Bahkan Perang Sekalipun Ada Manfaatnya





Salah satu hal saya senangi selama mengikuti Peace and Leadership Class-nya KITA Bhinneka Tungga Ika, ialah saya diajak untuk memikirkan hal-hal yang sebelumnya tidak terpikirkan sama sekali. Misalnya, pertanyaan ini: Apakah perang itu baik? Ayolah, who cares?

Tapi oh tapi, ternyata pengetahuan saya masih sangat-sangat kerdil dalam memahami fenomena alam dan sosial di semesta ini. Ya, untuk menganggap war is worst ternyata tidaklah tepat. Meskipun ada nyawa yang meregang, kehancuran di mana-mana, nampaknya Tuhan kita benar-benar pandai menyelipkan suatu nikmat di balik bencana. Saya kadang takjub setakjub-takjubnya membayangkan kendali Tuhan dalam mengatur seluruh jagad raya beserta isi-isinya ini. Kita yang mengatur kegiatan untuk puluhan atau ratusan orang saja sudah sangat kewalahan. Masya Allah..

Oke, kembali ke laptop. Materi PLC #10 kemarin, sepertinya akan menjadi salah satu kandidat kuat, kalau saja saya disuruh memilih materi PLC mana yang paling disukai. Pertama karena ini related sekali kondisi bumi sekarang, kedua karena ini menjadikan saya aware pada sesuatu yang saya anggap sepele, ketiga karena pembahasan ini selalu melibatkan Tuhan.

Begitulah PLC-nya dibuka dengan pertanyaan yang sama saat saya memulai menulis ini. Ada yang mejawab buruk, tapi lebih banyak yang menjawab “tergantung”. Sebuah jawaban klise, yang sepertinya sulit sekali dihindari setiap diskusi. Haha. Karena memang begitu adanya sih. Kalau orang agamais bilang, kembali lagi ke niatnya.

Singkatnya begini, yang bilang buruk, karena terlepas dari apa alasannya, perang tetaplah perang yang merugikan banyak pihak, bahkan yang tidak bersalah sekalipun. Apalagi jika sudah berbicara tentang korban jiwa. Sedangkan “sisi baik”-nya, bahwa setidaknya dengan perang, konflik akan terselesaikan (mesksipun ada yang menang-kalah), dan ada kalanya kita harus melawan (baca: berperang) jika hak-hak kita sedang dirampas, untuk kemudian direbut kembali.

Dan jawabannya ialah, jeng jeng.. sebenarnya kita tidak sedang mencari pembenaran dari perang. Melainkan narasinya begini, jika perang pun tidak terelakkan, maka hal baik apa yang bisa dipetik?
Jadi, perang tetaplah perang yang dianggap kelam dalam kemanusiaan, namun dengan berkata “jangan perang!” tentu tidak membuat perang lantas berhenti atau diurungkan, sehingga sekali lagi, kita perlu hanya melihat positifnya saja terhadap kejadian di luar kendali kita.
-

Seorang filsuf bernama Immanuel Kant berkata: Manusia menginginkan ketenangan, namun Alam mengetahui lebih baik apa yang baik bagi umat manusia itu; Alam menginginkan antagonisme.

Antagonisme, kalau dibahasakan secara sederhana ialah pertentangan. Yang jika dibawa ke dalam diri manusia, itu bisa saja dalam bentuk kesombongan, ketamakan, keinginan untuk berkuasa atas orang lain, sehingga menimbulkan konflik, persaingan, ketidaksamaan frekuensi, dan sejenisnya.

“Alam” di situ sebenarnya merujuk kepada Tuhan, cuma mumpung Kant ini atheis, jadi dia membahasakannya dengan Alam. Kant bilang, Alam itu menghadirkan antagonisme kendati Alam pasti tahu, bahwa dengan adanya antagonisme itu, akan lahir ketidaktenangan di hati manusia. Oke. Diterima.

Tapi untuk apa ya?

Ternyata itu semua agar hidup kita tidak melulu berada di zona nyaman. Tidak melulu senang, flat-flat saja. Dan bukankah memang begitu? Kita sering kali ingat kepada Tuhan, kembali kepada-Nya, ketika kita diberi pertentangan-pertentangan. Jarang ada orang yang kembali dalam kondisi dia diberi nikmat yang melimpah.

Pilihannya memang ada dua: melampaui pertentangan itu atau gagal dan kian terpuruk, dan itu kita yang memilih. Tetapi, mana kala kita dapat melampauinya, itulah justru yang menambah kapasitas kita sebagai makhluk Tuhan. Kita tahu bagaimana mengontrol emosi,  kapan harus mengalah agar tidak terjadi perdebatan, kapan harus memposisikan diri di atas, setara, atau di bawah seseorang, tahu bagaimana bersabar dalam keterbatasan, dan sebagainya dan sebagainya.

Ya, that’s it. Sederhana kan?

Saya sendiri merasa, bahwa pertentangan yang hadir di hidup saya masih belum seberapa. Dulu, saya sering membaca biografi orang ternama seperti B.J. Habibie, Dahlan Iskan, atau bahkan sekadar mendengar kisah-kisah motivator di luar sana, dan satu yang bisa saya petik: mereka sudah menjadi orang yang tidak biasa-biasa saja sejak kecil. Tidak biasa di situ karena mereka berhasil melampaui keterbatasan yang Tuhan berikan. Misal, menempuh perjalanan kaki berkilo-kilo meter untuk ke sekolah, ditinggal orang terkasih atau ditolak berkali-kali.

Namun saya merasa Tuhan terlalu baik pada saya. Saya selalu mendapatkan nilai bagus semasa SMA meskipun saya merasa tidak belajar keras, saya masuk universitas dengan jalur undangan dan itu di pilihan ketiga (yang banyak orang bilang kecil kemungkinan diterimanya), dapat beasiswa dalam satu kali percobaan daftar, saya punya keluarga di Makassar which means saya tidak sepenuhnya merantau, dan nikmat-nikmat yang lain. Meskipun tahun kemarin ayah saya berpulang (dan ini menjadi Ramadhan pertama tanpa dia), tapi saya selalu bilang, masih banyak kok orang yang tidak punya ayah di luar sana, yang keadaan ekonominya bahkan lebih buruk dari pada saya. Dan itu membuat saya khawatir, barangkali akan ada pertentangan hebat yang akan saya hadapi cepat atau lambat, sehingga membuat saya selalu, sering sekali was-was terhadap sesuatu. Misal, jikalau tiba-tiba saya berkonflik dengan ibu saya, impian saya tidak direstui, bencana alam terjadi, atau saya menjadi demikian sombongnya hingga tidak memperdulikan orang di sekitar saya, dan kengerian lain yang saya berlindung pada Tuhan terhadapnya (Na’udzubillah).

Sampai kemudian statement ini muncul, bahwa bisa jadi saya terlalu percaya diri untuk mengatakan bahwa pertentangan di hidup saya tidak cukup hebat. Barangkali itu ada, tapi saya memilih acuh, agar kehidupan saya nyaman-nyaman saja. Haha, iyaa. Sepertinya memang begitu. Saya terlalu betah berada di comfort zone. Sebab di saat saya berpikir seperti ini, ada banyak kejadian terbayang di kepala saya yang memperlihatkan  betapa pecundangnya saya dalam hidup ini.

Tapi saya tetap yakin seyakin-yakinnya (sebagaimana saya yakin bahwa matahari akan terbit esok), bahwa selama kita hidup, pertentangan akan terus ada. Satu yang membuat saya tidak begitu takut menghadapinya ialah, karena saya (dan kita) punya Tuhan Yang Maha Melihat, Maha Agung, Maha Baik, Maha Segala-Segalanya, yang tidak akan pernah meninggalkan makhluk-Nya.
-

Jadi apa hubungannya dengan perang? Haha. Pembahasan mengenai antagonisme tadi, sebenarnya dikemukakan oleh Kant, dalam mendiskripsikan bahwa iniloh sebab perang itu muncul. Jadi ya karena itu dari ‘Alam’, tentu tidak bisa kita tolak. Namun baiknya, Kant melanjutkan bahwa setidaknya ada hal-hal positif yang pasti diselipkan dalam perang tersebut. Salah satunya adalah, akibat perang, peradaban pun meningkat. Banyak penemuan-penemuan manusia yang sampai sekarang masih diterapkan dan it’s really useful. Sebut saja drone, radar, sistem komunikasi pilot, mesin jet, penisilin, bahkan pembalut wanita sekalipun.

Dan jika kita bawa ke situasi pandemi sekarang, maka kita lihat, berapa banyak bapak-bapak/ibu-ibu generasi Y yang mulai melek teknologi karena work from home. Ada berapa banyak mahasiswa yang malas atau terlambat kerja tugas, namun karena sistem online ini tugasnya banyak (eh kok curhat? :v), mereka jadi aware dengan itu, sebab apalagi yang mau dinilai oleh dosen selain tugasnya? Dan yang paling saya syukuri akibat pandemi ialah, kita lihat, bahwa di beberapa negara yang memberlakukan karantina, polusi udara berkurang, climate change pun dapat diperlambat. Bukankah itu kabar yang menggembirakan?

Maaf sekali saya lupa siapa yang mengeluarkan statement ini (entah dari Kak Therry, atau ada seorang ahli yang mengungkapkannya), bahwa dampak atau akibat dari suatu kejadian, barulah dikatakan benar, jika dilihat melalui helicopter view, secara luas dan menyeluruh. Artinya, meskipun tidak ditepis bahwa banyak orang yang meninggal, paramedis kewalahan, pemerintah tunggang-langgang mengalokasikan anggaran. Tapi percayalah, kapasitas paramedis dan pemerintah setelah pandemi ini akan meningkat, jika berhasil melewati situasi darurat wabah. Begitupula masyarakat yang dapat beradaptasi dengan kondisi sekarang, misalnya memanfaatkan waktu di rumah dengan mengerjakan hobi atau mempelajari bahasa baru.

Akan ada banyak temuan, banyak kesadaran akan apa yang selama ini kita remehkan, cuci tangan sebelum makan misalnya. Sama juga dengan gambar di bawah ini (kebetulan saya dapat di twitter).



Yah begitulah, saya tekankan sekali lagi, bahwa tidak ada yang menginginkan perang (setidaknya jika itu manusia yang berperikemanusiaan). Akan tetapi, jika perang—atau kondisi serupa harus terjadi, kita sebaiknya fokus saja kepada hal positif dari perang itu, alih-alih mengeluh dan menyalahkan siapa-siapa.

Sebenarnya ada lagi sedikit pembahasan tentang Perdamaian Abadi, yang dapat terwujud jika masing-masing negara di dunia menenggelamkan egonya untuk memulai perang. Tapi, hal teknis seperti itu mungkin hanya akan membuat bosan, setelah saya menulis banyak sekali kata-kata di atas. Jadi, sampai di sini saja refleksi saya.

Ketahuilah, Pembaca Sekalian.. hidup tanpa gejolak itu hampa. Dan meskipun kita memimpikan perdamaian abadi untuk masing-masing jiwa, untuk menemuinya, itu bukan di kehidupan dunia. Semoga di akhirat kelak, amiin ya rabbal 'alamiin..

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Novel "Memberi Jarak pada Cinta"

Some Theories About How The Conflict Appears

Naluri: Review Novel "Penguasa Lalat" oleh William Golding