Menyelesaikan Masalah vs. Melampaui Masalah
Selamat malam, semoga Tuhan selalu melimpahi kita dengan rahmat-Nya.
-
Awal
bergabung di KITA Bhinneka Tunggal Ika sebagai guardian of peace, saya sebenarnya sering mempertanyakan ini (dalam
hati :v), kenapa yah orang-orang KITA pakai istilah “melampaui” alih-alih
“menyelesaikan” atau “mengatasi”?
Biasanya
kata tersebut disandingkan dengan masalah, konflik, pertentangan, keterbatasan,
yang seharusnya sih, yang umum digunakan itu menyelesaikan dan mengatasi tadi.
Pun berhubung saya termasuk orang yang percaya, selalu ada alasan dalam
pemilihan kata, tentu dalam konteks pembelajaran atau suasana yang tidak
bercanda. Akhirnya, saya menemukan alasan itu hari ini.
Tidak,
tidak.. alasan sebenarnya ialah karena tentu “melampaui” itu tidak sama dengan
“menyelesaikan”. Perbedaan itulah yang dibahas pada PLC ke-18: Melampaui Masalah vs. Menyelesaikan Masalah.
Pembahasan
ini sebenarnya sangat kontekstual, tidak bertele-tele dan langsung bisa
diterapkan. Meskipun hasilnya baru bisa diperoleh setelah melalui pembiasaan
yang berarti. Dan materi ini sekali lagi termasuk yang menghantam saya paling
keras. Entahlah, saya mengetik ini sambil mendengarkan lagu sedih, kemudian
terlintaslah momen-momen di mana saya betul-betul tipe orang yang menyelesaikan masalah, bukan melampaui-nya. Itulah (mungkin) alasan,
mengapa masalah saya itu terus berulang. Huhu TT
So, PLC
kemarin itu diawali oleh dua studi kasus yang kami diminta untuk mencari
penyelesaiannya. Katakanlah dua kasus itu pertama,tentang seorang kepala
sekolah yang malas ke sekolah dan dicontohi oleh guru-guru lain, kedua tentang
seorang ibu temperamen yang karenanya para asisten rumah tangga tidak pernah
betah bekerja. Kami pun diminta pendapatnya dari sudut pandang salah satu guru
yang terbilang aware dan peduli
dengan kondisi sekolah yang semrawut (karena guru dan kepala sekolahnya malas),
dan dari anak yang ibunya temperamen itu.
Singkat
cerita, pendapat-pendapat pun diutarakan. Dan sebagaimana Pembaca Sekalian juga
pikirkan (haha maaf kalau salah :v), sebagian jawaban itu orientasinya ialah
mengubah atau memperbaiki si sumber masalah dalam hal ini kepala sekolah di
kasus pertama, dan si ibu di kasus kedua. Caranya pun ada berkomunikasi,
mengadakan rapat orang tua, menghasut siswa untuk protes; (sama) berkomunikasi
dengan ibu, mencari apa yang menyebabkannya marah, membelikan hadiah, berdiskusi
dengan si asisten rumah tangga. Iya gak sih? Hampir sebagian besar kita ketika
diperhadapkan dengan masalah itu pasti mencari cara agar obyek yang kita anggap
bermasalah itu bisa berubah.
Tapi pernah
tidak terpikirkan (sempat sih pasti), bahwa dengan cara-cara seperti itu
berpotensi besar untuk mendatangkan masalah baru. Misal, si guru tadi
mengutarakan uneg-unegnya dengan dalih komunikasi, bahwa dia berharap kepala
sekolah bisa lebih rajin masuk sekolah (?). Kalau dipikir secara realistis,
lebih besar kemungkinan si kepsek akan marah (baca: tersinggung) ketimbang
betul-betul berubah menjadi rajin. Yang ada hubungan kita dengan pak/bu kepsek
itu menjadi tidak baik. Sama halnya juga dengan si anak tadi. Sudah tahu ibunya
temperamen, terus kita tiba-tiba bilang “Bu, jangan suka marah-marah dong!”
Hehe, bagaimana tuh? Bukannya bakalan lebih dimarahi ya?
Dan untuk
satu kasus ini, yang sering sekali saya alami, adalah menyalahkan keadaan saat
terlambat :(
Di
hari-hari saya berangkat ke kampus dari Makassar, saya sering sekali terlambat
dan menyalahkan perjalanan yang tidak normal dari biasanya. Misalnya begini,
perkiraan lama perjalanan Borong Raya Baru-FT UH itu 25 menit, yang mana saya
selalu mengestimasikannya 25 menit juga sebelum jam kuliah untuk berangkat.
Pertama saya berpikir jalan yang saya lalui lancar-lancar saja, dan dosen pun
sering kali tidak masuk tepat waktu. Dan ketika di Jalan Danau Mawang kebetulan
ada sekawanan sapi, lalu pak/bu dosen ternyata tidak ngaret, saya jadi menyalahkan si sapinya haha. Atau apakah, yang
membuat perjalanan saya lebih dari 25 menit. Atau katakanlah macet. Seriously, ada berapa orang di dunia
ini yang terlambat dan menjadikan macet sebagai alasan?
Maka, cara
berpikir seperti ini ialah oleh orang-orang yang selalu ingin mengatasi
masalah, bukan melampauinya. Eh tapi, tapi, mengatasi masalah macet itu
bagaimana ya? Apa harus kerja di PU dulu? Memegang kekuasaan atas tanah-tanah
negara di kota? Sepertinya orang yang mendapati masalah ini hanya perlu
melampaui, bukan menyelesaikannya.
Dan
melampaui di sini ialah, sederhana saja, lihatlah diri sendiri sebagai pusat
atau sumber masalah itu. Melihat bahwa jika saya berangkat ke kampus/kantor 15
menit lebihnya dari perkiraan lama perjalanan, atau 30 menit jika itu jam-jam
macet, tentu saya tidak akan terlambat (setidaknya kemungkinan besar). Bahwa
jika saja si guru tadi cukup bekerja keras saja, mendedikasikan diri untuk
mencerdaskan anak bangsa, ketimbang membaur dan berpasrah pada kepala
sekolahnya yang malas, akankah ada masalah baru yang muncul?
Jadi
melampaui masalah itu adalah tentang bagaimana kita menyesuaikan diri dengan
masalah itu. Masalah mungkin akan tetap ada, tetapi kita tidak lagi melihatnya
karena kita berdiri di atasnya (setidaknya itu bayangan saya tentang melampaui
:v).
Memang sih,
dari situ muncul beberapa pertanyaan di benak saya. Pertama, akankah masalah
akan selesai atau benar-benar tidak lagi terlihat seperti masalah dengan cara
tersebut? Kedua, bukankah itu terkesan acuh tak acuh terhadap kondisi (dalam konteks
‘buruk’) yang dihadapi?
Hm, tidak
sempat saya tanyakan karena sudah dijawab lebih dahulu. Pertama, percayalah,
bahwa ruang kendali kita terhadap diri sendiri akan mempengaruhi ruang pengaruh
kita terhadap orang lain. Misalnya seperti ini, si guru tadi bersungguh-sungguh
mendidik siswanya dan berbuah prestasi dari siswa itu. Karenanya, si kepsek
yang malas itu mendapatkan apresiasi dari Dinas Pendidikan setempat. Secara
realistis, orang yang dipuji kan akan muncul harapan dan kemauan dalam dirinya untuk
memperoleh pujian yang sama (atau lebih baik) di waktu berikutnya. Bisa saja
ini menjadi wake-up call-nya dari
kemasalan dan ketidakpeduliannya dalam memimpin sekolah.
Kedua,
sebenarnya bukan acuh tak acuh, melainkan lebih ke membiasakan sesuatu yang
baik sedikit demi sedikit, perlahan-lahan, sehingga yang sebelumnya dianggap
“pusat” masalah bisa selesai dengan sendirinya. Misal, ketika kita sebagai anak
(pada kasus dua) telah menemukan penyebab sering marahnya si ibu—katakanlah
karena tidur pagi, dan selama sebulan kemudian kita berusaha tidak melakukannya
(sebagai upaya melampaui masalah), bukankah itu melatih si ibu untuk tidak
marah selama sebulan juga? Meskipun di hari ke-32 misalnya si anak tidur pagi,
marahnya si ibu tidak akan sama jika saja sebelumnya si anak tidak menunjukkan
usahanya untuk terjaga di pagi hari.
Maka,
pertanyaan selanjutnya ialah, kenapa
harus kita yang berubah kan ya? Bisa kan kita terima saja jika kepala
sekolah kita malas, ibu kita temperamen, atau jalanan ke kampus memang
langganan macet. Hmm, Pembaca Sekalian, mengikuti PLC ini adalah tentang
bagaimana seseorang menjadi seorang pemimpin dan agent of peace yang punya kompetensi dan membawa misi perubahan. It’s okay jika setelah membaca ini masih
ingin memakai cara mengatasi masalah
alih-alih melampaui-nya. Saya pun
tentu masih harus banyak belajar dan berlatih. Tentu akan ada rasa bersalah,
ketika saya telah mendapat banyak materi kepemimpinan dan perdamaian, namun
tidak banyak mengamalkannya, terlebih mengingat tidak semua orang mendapatkan
kesempatan serupa.
Sekian
untuk hari ini :)
Komentar
Posting Komentar