian global, dan lain-lain.  Saya yakin bila Pembaca Sekalian mencari di internet, akan tersedia banyak. Baca saja. Saya pribadi bahkan menganggap itu menarik (untuk dibaca), sebab kejadiannya kurang lebih seperti yang dikisahkan beberapa film barat, di samping saya juga prefer membaca sebenarnya, ketimbang menonton film hehe.

Hari ini, per 29 Maret 2020, sudah 1285 kasus Covid-19 di Indonesia, yang tersebar ke seluruh provinsi. Saya pernah baca sebuah artikel yang bilang itu bahkan belum sampai klimaksnya. Akan tetapi, angka sebegitu saja sudah cukup ‘merepotkan’. Pertentangan tentang kebijakan apa yang harus diambil mulai menyeruak, tenaga medis berjatuhan, dan ya, isu krisis ekonomi global juga mulai diperbincangkan.

Singkat kata, singkat cerita, para stakeholder masih terus berusaha mengatasi jumlah pasien yang terus bertambah—bahkan melonjak. Beberapa daerah mulai menerapkan karantina wilayah, sementara pemerintah pusat tetap bersikukuh dengan physical distancing-nya. Jadi, setiap pelajar/mahasiswa belajar secara daring, pekerja kantoran—yang pekerjaannya memungkinkan—work from home, dan ya kita memang dihimbau untuk tidak keluar rumah.

Itulah mengapa saya mengawali ini dengan berterima kasih pada orang-orang berprofesi seperti yang saya sebutkan tadi. Karena, dengan sedikit merasa bersalah, saya cukup menikmati ini. Berdiam di rumah, family time, membaca buku favorit, termasuk menulis di blog, berolahraga, menonton film.. sementara ada yang tetap bekerja agar mendapatkan penghasilan—menyambung hidup, atau karena memang pekerjaannya paling dibutuhkan di saat seperti ini :(

Mari kita doakan, semoga cepat pulih, lekas membaik, Bumi kita. Pun kepada setiap yang berbuat baik, semoga dibalas dengan kebaikan tiada henti dari-Nya. Amiin.

Jadi, tujuan saya menulis ini sebenarnya adalah, ingin menjelaskan apa itu KITA Bhinneka Tunggal Ika (disingkat KITA), Guardian of Peace, dan Kelas Kepemimpinan Perdamaiannya (baca: Peace Leadership Class). Ya tidak ada maksud tertentu sih. Hanya saja, mungkin, beberapa minggu ke depan (jika Tuhan berkenan), saya akan sering mengunggah tulisan-tulisan yang Pembaca lihat judulnya sebagai Refleksi PLC. Dan rasanya tidak komplit saja bila saya keterusan menjelaskan materi, yang Pembaca Sekalian tidak tahu darimana materi itu, untuk siapa, mengapa materi itu diberikan, oleh siapa, dan pertanyaan lanjutan lainnya.

Tentu saja saya menuliskan ini dari sudut pandang saya, berdasarkan apa yang saya ketahui. Subyektivitas, penyederhanaan istilah, mungkin akan sering ditemukan. Dan juga ketidakdetailan (?) Haha. Soalnya saya tidak begitu hapal unsur-unsur historis dan kronoligis dari KITA, GoP, dan PLC itu sendiri.

Oke, kita mulai dari KITA. Kalau ditanya apa itu KITA? Sebenarnya saya agak bingung mau jawab yayasan atau komunitas saja (praktisnya). Sebab, menurut yang paling sering saya dengar, ialah “Yayasan KITA Bhinneka Tunggal Ika”—dan saya yakin itu benar. Hanya saja, kepada teman-teman saya yang bertanya, saya seringnya bilang komunitas saja. Haha. Tapi paling tidak saya selalu menambahkan (di penjelasan tersebut), bahwa “sebenarnya KITA ini sebuah yayasan yang bergerak dalam bidang pendidikan perdamaian dan anti kekerasan, namun, berdasarkan aktivitas yang saya lihat/amati, kurang lebih seperti komunitas-komunitas yang peduli akan suatu isu tertentu.

Di KITA sendiri ada empat aktivitas utama, dalam mewujudkan visinya, membangun sustainable positive peace di Kota Makassar, Kawasan Indonesia Timur, bahkan di Indonesia: Pendidikan, Riset, Advokasi, dan Network and Community Development. Dalam suatu pertemuan, pernah dijelaskan bahwa sistem kerja KITA ini ibarat roda gigi. Ketika satu (dan yang utama atau paling besar) bergerak, maka gear yang lebih kecil akan ikut bergerak. Begitulah menurut KITA—ruang kerjanya bukan dari tim inti langsung ke penerima manfaat (masyarakat secara umumnya). Melainkan, ada perantara (roda gigi kecil) untuk sampai ke tujuan kegiatan.

Perantara yang paling dekat dengan KITA pun disebut volunteer, sebelum pada tahun ini diganti namanya menjadi Guardian of Peace (GoP). Ngomong-ngomong, tahun ini baru angkatan kedua loh, sebab KITA sendiri baru berdiri pada 2017 (kalau tidak salah).

Jadi ya, GoP bisa dibilang orang-orang pertama yang menerima langsung misi perdamaian dan anti kekerasan yang dipegang teguh oleh KITA. Meskipun kami—GoP juga termasuk penerima manfaat sih. Sebab, masuk GoP berarti kita masuk Akademi KITA yang merupakan sekolah non-formal tentang Kepemimpinan Perdamaian. Ya, jadi selama 6 bulan, tiap pekan, kita akan diberi materi terkait, ada absen, ada tugas, pokoknya sebagaimana sekolah pada umumnya. Dan ini gratis, Pembaca Sekalian. Standar seleksinya juga tidak macam-macam. Selama kita satu visi misi, dan dianggap cocok dengan iklim belajar di KITA—dan berkemauan tentunya, tidaklah sulit untuk masuk ke sana.

Nah, pertemuan tiap pekan yang saya maksud itulah yang disebut Peace Leadership Class (PLC). Sebelum PLC, para GoP sudah terlebih dahulu diberikan Peace Leadership Training, masing-masing dua hari dalam indoor maupun outdoor. Untuk pelatihan di luar ruangan ini, berlangsung di Malino, Gowa. Dan wahhhhhh, kalau saya sih itu bukan training lagi, melainkan terapi psikologis. Sebuah momen untuk menerima diri dan takdir sendiri, serta mengenal diri dan takdir orang lain.

Begitupun sebenarnya pada beberapa materi PLC lainnya. Bukan hanya berbicara tentang perdamaian dan kepemimpinan, melainkan juga seperti mengenal kepribadian, metode dalam melakukan intervensi sosial, dan yang baru-baru ini, tentang impian dan cita-cita masa depan (spoiler :v).

Ya. Saat ini GoP berjumlah 18 orang (dan semoga tetap sebegitu hingga akhir~) setelah sebelumnya ada 20 orang yang dinyatakan lulus Direct Assesment. Saya tidak terlalu mengenal orang-orang ‘dalam’ KITA. Yang pastinya mereka keren dan hebat. Punya ‘kekuataan’ masing-masing yang sangat mudah dikenali. Kalau yang saya sebut di tulisan sebelumnya—Kak Therry, dia adalah pemateri di setiap training dan PLC (tentunya dibantu oleh kakak-kakak lain yang tidak kalah hebatnya).

Kembali lagi ke KITA, satu hal yang paling saya suka dalam proses belajarnya ialah kebiasaan on time-nya. Meskipun saya sering-sering juga tidak on-time (masih berusaha membiasakan diri :v). Tapi serius. Baru kali ini saya ikut kegiatan di Kota Makassar, yang kalau bilang mulai jam 17.00, maka mulainya jam segitu juga. Haha. Kata Kak Therry, lebih baik untuk mengapresiasi orang yang tepat waktu dengan membiarkannya mendapatkan materi lebih banyak ketimbang yang terlambat. Ya, apresiasi juga salah satu dari budaya KITA sendiri.

Yang saya ceritakan ini hanya sebagian kecil dari apa yang seharusnya Pembaca Sekalian ketahui tentang KITA. Untuk itu silakan ‘berselancar’ sendiri ya di akun instagram KITA: @kitabhinneka :)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Novel "Memberi Jarak pada Cinta"

Some Theories About How The Conflict Appears

Naluri: Review Novel "Penguasa Lalat" oleh William Golding