HIDUP YANG TIDAK PERNAH DIRENUNGI, TIDAK LAYAK DIPERJUANGKAN*



*Socrates (470 SM - 399 SM)


Saya mengutip perkataan perkataan Socrates sebagai judul dari tulisan ini, karena ya, itu salah satu quotes yang paling teringat. Hum, entah ingin mulai dari mana. Yang jelas, materi kemarin terasa sekali berat(?)-nya. Haha, bukan karena disuruh berhitung bilangan berpangkat, melainkan karena kita diajak berpikir secara mendalam.

Misalnya saja, di awal materi kami—para GoP ditanya, “Yang mana yang dimaksud Wiwi?”, “Namamu itu melekat pada apa?” Jleb. Saya sih memang sering mendengar pertanyaan ini dari orang-orang yang interest dengan filsafat. Tapi sejujurnya, saya malas membahasnya. Mencari tahu Wiwi itu “apa”-nya dari saya, terus kenapa saya hidup, saya bertuhan karena betul-betul yakin atau nurut kepercayaan orang tua.. dan banyak pertanyaan lain, yang apa yah? Mengjengkelkan? Itu seperti Kau setiap hari melewati Jalan Borong Raya, lalu kau ditanya, Borong itu apa?

Haha. Sampai kemudian pemateri mengutip perkataan itu. “Hidup yang tidak pernah dipikirkan, direnungi, direfleksikan.. ialah hidup yang tidak layak dijalani, tidak pula layak diperjuangkan.”

Oke, menyambung pertanyaan di awal tadi, sebenarnya yang dilekati oleh nama kita itu jiwa, raga, atau ruh kita? Tentu banyak yang tahu, sudah pasti itu bukan raga. Sebab, bila tangan terpisah dari persendiaannya pun nama kita masih dipanggil secara utuh. Jadi jiwakah? Atau ruhkah?

Dan jawabannya ialah… jiwa :)

Filosifinya bisa kita lihat pada ponsel yang sedang mengisi daya. Daya listrik dari colokan ataupun power bank adalah ruh, yang Tuhan berikan kepada manusia, yang bersifat sama (kita tidak mengenal ada listrik baik ataupun jahat kan?). Dan hakikatnya, ruh yang diberikan Tuhan itu sifatnya baik. Tapi kemudian, ketika dia masuk di ponsel kita (baca: raga), listrik —yang tersimpan di dalam baterai— itu digunakan untuk kepentingan yang berbeda-beda. Ada yang lebih banyak untuk social media, foto dan video, atau menuliskan notes.

Begitulah kira-kira jawabannya. Ruh adalah sesuatu yang ditiupkan Tuhan kepada kita hingga kita bisa menjalani kehidupan. Sementara jiwa, ialah semacam daya/gerakan yang menggerakkan gerakan itu sendiri, kata Platon. Gerakan menolong, membentak, memberi…

Ya, seseorang dikatakan berjiwa sosial tinggi, ketika dia peduli dan senang menolong sesamanya. Kita tidak mengatakan beruh (?) sosial bukan? Lagi pula, saya pernah membaca kisah yang diintisarikan dari Al-Qur’an. Katanya, sebelum setiap ruh ditiupkan kepada bayi sesaat setelah mereka lahir, mereka ditanya oleh Allah SWT: bukankah Aku ini Tuhanmu? Lalu mereka menjawab: Benar (Engkau adalah Tuhan kami) dan kami menjadi saksi. Tapi pada kenyataannya ada kan yang mengikari janji? Maka itu sudah pasti bukan salah ruhnya (meskipun saya juga tidak bilang salah jiwanya hehe). Pembahasan seperti ini belum pantas saya bawakan. Saya masih harus belajar, dan jangan sampai saya sendiri juga salah kaprah.

Jadi, setelah itu kami disuguhkanlah lagu Never Enough, sebagai pengantar untuk membahas jiwa. Bahwa jiwa manusia, selalu tidak akan pernah puas meskipun katanya sudah membawa seluruh bintang di langit, memiliki menara emas, bahkan ketika tangannya sudah menggenggam dunia. Hmm. Is it really?

Yups. Ternyata menurut ilmu filsafat, gerak jiwa itu ada tiga. Pertama, gerakan diagrafma ke bawah, yang selalu ingin memenuhi kebutuhan hidup seperti makan, minum, pakaian, papan. Kalau kasarnya sih, pikiran gerak ini selalu bersifat material pokoknya bagaimana caranya supaya bisa hidup lagi besok tanpa rasa lapar dan tidak kesusahan. Nama geraknya Ephitomea. Gerak inilah yang dipakai oleh para manusia puba/primitif dalam bertahan hidup, yang kalau dibawa ke masa sekarang itu, ibarat para pengusaha, pedagang, atau orang-orang yang mengandalkalkan barang dan tenaganya dalam mencari uang.

Kedua, gerakan di atas diagrafma sampai sebelum kepala (eh), yang disebut Thumos. Gerak ini cenderung ke arah gentlemen-nya seseorang: sifat ingin melindungi, tolong-menolong, patriotisme, solidaritas, dan sejenisnya lah. Supaya lebih mudah dipahami, ingat saja tentara. Karena mereka-mereka yang gerak Thumos­-nya dominan kemungkinan akan mengambil profesi itu. Bagi mereka, kaya bukanlah prioritas asalkan mereka memiliki harga diri di mata orang, yang salah satu caranya ialah menjadi pejuang.

Ketiga, namanya Logisticon, gerak pada area kepala (baca: otak). Tanpa dijelaskan pun pasti banyak yang bisa menebak, bahwa gerak ini sangat mengandalkan akal, pokonya apa-apa harus dipikir dulu. Baik-buruknya, untung-ruginya, semua sebisa mungkin logis bagi gerak ini. Yang dicontohkan dari seseorang yang berkecenderungan terhadap gerak ini ialah politikus dan para akademisi.

Secara umum, semua manusia punya ketiga gerak ini. Hanya saja, ada yang porsinya lebih banyak, lebih sedikit, bahkan ada yang membawanya ke jalan yang salah. Coba perhatikan gambar kereta kencana di bawah ini:



Si pengendali kereta itu ibarat Logisticon
Si kuda hitam ibarat Thumos
Sedangkan kuda putih ibarat Ephitomea

Untuk dapat berjalan, kereta kencana tentu membutuhkan ketiga elemen itu. Hanya saja kelihatan, bahwa yang mengendalikan itu si Logisticon. Artinya, jika otak atau akal kita sudah niatnya yang bukan-bukan, yah kedua gerak lainnya akan nurut. Jadi meskipun punya jiwa patriotisme tinggi, bisa saja mengkhianati tanah air. Atau yang tadinya niat mencari penghasilan karena butuh, mulai disisipi dengan keinginan lain akibat kepentingan dari si Logisticon ini.

So, kesimpulannya semua harus seimbang. Jangan memberi ‘makan’ lebih banyak pada satu jiwa saja. Dan yang lebih penting, kendalinya ada di pikiran kita, di akal kita. Percayalah, bahwa ketidakseimbangan antar-ketiga jiwa bisa membawa masalah yang runyam.

Misalnya ketika dwifungsi ABRI berlaku pada Orde Baru dulu, dimana oang-orang yang memiliki jiwa patriot (baca: tentara) diperbelohkan juga untuk menduduki jabatan politik. Atau ketika yang diangkat sebagai pemimpin adalah yang jiwa Ephitomea-nya tinggi. Tentulah besar kemungkinan akan terjadi eksploiatasi (dalam konteks sumber daya), termasuk nepotisme oleh mereka yang otoriter dan ingin terus menguasai.

Haha, ilmu saya belum cukup untuk mengkritiki sebuah rezim. Saya hanya bisa berkata, sungguh sayang apabila mereka yang tidak paham bagaimana menyeimbangkan ketiga gerak ini diangkat menjadi pemimpin, apalagi yang memanfaatkan Logisticon-nya di jalan yang salah. Politik licik namanya. Tapi ya sudahlah. Kita tidak ingin membicarakan itu sekarang.

Akhirnya, bagaiamana cara menyeimbangkan ketiganya?

Keseimbangan dari Logisticon, Thumos, dan Ephitomea disebut dengan kondisi equilibrium. Dan untuk mencapai itu, inilah yang harus kita lakukan pada setiap gerak:
1. Ephitomea, timbulkan sifat “Ugahari” atau kesadaran jiwa untuk merasa cukup, tidak berlebih-lebihan.
2. Thumos, kendalikan emosi, harus berani dalam menyampaikan kebenaran, daripada iming-iming solidaritas. Misalnya ketika teman yang kita sayangi (bisa juga kakak, ayah, atau ibu) melakukan kesalahan (narkoba, mencuri/korupsi, atau membunuh), kita harus berani menyampaikannya. Baik itu kepada si pelaku, maupun kepada pihak-pihak yang harus tahu perbuatan pelaku. Tidak dibenarkan untuk menghiraukannya hanya karena merasa kita solid. Justru teguran itulah bentuk rasa sayang kita kepadanya.
3. Logisticon, kuncinya ialah wisdom. Iya, akal kita harus bijak, karena dialah yang mengendalikan dua gerak lainnya. Bijak ini beda loh dengan pintar. Socrates bilang, “the only true wisdom is in knowing that you know nothing.” Ya, seringkali orang pintar lupa bagaimana caranya menjadi bijak—rendah hati, karena mereka pikir sudah mengetahui banyak.


Equilibrium ini pun muaranya ialah justice pada setiap diri manusia. Mereka akan tahu bagaiamana bersikap dalam interaksi dengan golongan apapun dan pada strata sosial-ekonomi manapun. Tidak berlebihan, cukup ambil jalan tengahnya saja..

Dari sini pun kita bisa tahu, bahwa akar dari segala konflik sebenarnya, bahwa masing-masing orang membawa self interest-nya ke ranah interaksi antar-manusia. Self interest di situ bisa merujuk ke salah satu dari tiga gerak jiwa tadi. Apakah karena dia ingin berkuasa sepenuhnya, ingin membela kelompoknya, atau meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Masing-masing kita pasti bisa mengukur sendiri.

Akhir kata, membahas sedikit pandemi yang nampaknya belum akan berakhir ini, saya ingin mengucapkan terima kasih bagi Pembaca yang Budiman (eh sudah lama tidak menyebut ini) yang berusaha sebisa mungkin untuk tetap di rumah, meskipun itu berat. Ya, entah karena adanya self interest (kecuali terpaksa) atau memang karena ketidaksadaran, masih banyak orang-orang yang tetap bepergian walau urgensinya tidak penting-penting amet. Tapi ya sudahlah, kita tidak punya kuasa atas gerak jiwa orang lain, kan?
PS: setiap gambar yang ada di atas merupakan beberapa slide power point dari KITA Bhinneka Tunggal Ika
(Ini adalah judul asli dari materi PLC #8)





Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Novel "Memberi Jarak pada Cinta"

Some Theories About How The Conflict Appears

Naluri: Review Novel "Penguasa Lalat" oleh William Golding