Review Buku: The Great Gatsby by F. Scott Fitzgerald


Ah, akhirnya selesai juga membaca buku ini. Kemarin, ketika membelinya via online shop saya pikir itu adalah buku tebal yang bisa dibaca lama—atau saya balik, bisa menjadi bacaan saya selama berbulan-bulan di rumah. Ternyata, buku yang datang mungil sekali. Lebih kecil dari kertas A5, dan hanya 184 halaman. Tetapi, jauh dari dugaan, saya membaca buku ini cukup terbata-bata. Yah sekitar sebulanan juga.



Pertama, saya akui itu karena kepercayaan diri saya yang over haha. Kemarin, ketika Haruki Murakami menyanjung-nyanjung buku ini di What I Talk About When I Talk About Running, saya merasa ingin membaca novel ini sebagaimana yang dibaca oleh Haruki. Padahal kemampuan Bahasa Inggris saya sangat tidak bisa dibandingkan dengan Haruki yang notabenenya seorang translator Jepang-Inggris. Alhasil, hingga pertengahan bukunya, saya masih tidak mengerti what are they talking about. Kosakatanya rumit sekali, gaya bicara orang Amerika yang berbeda dengan Bahasa Inggris yang saya ketahui. Misalnya, he’d of lived dan we’d of seen. Koma atas + d (had)+ of + V3 di situ ternyata berarti “sudah”, dalam bentuk informal spelling.

So, daripada buku ini selesai saya baca tanpa memperoleh apapun, di –mungkin 80 halaman terakhir, saya membaca salah satu review buku ini. Okay, I got it. Toh saya pun sebenarnya sudah tahu jalan ceritanya—atau paling tidak bayangan dari jalan ceritanya berdasarkan narasi di belakang buku. Dan apa yang saya dapati, ialah sekali lagi, kisah tentang fool men who fall in love so hard. Kenapa saya bilang fool, karena seriously, mereka itu mencintai secara membabi buta seolah-olah memang tidak ada perempuan lain yang berhak mendapatkan cinta mereka kecuali si lead female di buku tersebut. Mereka? Ya. Ini bukan pertama kali saya mendapati tokoh seperti itu di novel. Sabari di Ayah-nya Andrea Hirata dan Jiwa di Lelaki Terakhir yang Menangis di Bumi-nya Aan Mansyur pun punya romansa serupa.

Dan mengingatnya, I was like: sampai segitunya kah kalau seorang laki-laki jatuh cinta? Atau laki-laki seperti mereka itu adanya di novel fiksi belaka? Haha.

Bagaimana pun saya suka kisah-kisah romantis seperti itu. Yang tidak happy ending tapi dirasa itulah memang akhir yang paling pas untuk masing-masing tokoh. Nah, Gastby sendiri diceritakan punya kisah cinta sedih dengan Daisy yang gagal karena perbedaan strata sosial (Gatsby miskin, Daisy kaya). Jadi selama bertahun-tahun, Gatsby mengumpulkan harta untuk bisa setara dengan Daisy yang ternyata sudah menikah diluan dengan Tom. Tapi bukan pemeran utama dong namanya kalau menyerah begitu saja. Cara-cara Gatsby bertemu lagi dengan Daisy setelah lima tahun, bagaimana nasib mereka, apakah Tom tahu hubungan mereka, dan seterusnya itulah yang paling banyak dibahas.

So di novel ini, yang paling menarik menurut saya ialah, sudut pandang berceritanya beda dari yang lain. Biasanya, untuk novel-novel yang berpusat pada satu tokoh, yang bercerita kalau bukan si tokohnya (sudut pandang orang pertama tokoh utama), ya si penulis (sudut pandang orang ketiga serba tahu). Tapi, yang digunakan di sini ialah sudut pandang ketiga pengamat, dalam artian story teller-nya juga tokoh yang penasaran dengan Gatsby, dan apa-apa yang dia temukan setelah mengenal dan akrab dengan Gastby, itu jugalah yang dibagikan kepada pembaca. Namanya Nick Carraway, sepupu jauh Daisy sekaligus tetangga Gatsby.

Kedua, saya suka cara Fitzgerald menyisipkan isu-isu sosial dalam novel romansa ini. Satu yang saya ingat ialah perbedaan antara orang kaya dari lahir (di East Egg) dan orang kaya baru (di West Egg). Contohnya ketika Gatsby—si orang kaya baru memakai setelan pink, Tom dari East Egg merasa itu norak banget.

Ada juga tentang kasta kulit putih yang dianggap lebih tinggi daripada kulit hitam, serta derajat perempuan sebelum gerakan emansipasi wanita. Yah, jangan tanyakan. Novel ini pertama kali terbit 1925, yang mana tentu isu-isu seperti itu belum mendapat perhatian yang cukup untuk diselesaikan. Atau mungkin bisa saya bilang, belum ada orang-orang yang cukup cerdas dan berani untuk mengubahnya. Bisa dilihat ketika Daisy bilang begini kepada Jordan tentang anak perempuannya: “Kuharap dia tumbuh menjadi bodoh. Sebab tidak ada yang lebih baik dari anak perempuan yang cantik dan bodoh.” Hmm…

Saya tidak bilang saya jatuh cinta dengan novel ini sebagaimana Haruki Murakami. Yang ingin saya katakan adalah, mendapat ide seperti itu di awal abad ke-19 memang sesuatu luar biasa dan perlu diacungi jempol. Yang tidak terlalu saya suka ialah, ada beberapa bagian yang terlalu basa basi menurut saya, dan itu cukup memusingkan karena percakapan-percakapan remeh-temeh itu selalu dengan tokoh baru yang juga penuh pendeskripsian. Tapi itu sebenarnya tidak buruk, I mean, detail is important, right? Cuma karena berbahasa Inggris, itu sedikit menguji kesabaran saya untuk tetap tidak men-skip-nya karena saya betul-betul tidak ingin terlewat satu kata pun untuk dibaca (meskipun saya tidak tahu apa artinya haha).

Untungnya, versi Indonesia The Great Gatsby saya temukan di iPunas mungkin di 50 halaman tersisa. Jadi, saya bisa mengetahui beberapa detail in some parts that I do not really understand. Itu sangat membantu untuk menghayati ending :)

Saya menantang diri saya dengan membaca The Great Gastby original verse ini. Toh hasilnya saya dapat banyak kosakata baru, dan makna baru dari beberapa kosakata yang saya tahu. Salah duanya cry dan sport. Cry Saya pikir artinya cuma “menangis” saja. Ternyata bisa pula diartikan shout expressing something atau semacam ‘said’ dalam intonasi yang lebih tinggi. Kedua, sport. Ternyata itu juga bisa berarti friendly or kind person. Itulah mengapa panggilan Gatsby ke Nick (old sport) diartikan “Teman Lama” di versi Indonesianya (dan bodohnya saya mengira itu benar-benar berarti “olahraga yang lama” :v)

Akhir kata, sekian review saya. Kisah Gatsby ini cukup seru kok untuk dibaca, pun mengingat ending-nya yang tidak terduga. Itu kembali ke selera masing-masing. Anda yang menentukan~



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Novel "Memberi Jarak pada Cinta"

Some Theories About How The Conflict Appears

Naluri: Review Novel "Penguasa Lalat" oleh William Golding