Tentang #Respect dan Ucapan Selamat Datang Sebelum Itu


Wah, ini adalah tulisan pertama saya selama 2 tahun lebih. Saya ingat, dulu, blog ini ada karena guru Bahasa Indonesia saya mewajibkan kami memiliki blog, dan dia sangat mewanti-wanti bahwa jika ingin jadi penulis, latihanlah memperkenalkan tulisan melalui blog ini.

Saya sebenarnya salah seorang pemalu, yang tidak ingin tulisan saya dibaca khalayak, terutama oleh orang yang kenal saya, dan saya kenal. Sebaliknya saya merasa legowo saja bila tulisan ini dibaca oleh orang asing, yang siapa tahu saja—karena suatu hal—tidak sengaja menemukan blog saya. Meskipun agak kecil kemungkinannya.

Hmm. Dalam dua tahun ini, banyak sekali yang berubah. Iya, kan?
Termasuk perubahan tulisan saya, yang awalnya sering sekali pakai “aku”, menjadi sedikit tidak nyaman kecuali memakai “saya”. Biasanya saya  menulis esai atau artikel karena tuntutan tugas, alih-alih karena saya menyukainya seperti cerpen. Tetapi sekarang, sudah agak kaku mengarang cerita, karena terbiasa menulis fakta, realita, data ilmiah, termasuk menggunakan “Pembaca yang Budiman”, ketimbang menyebut “kau”.

Dan yah, sebenarnya tidak penting juga menceritakan itu. Sebab, alasan tulisan ini hadir hari ini ialah, karena saya diharapkan (?) untuk membuat refleksi dari materi Peace Leadership Class (PLC)-nya Guardian of Peace KITA Bhinneka Tunggal Ika tiap pekannya. Namun bandelnya saya, dari keenam materi, saya baru pertama kali merefleksi, yakni pada PLC #6 ini, dan satu kali pada Outdoor Training yang memang sifatnya wajib.

Apa itu Guardian of Peace, KITA Bhinneka Tunggal Ika, dan PLC itu sendiri akan saya ceritakan nanti. Barangkali akan terlalu banyak “topik” bila saya ceritakan itu sekarang. Intinya adalah, tugas saya sekarang mereview, merefleksi, menceritakan ulang versi saya, atau sejenisnya, materi yang disampaikan Rabu kemarin, yakni tentang RESPECT.

Rasa-rasanya saya harus mengatakan ini: kemarin itu saya mendengarkan materi via zoom, sembari diskusi akan suatu hal yang penting, yang juga tenggat waktunya tidak bisa lagi diajak kompromi. Jadi, sedikit banyak saya harus membagi fokus—sembari mendengarkan, juga berbicara dengan teman diskusi saya. Betapa suatu bentuk disrespect ketika mempelajari respect itu sendiri. Hehe.. (maaf, Kak Therry).

Tapi entah kenapa, sekali lagi, Tuhan menjawab kebutuhan pengetahuan saya. Ya, saya selalu merasa bahwa materi PLC ini selalu menjawab pertanyaan batin saya. Misalnya saja, pada pekan pertama, saat saya berpikir apakah harus masuk ke dalam komunitas yang tidak cocok dengan saya dan merubahnya atau cukup dengan meninggalkannya saja, materi tentang Jonathan si seagull diberikan. Pekan ketiga, saya sering kesal dengan keadaan atau timing yang selalu bertentangan dengan kemauan saya, lalu saya diberitahu bahwa “keadaan tidaklah salah” melalui rumus E+R=O. Rabu berikutnya ada materi appreciative inquiry, yang saya pakai pada karya tulis ilmiah dalam suatu kompetisi, hitungan hari sejak saya diberikan materi itu. Dan kemarin, saya sedang jengkel-jengkelnya pada seseorang yang saya anggap “wah, bisa ya ini orang sifatnya begini”, “kalau saya jadi dia, pasti saya tidak akan begini, begitu..”

Lalu materi ini hadir. Tetang Respect. Tentang bagaimana menghargai orang lain sebagai sesama makhluk Tuhan. Percaya atau tidak, tapi saya selalu suka bagaimana cara Tuhan memperkenankan saya kepada nikmat, kepada sepersekian (hingga berjuta-juta bahkan miliaran) persen  dari ilmu-Nya. Maka, saya sedikit merasa bersalah bila tidak membagikannya kepada teman-teman yang ‘belum’ sempat mendapatkannya.

Jadi begini, Pembaca yang Budiman. Ketika seseorang kita anggap kurang ajar, tidak respek, atau mungkin sifatnya buruk, sebenarnya bukan (sepenuhnya) karena dia memang kurang ajar, tidak repek, maupun sifatnya buruk. Melainkan, dia hanya gagal mencapai “batas” atau standar yang kita sebut terpelajar, respek, dan berbudi baik itu. Misalnya saja saya menganggap seseorang tidak kurang ajar itu, salah satunya ketika dia tidak mencela tugas kelompok yang dia sama sekali tidak ikut andil di dalamnya. Itu boleh-boleh saja kok. Tapi, pada beberapa orang, hal seperti itu dianggap sepele saja, bahkan bisa jadi sebuah candaan. Toh, buktinya masih ada yang melakukan seperti itu. Bukankah menurutnya itu tidak begitu buruk sehingga dia lakukan demikian?

So, bukannya kita harus menurunkan standar-standar tersebut dalam diri kita ya (sehingga kita pun ikut melanggar apa yang seharusnya kita anggap salah). Melainkan, kita, seharusnya bisa memahami. Bahwa untuk berperilaku seperti itu, ada banyak ‘dalang’, ada berbagai faktor di baliknya. Misalnya lagi, saya tidak suka melihat orang merokok di samping anak-anak, karena orang tua saya memang tidak merokok. Saya juga benci terhadap orang yang suka berbicara kotor, karena masa remaja saya habiskan di pesantren yang diajarkan untuk selalu berkata baik (ya kebetulan saja itu salah satu pelajaran yang tertanam baik). Tapi manusia sungguh, sungguh sangat sempit ilmunya. Kita tidak tahu, pada seseorang yang gemar merokok, terlepas dari orang tuanya perokok, atau dia bergaul dengan orang yang menganggap merokok itu wajar-wajar saja. Kita pun mana tahu, seseorang yang sering berkata kotor itu, barangkali diperkenalkan oleh lingkungan sekitarnya, bahwa itu bukanlah hal yang salah. Toh, mereka anggapnya bercanda kok.

Iya, kita sama sekali tidak tahu. Untuk itu, rasanya tidak bijak bila kita menuntut orang lain memenuhi standar “baik” kita, sementara dia belum tentu mendapat perlakuan seperti kita. So, ungkapan yang sering saya beberkan, bahwa kita harusnya bersikap sebagaimana kita ingin disikapi sepertinya tidak terlalu berlaku di sini. “Saya tidak pernah membentakmu, jadi seharusnya kamu juga tidak membentak saya.” Bagaimana jika bentakan itu maksudnya bukan marah, melainkan memang suaranya saja yang agak tinggi? Di sinilah kita butuh respek.
Menghargai sifat dan karakter orang lain, memahami bahwa setiap orang punya garis tangan yang berbeda, dan berusaha menyikapinya dengan tidak berlebihan. Tidak usah menyalahkan orang sebegitu dalamnya karena dia mencuri, jika Kau tidak tahu rasanya kekurangan. Toh, ada Tuhan kok, yang Maha Melihat dan tidak pernah melesat perhitungan-Nya.

Bagaimana? Dapat poin kuncinya?

Adapun, cara agar kita membangun rasa respek itu, dibeberkan oleh Kak Therry—pemateri PLC, ada lima:
1) Awareness, yakni kesadaran sebagaimana saya jelaskan tadi (bahwa banyak faktor yang membentuk kepribadian seseorang dan itu sudah ketetapan dari Yang Maha Kuasa)
2) Enthusiasm, bahwa karena kita sadar itu ketetapan Tuhan, kita harusnya antusias menyikapi perbedaan itu, sebagai sesuatu yang punya hikmah di baliknya.
3) Here And Now, bahwa yang bisa kita lakukan ialah, lakukan yang terbaik “di sini dan sekarang”, sebab kita tidak tahu apa yang terjadi di masa depan. Mungkin saya kurang memperhatikan di bagian ini, sehingga bisa saja informasinya bias. Tapi menurut saya, here and now di sini bisa saja berarti, kita lakukan saja yang terbaik semampu kita: bagaimana agar hidup tidak sia-sia atau setidaknya kita punya kebermanfaatan (sedikit atau banyak) kepada lingkungan sekitar. Tidak usah terlalu pusing dengan standar kebaikan orang lain, ketika kita telah memenuhi dua poin sebelumnya.
4) Appreciate,
5) Respect. Poin 4 dan 5 ini menurut saya sepaket dalam paket (eh?). Mengapresiasi diri dan orang lain, bisa jadi menjadi indikator kita sudah semakin dekat dengan respek itu sendiri. Sebab, kita sudah bisa menilai “mengapa ini terjadi pada saya, dan mengapa itu terjadi pada dia”, sehingga muara dari penjelasan yang cukup panjang saya tadi ialah, come on! Hargailah setiap orang yang hadir di kehidupanmu, terima kekurangan dan kelebihannya.  Termasuk menerima dirimu sendiri :)

Lalu, saya sempat bertanya pada Kak Therry, “Kak, jika ada orang di sekitar kita, yang sangat dekat dengan kita, yang tabiatnya sangat bertentangan dengan kita (dan itu sedikit menjengkelkan), apakah satu-satunya cara menyikapinya memang hanya ‘aware’, meskipun menurut nilai atau norma yang berlaku, tabiat orang terdekat saya itu terbilang buruk?”
Ya, saya bertanya seperti itu karena tentu tidak semua orang mendapatkan lingkungan tinggal sebagaimana yang dia ingini.

Tahu apa jawabannya?

Ternyata memang cuma harus sadar, Pembaca yang Budiman. Adapun terkait itu adalah orang dekat kita yang bertabiat buruk, itulah tantangan kita. Barangkali disitulah Tuhan menguji kita. Bagaimana kita melatih kepemimpinan, menjalankan amanah “saling menasihati” atau sekadar mengingatkan:
Wi, kau pikir kau akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu cobaan sebagaimana yang orang-orang terdahulumu dapatkan? Toh sesuatu yang terjadi padamu, bukan melulu karena kau menginginkannya, bukan?

Jadi, Pembaca Sekalian (—yang Budiman), saya harap kita semua bisa mengambil pembelajaran dari tulisan ini. Saya sengaja mengatakan bahwa saya tidak begitu menyimak dari awal hingga akhir, karena sekiranya saya ada salah, mohon dimaklumi. Meskipun tidak tertutup kemungkinan, bahkan ketika saya menyimak dengan sungguh-sungguh, saya juga bakalan punya ketidaksesuaian dengan apa yang seharusnya tersampaikan. Maka, sekali lagi, mohon diterima kekurangannya.

Sebelumnya, saya juga termasuk orang yang cukup disrespect terhadap orang lain. Maka saya berharap, orang-orang yang pernah jadi sasaran ketidakdewasaan dan keterbatasan pengetahuan saya itu, membaca tulisan ini. Iya, sampai habis harusnya haha.

Sampai jumpa di tulisan berikutnya!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Novel "Memberi Jarak pada Cinta"

Some Theories About How The Conflict Appears

Naluri: Review Novel "Penguasa Lalat" oleh William Golding