Mungkinkah Melakukan Perubahan Sosial Tanpa Kekerasan?
Mungkinkah mengintervensi sosial tanpa kekerasan?
Pertanyaan
inilah yang menjadi topik di awal PLC #17 kemarin tentang The Spirit of Non-Violence. Dan mendengarnya, I really have no idea. Pikiran saya malah melayang-layang ke masa
SD-SMP, kepada cerita-cerita guru saya tentang perbedaan anak sekolah pada
masanya dan pada masa saya ketika diceritakan. Pesannya sama saja, mereka kerap
ditegasi dan dikerasi oleh guru mereka, yang menjadikannya patuh, disiplin, dan
bahkan itu didukung oleh orang tua mereka. Lalu, pikiran saya itu singgah juga
di pesantren setara SMP saya. Para ustazd yang tidak segan memukul, pun
pengurus OSIS (disebut OSPI), termasuk saya sendiri. Mungkin ini disebut
negative discipline ya? Dan saya percaya bahwa metode itu memang banyak
negatifnya.
Tetapi,
bagaimanapun saya menganggap itu bukanlah sebuah kesia-siaan. Mengintervesi
(dalam artian mengubah keadaan yang melibatkan orang lain) dengan kekerasan toh
masih banyak dipakai di perkuliahan karena katanya “ampuh” mendisiplinkan (ya
meskipun disiplinnya bukan dari segi kuliahnya sih, tapi lebih ke cara dia
berperilaku dengan senior). So,
apakah memang kekerasan adalah jalan terbaik?
Oke.
Tentang mana yang paling baik, saya rasa tidak bisa dijawab serta-merta
sebagaimana kita menjawab mana lebih baik antara menggoreng telur di atas wajan
atau teflon. Tapi, kita semua tahu bahwa kekerasan bisa melukai fisik dan
psikis orang yang dikenai. Pun ada banyak korban kekerasan yang membalas
kekerasan itu kepada orang yang tidak bersalah (yang berada di posisi mereka
saat diberi kekerasan) dan begitu seterusnya, sampai dikatakan kekerasan itu
sudah membudaya. (Semoga saya berlebihan jika menyebutnya mendarah daging).
Lalu, PLC
kemarin memberi sebuah jawaban yang yahh, sepertinya agak sulit juga
diaplikasikan. Katanya iya. Bisa kok mengintervensi sosial tanpa kekerasan. Dan
itu diperkenalkan oleh ‘pahlawan’ kemerdekaan bangsa India, Mahatma Gandhi.
Jadi, kala
itu Gandhi mengajak para petani garam untuk pawai (Salt March- 1930) sejauh 390 kilometer alih-alih bekerja. Hal
tersebut mengingat penjajah (Inggris) memonopoli perdagangan garam untuk
kepentingan pribadi, termasuk menaikkan tarif pajak untuk petani lokal. Gerakan itu ternyata menjadi milestone merdekanya India dari Inggris
(mungkin ada juga kaitannya dengan teori butterfly
effect).
Pada
dasarnya, Gandhi ini memang dikenal dengan banyak narasi perdamaian dan anti
kekerasan. Pun dia percaya, bahwa kesejahteraan untuk semua (Sarvodaya) hanya dapat diraih dengan
tiga prinsip dasar: satya
(kebenaran), ahimsa (anti kekerasan),
dan tapasya (pengorbanan).
Kebenaran yang diperkenalkan Gandhi ini erat kaitannya dengan ketuhanan. Bahkan, dia
mengatakan “tidak ada yang lain selain kebenaran”, yang berarti menurutnya,
kebenaran ialah setara Tuhan (yang menurut para filsuf menempati highest rank) dalam kehidupan.
Sementara, ahimsa sendiri bukan
berarti enggan membalas/melawan (pengecut), tetapi lebih ke mencerminkan cinta,
simpati, menyuarakan ketidakadilan dengan jalan yang damai. Sedangkan
pengorbanan, tentu tidak ada berjalan kaki sejauh 390 kilometer kecuali
orang-orang yang sabar dan rela berkorban. Maka, ketiga prinsip inilah yang
diimplementasikan Gandhi di pawai garamnya yang disebut juga Satya Graha Garam.
Sebenarnya
saya tidak terlalu mengerti sejarah perjuangan Gandhi ini (nantilah kapan-kapan
dibaca bukunya hehe). Hanya, sempat juga dibahas bahwa dalam proses Satya Graha
Garam tersebut (dalam hal ini
merekrut orang-orang), bisa saja ada unsur kekerasan di situ. Tapi, spirit non-violence yang dimaksud di
sini ialah, bahwa kita memperjuangkan apa yang kita bela betul-betul tanpa
kekerasan. Baik dari segi niat, maupun aksinya itu sendiri. Bukan seperti
demo-demo mahasiswa yang awalnya berniat “damai”, tetap saja ujung-ujungnya
ricuh karena mendapat perlawanan atau tindakan tidak mengenakkan dari pihak
oposisi.
Jadi,
dimana letak kekuatan spirit non-violence
ini, mengingat realita bahwa
kekerasan memang cenderung lebih memaksa? Jawabannya ialah pada banyaknya
massa, dan kelakuan/aksi yang menyentuh ranah kemanusiaan. Misalnya, kasus
George Floyd kemarin. Ada beberapa massa menyuarakan BlackLivesMatter-nya dengan tengkurap di jalan, dengan tangan
ditautkan ke belakang, leher dirapatkan ke jalan, sambil merintih kesakitan
(kata-kata seperti ini, “aku tidak bisa bernapas”). Yah, singkatnya me-reka
ulang posisi George Floyd sebelum meregang nyawa. Melihatnya tentu kita turut
kasian (kalau benar berperikemanusiaan). Maka, berawal dari empati itulah,
orang lain akan tergerak melakukan hal serupa, dan goals dari tujuan aksinya paling tidak dilirik oleh yang
bersangkutan (kalau benar mereka berperikemanusiaan).
Namun,
tantangan terbesar dari non-violence
intervention, dan mungkin karena itu juga aksi semacam ini sangat jarang
dilakukan ialah, kesabaran. Sabar untuk tetap berpegang teguh dengan niat damai
bahkan ketika pihak oposisi sudah melewati batas damai itu. Serius, entah Cuma
saya atau kita semua merasakan, tapi baru membayangkannya sudah terasa sulit.
Tapi saya
juga salah satu orang yang percaya kok, bahwa sabar itu tidak ada batasnya.
Jadi, sangat mungkin ada sekelompok orang yang mencapai tingkat kesabaran
seperti itu. Salah satunya Gandhi tadi. Saya sedih sekali ketika membaca di
buku kumpulan esai Gus Dur tentang demokrasi (original tittle: Gus Dur on Religion, Democracy, and Peace—Selected
Essays), bahwa Gandhi ini meninggal dibunuh oleh seorang pemuka Hindu
bernama Naturham Godse. Dia (hindus
ini) sangat menetang pemahaman Gandhi bahwa kaum Islam dan Hindu setara dan
seharusnya diberi hak yang sama. Wah, apa kabarnya ya orang yang membunuh itu
jika masih hidup sampai sekarang?
Setidaknya
saya, dan Saudara sekalian yang sempat membaca ini sudah tahu, bahwa violence is not the only way untuk menyuarakan
ketidakadilan, menuntut hak, ataupun mendisiplinkan orang. Sebenarnya kekerasan
tidak dilarang kok, bahkan PBB juga punya skema itu untuk menyelesaikan
konflik. Tapi tergantung lagi dari situasi, pelaku, dan perkaranya. Jika hanya
sekadar pengkaderan di kampus, harus
sekalikah pakai kekerasan? :v
Tapi saya
mengetik ini sambil mendesah panjang Pembaca yang Budiman, karena saya tahu itu
tidak mudah. Dan saya tahu gagasan
non-violence ini tidak bakalan
serta-merta diterima apalagi di kalangan penganut patriarki yang kian
memperkeruh kedamaian. Tapi ya sudahlah. Mari optimis, karena yakin, tidak ada
yang tidak mungkin (ihhh klise sekalii haha). Sekian :)
Komentar
Posting Komentar