Resilience: in Family, Community, and Social Life




Long time no see~
Haha, sapaan tersebut lebih ke untuk saya sih. Akhir-akhir Ramadhan kemarin sampai di penghujung Syawal ini rasanya agak sulit memulai menulis refleksi lagi. Padahal saya punya hutang refleksi yang tidak sedikit. Harapannya sih saya bisa menyelesaikan tulisan refleksi untuk semua PLC, semoga saja saya tidak tergoda untuk berhenti karena ternyata telah menemukan hobi baru akhir-akhir ini haha. 

Singkat cerita saya pun akhirnya berkesempatan merangkum materi ini, yang merupakan lanjutan dari materi Resilience (postingan sebelumnya). Saya mungkin membahasnya singkat saja, karena serius gaes, materi ini sudah agak lama sejak disampaikannya. Dan waktu itu tuh saya tidak banyak meng-screenshot slide karena maunya fokus jadi moderator *pffftt. Meskipun cacatan si moderator itu entah di mana rimbanya sekarang haha.




Sedikit saya review lagi apa itu resilience. Yakni semacam kemampuan atau kompetensi seseorang untuk tangguh dan bertahan dalam keadaan sulit, pada setiap cobaan, pertentangan, atau dibahasakan sebagai adversity.

Adapun dari segi keluarga, komunitas, dan sosial itu hanya jenis-jenis resiliensi saja. Jadi, sesuai dengan namanya, family resilience itu berarti ketangguuhan suatu keluarga dalam menghadapi masalah yang menimpa satu keluarga juga, bukan individu-individu di dalamnya. Tapi, jika permasalahan antar-individu tersebut dapat memicu konflik keluarga—membuat keluarga terpecah belah, bercerai-berai, maka sebagaimana kata pepatah, bakalan runtuh juga keluarga itu.

Kalau community resilience, ya daya tahan suatu komunitas dalam pengertian yang sama seperti resiliensi di atas. So, it’s about the subject actually.. Misalnya sih, bagaimana komunitas mahasiswa Teknik PWK dalam menghadapi pandemi, di mana survei lapangan yang merupakan kegiatan inti PWK tentu tidak bisa dilaksanankan. Bagaimana mereka beradaptasi sehingga paling tidak hasil yang diperoleh itu bisa mendekati hasil yang sama ketika melakukan survei langsung, atau bagaimana kiranya si mahasiswa menyubtitusi survei menjadi metode lain yang memungkinkan untuk dilakukan. Wah bebelit banget yak penjelasan saya :v

Gitulah, gaes. Untuk family and community resilience sepertinya saya cuma bisa jelaskan pengertian dan contohnya. Yang mungkin akan sedikit panjang ialah social resilience. Kalau Teman-Teman bingung bagaimana mengartikan kata “sosial” di situ, sama kok. Saya juga awalnya bingung. Tapi kemudian kalau kita artikan sosial sebagai hubungan atau interaksi, maka yang dimaksud social resilience itu ialah bagaimana ketahanan kita dalam mempertahankan hubungan/interaksi tersebut. Kalau istilahnya Kak Amma sih *salah satu kakak GoP yang cukup menginspirasi*, maintaining friendship.

Waktu itukan kita check-in dengan pertanyaan “Ada tidak teman yang dulunya akrab banget, tapi sekarang udah biasa aja?” dan di jawaban Kak Amma itu disebutlah maintaining friendship, bahwa dia kurang mampu untuk mempertahankan pertemanan. Jadi yang teman  SD, ya sebatas SD keakrabannya. SMA ya sebatas SMA aja sama-sama.. and I was like “Wah itu kan saya banget!”
Yups. Bahkan untuk teman-teman saya yang sekarang pun (di kampus) itu sudah sangat jarang berkomunikasi karena pembelajaran jarak jauh ini. Saya bukan orang yang sulit bergaul sih. I mean kalau dituntut akrab dengan seseorang, saya bisa kok sok akrab diluan wkwkwk. Cuma, ya itu, seringkali pertemanan atau keakrabannya yang terjalin hanya temporaly. Hmm, saya mulai cerita dari TK deh :v

Waktu TK sampai SD kelas 1 itu adalah childhood yang benar-benar rasa kanak-kanak bagi saya. TK dan SD saya dekat dari rumah, jadi saya selalu mengajak teman-teman mampir kalau istirahat maupun pulang. Itu juga dekat dengan tempat kerja bapak saya (rahimahumullah), jadi sering juga ajak teman ke sana untuk pamer hahahaha. Lalu, tempat mengaji saya juga bisa diakses dengan jalan kaki, dan itu ada di kompleks teman-teman saya. So, saya punya beberapa teman dekat yang betul-betul kalau main itu no handphone, no internet, main permainan tradisional saja…

Sampai kemudian saya pindah ke Makassar karena alasan yang cukup panjang untuk diceritakan. Setelah satu tahun SD di Makassar dengan tidak punya kesan khusus terkait friendship, saya kembali ke Polman tapi lanjut SD-nya itu bukan lagi di SD yang kemarin. Di SD baru itu saya masih punya sekomplotan (lima orang) sampai lulus. Malang(?)nya, dari lima orang itu, hanya saya yang tidak lanjut di SMP dan SMA yang sama, sehingga sekarang, bisa saya rasakan empat orang itu jadi akrab sekali, semetara saya malah (cukup) sungkan berinteraksi dengan mereka.

Di SMP, karena saya di pesantren otomatis lulusnya kita berpencar—kembali ke kampung masing-masing bagi yang tidak melanjutkan ke SMA, dan stay saja bagi yang lanjut. Alhasil yang saya akrabi di SMP itu menghilang lagi di SMA. Siklus yang sama terjadi di SMA (baru) saya yang berasrama, tapi ini mendingan sih. Soalnya ada dua atau tiga orang yang masih rajin kontak sama saya sampai sekarang, meskipun itu tidak sepenuhnya karena niat mempertahankan komunikasi. Melainkan lebih ke hmm, mungkin ada yang ingin disampaikan atau diceritakan.

Mantap gak tuh?

I really have no resilience about this social relationship. Huh, bagaimana mengatasinya ya?

Saya sebenarnya mau menerima saja bahwa saya adalah orang yang tidak mampu mempertahankan pertemanan and let it be. Tapi dari materi ini kemarin, saya sadar bahwa social resilience itu perlu loh, bagi kita sebagai makhluk sosial Tuhan. Lagipula, jika hubungan pertemanan itu baik, kenapa tidak kita teruskan hingga tua?

Bercermin ke ibu dan kakak saya. Mereka itu setiap lebaran sambung-menyambung video call sama teman-temannya.  Atau kalau ke luar kota/kabupaten, ibu selalu punya teman untuk disinggahi rumahnya. Kalau kami ada acaranya, teman-temannya dari jauh biasa datang juga.. yah semacam pertemanan yang tabu bagi saya.

But, I’ll try it. Perlahan-lahan menjadi pribadi yang menghubungi terlebih dahulu, menyapa diluan, meskipun bakalan ada kecanggungan. Eh tapi, pernah beberapa kasus, kalau memang orang itu dulu dekat sekali dengan saya, ketika kami bertegur sapa di media sosial, secara alamiah juga sih keakraban itu mudah terbangun. Hmm :)

So, Teman-Teman, bagaimanapun kita tidak bisa sendirian membuat perubahan untuk dunia kita yang lebih baik ini. Jadi pertemanan tetaplah perlu dipertahankan. Dan sebenarnya social resilience bukan tentang friendship melulu sih. Misalnya kita pernah punya koneksi atau interaksi dengan orang-orang berpengaruh seperti pemimpin daerah, atasan, dosen, dsb, ya kita bisa sekali memanfaatkan interaksi itu untuk terus berkembang, sharing of knowledge, dan tentu, jangan cuma berharap manfaat. Melainkan perlu kita pikirkan, bagaimana supaya kita bisa memberikan manfaat juga bagi mereka.

Sekian… maafkan segala kekurangannya huhu :v


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Novel "Memberi Jarak pada Cinta"

Some Theories About How The Conflict Appears

Naluri: Review Novel "Penguasa Lalat" oleh William Golding