Mozaik-Mozaik Cinta dan Perdamaian



1. What is Love?

Wah. Dahulu, saya antusias sekali jika berbicara tentang cinta. Baik itu berteori, ataupun membahas empirisnya yang ada di sekitar saya. Misalnya saja, mengapa perempuan lebih mudah tersakiti (cinta) daripada laki-laki? Atau, mengapa sampai ada orang bunuh diri karena putus (cinta)? Atau, sebenarnya apa sih yang terjadi pada seseorang yang sedang jatuh cinta? *dasar pikiran remaja :v

Ya. Cinta memang bukan hanya tentang lawan jenis. Eh tidak. Sungguh sempit sekali jika kita hanya mengaitkan cinta dengan yang seperti itu. Faktanya, cinta selalu ada di mana-mana. Kepada Tuhan, orang tua, benda mati, keabstrakan.. Meskipun saya tidak tahu mengapa (dengan pedenya) bilang begini, padahal mendefinisikan cinta saja setengah mati haha.

Hm, sejauh ini, saya menganggap pengertian cinta itu masih saja tabu. Ada yang mengatakan cinta itu buta, cinta itu luka, cinta adalah anugerah—indah, cinta tidak harus memiliki, dan sebagainya. Saya tidak ingin menyalahkan salah beberapa di antaranya, karena mungkin, definisi cinta itu berbeda-beda sesuai dengan pengalaman cinta seseorang. Barangkali Eka Kurniawan mengatakan Cinta Itu Luka karena pada dasarnya memang cinta selalu identic dengan patah hati (eh tapi ini hipotesis ya, saya juga belum baca novelnya wkwk). Dan bagi yang mengatakan cinta itu indah, mungkin dia sedang di masa lagi berbunga-bunganya hahaha. Entahlah. Hanya satu yang kurang saya setujui, cinta tak harus memiliki. What? Kalau saya mencintai sesuatu sih ya pasti akan berusaha memilikinya :)


2. Cara Mencintai Tanpa Merindu

Akhirnya seorang penulis yang menulis tentang cinta itu menyerah. Setelah berjam-jam mencoba menjawab pertanyaan pembacanya tentang cinta—dia tidak sanggup. Salah dia juga. Dia pikir sudah khatam betul tentang cinta karena dia adalah penulis yang menulis tentang cinta. Sayangnya, ketika ditanya “cara mencintai tanpa merindu” dia kehabisan akal.

Memang ada ya orang yang cinta, tapi tidak rindu? Tanyanya pada diri sendiri.

Hm. Pikirannya pun melayang kepada kedua orang tuanya di kampung. Dia mencintainya (tentu). Dan karena cinta itu, dia menelpon ke rumah minimal sekali seminggu untuk menanyakan kabar atau sekadar mendengar suara mereka. Juga kepada kucing piaraannya. Tidak melihatnya satu hari, rasanya sudah rindu sekali. Ada lagi, bacaan. Dia cinta membaca, maka serasa ada yang hilang bila tak membalik lembar-lembar buku dalam waktu lama. Atau ingatannya kadang mengembara kepada sosok yang dia sukai ketika remaja. Eh tapi sampai situ saja, tidak diteruskan lagi.

Dengan berat hati, dia menuliskan di kolom komentar, bahwa pertanyaan tentang cara mencintai tanpa merindu itu tidak ada jawabannya. Namun lucunya dia tersenyum. Ternyata setelah membaca pertanyaan setelah ini. “Tuan Penulis, apakah kiranya indikator utama dari mencintai?”

 3. Sinopsis Film: Aftermath (2017)

Aftermath (2017) adalah film bergenre drama-thriller Amerika Serikat tentang kecelakan pesawat tragis. Dibintangi oleh Arnold Schwarzenegger, Scoot McNairy, Maggie Grace, dll, film ini  disutradarai oleh Elliott Lester, berdasarkan skenario yang ditulis oleh Javier Gullon (Wikipedia).

Menceritakan seorang pekerja konstruksi bernama Roman (Arnold Schwarzenegger) yang kehilangan istri dan anak perempuannya yang tengah hamil dalam suatu kecelakaan pesawat yang menyeret nama Jake (Scoot McNairy), pengendali lalu lintas udara yang betugas kala itu. Roman sangat terpukul atas kematian keluarganya tersebut, bahkan sempat berpikir untuk bunuh diri. Dia kemudian menuntut maskapai penerbangan bersangkutan alih-alih menerima tawaran damai sejumlah ratusan ribu dollar. Dia menuntut perusahaan tersebut menjelaskan kronologi kecelakaan tersebut, agar jika terdapat kelalaian dari petugas, dia ingin ada yang bertanggung jawab. Selain itu, dia juga marah karena perusahaan nampak tidak tulus dalam meminta maaf, hanya mengandalkan uang tunjangan yang diberikan kepada korban kecelakaan.

Di sisi lain, Jake pun harus menanggung beban yang sangat berat, akibat rasa bersalah atas kecelakaan tempo hari. Dia mendapatkan perlakuan tidak mengenakkan dari beberapa keluarga korban, yang menyebutnya sebagai pembunuh. Dia pun mengidap depresi berat. Istri dan anaknya kemudian memutuskan untuk pergi darinya sementara waktu, sampai dia sudah bisa mengontrol diri lagi.

Perusahaan menawarkan pilihan kepada Jake untuk pindah ke luar kota, dengan pekerjaan dan identitias baru. Jake menerimanya. Selama beberapa tahun pun hidupnya bisa sedikit normal, meskipun istri dan anaknya belum tinggal bersamanya.

Singkat cerita, Roman yang sudah lama penasaran dengan pengontrol lalu lintas udara di hari kecelakaan maut itu, akhirnya bertemu dengan seorang reporter yang dapat memberinya alamat baru Jake. Roman bilang, dia hanya ingin memperlihatkan foto keluarganya (di sana ada dia, istri, dan putrinya), lalu mendengar permintaan maaf.

Tapi, Jake yang waktu itu sedang dikunjungi oleh istri dan anaknya, tidak mempersilakan Roman berbicara sedikit pun tentang kecelakan pesawat yang merubah kehidupannya tersebut. Jake pun mendorong Roman karena dia tidak ingin perkataannya didengar oleh istri dan anaknya. Sontak Roman yang didorong, (sehingga foto keluarganya itu jatuh) geram. Dia meraih pisau kecil di sakunya dan menyayat leher Jake. Akibatnya Jake meninggal dunia, sementara Roman dikenai hukuman 10 tahun penjara.

Roman banyak merenung di penjara, dan akhirnya keluar beberapa bulan lebih awal karena berperilaku baik. Tempat pertama yang dia datangi ialah lokasi jatuhnya pesawat yang ditumpangi istri dan anaknya. Di sana dia bertemu dengan putra Jake yang (dahulu) melihat Roman membunuh ayahnya. Dia sudah menodongkan pistol ke kepala Roman, tetapi diurungkan, karena dia tidak diajarkan untuk membunuh, katanya.

Akhirnya Roman dibiarkan pergi setelah sempat mengaku bahwa dia sangat menyesal melakukan perbuatan itu (membunuh) sepuluh tahun lalu.


4. Sepatah—Dua Patah Kata Penulis

Materi PLC #14 kemarin cukup menarik untuk dibahas, tentang Building Peace With Love. Tiga cerita di atas nampaknya sudah mewakili apa yang ingin sampaikan untuk refleksi PLC ini. Pertama, terkait cinta yang cukup rumit untuk didefiniskan. Kedua, bahwa indikator utama, yang akan selalu ada ketika cinta itu hadir ialah rindu. Ketiga, hmm bahwa terkadang, (atau pada banyak kasus?) seseorang melakukan perbuatan yang salah, namun ternyata niatnya baik.





Kebetulan saja sih saya menonton film Aftermath itu beberapa minggu lalu di bioskop Trans TV. Saya pada dasarnya bukan orang yang suka menonton film, tapi karena malam hari, ketika mata belum mau tidur tapi sudah di depan kasur dan kasurnya di depan tv, ya nonton juga deh haha. Apalagi dulu, satu-satunya siaran di tv yang kumaksud itu cuma Trans TV. Meskipun sekarang tv-nya sudah diganti, channel-nya masih sama. Faktor kebiasaan sih :v

Jadi, di PLC kemarin sempat disinggung tentang Peace by Peaceful Means. Yang mana, singkatnya itu kita dituntut untuk mewujudkan perdamaian (sebagai tujuan)—atas dasar cinta, harus dengan cara yang damai atau cara yang tepat. Karena berbagai ketidakdamaian sering kali bukan karena niatnya yang tidak baik, melain cara untuk mewujudkannya yang tidak peaceful itu tadi. Misalnya si Roman tadi. Sebenarnya dia kan hanya ingin mendengar permintaan maaf karena tidak ada lagi kebersamaan keluarga setelah kecelakaan itu. Sementara, Jake juga struggling mati-matian untuk keluar dari rasa bersalah sehingga dia tidak ingin mengungkit itu lagi. Apalagi di dalam ada istri dan anaknya.

Kalau contoh kecil di keseharian mungkin metode pengkaderan kali ya? Seringkali saya mendengar kalimat bahwa anaknya orang dikerasi itu “katanya” supaya mentalnya kuat, tidak patoa-toai, patuh sama seniornya, dan segala macamlah. Which is menurut saya itu terbilang baik. Hanya saja (sekali lagi), apakah harus dengan cara kekerasan? :(


Dari situlah kemudian muncul rumus, IVI. C = O
V, adalah Value, dimana kita asumsikan selalu positif, makanya pakai tanda mutlak. Meskipun ada juga sih beberapa orang yang (masihkah berperi kemanusiaan?) melakukan perbuatan yang salah karena niat yang salah pula hmm. Kalau itu, saya angkat tangan deh.
C adalah cara, yang mana cara inilah yang menentukan Outcome. Apakah itu positif atau negatif, baik atau buruk, bukanlah berdasarkan nilai atau niat, melainkan bagaimana cara kita mewujudkan nilai atau niat tersebut. Ingat baik-baik, Wi, peace by peaceful means!




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Novel "Memberi Jarak pada Cinta"

Some Theories About How The Conflict Appears

Naluri: Review Novel "Penguasa Lalat" oleh William Golding