THE MEANING OF FRIENDSHIP TO ME


Arti pertemanan bagi saya, ialah, hmm mungkin akan sedikit berlawanan dari kebanyakan orang. Pertama, saya percaya bahwa setiap orang itu sendiri. Saya belajar mencintai seperlunya, dan benci seperlunya. Toh, orang yang paling peduli pada kita sekalipun akan menemui ajal, tidak usah terlalu bergantung padanya, tapi kita bisa saling mengandalkan. Ya, teman bukanlah seorang yang saya tuntut selalu ada kapan pun saya butuh. Melainkan orang yang bisa kita andalkan pendapatnya, nasehatnya, dukungannya.. Boleh dia ada di saat kita senang, sedih, tapi tidak perlu SELALU ada. Setiap orang punya urusan masing-masing, kan?

Kedua, teman—menurut saya, bukanlah replikasi diri. Awalnya saya berpikir bahwa jika berteman, maka setidaknya kita harus punya hobi dan pembahasan yang sama. Tapi semakin ke sana, rasanya tidak benar juga. Saya masih punya beberapa nama (baca: teman) yang meskipun kecenderungan kami berbeda, komunikasi tetap jalan. Di situlah justru letak keakraban kami, saling bercerita “ngapain aja kemarin?”

Ketiga, saya sama sekali tidak menganggap seseorang teman—hm maksudnya teman dekat, jika di percakapan lain, dia justru tidak memihak saya. Bukan berarti saya harus benar di mata dia, akan tetapi alangkah baiknya jika dia tetap menjadi “teman” meskipun bukan di hadapan saya, meski tidak ada saya. Kalau saya belum tahu sih, ya tidak apa-apa.


Haha, sebenarnya bukan itu inti dari  tulisan ini. Melainkan, saya ingin bercerita tentang teman-teman saya semasa SMA, yang cukup mengikuti arus dengan membentuk nama perkumpulan (baca: geng) beserta tanggal lahirnya. Namanya Keluarga M. Mohon jangan bertanya apa itu M, karena saya agak gimana yah menjelaskannya.. Haha. Bercanda.  M itu adalah inisial dari salah satu anggota pertemanan (?) itu sendiri, yang dianggap sebagai awal mula lingkaran pertemanan itu dibentuk (akan kelihatan nanti).



Jumlahnya ada 12 orang. Uni, teman ke perpus yang paling sering saya ajak kemana-mana, Heri-Elma, sekampung tapi sifatnya jauhh berbeda, Mumu-Idrus-Calu, insyaallah calon imam yang baik, Rafii si usil, Imma yang terkalem dan ter ter ter haha, Dita, si dewasa yang bersembunyi di balik wajah anak-anak-nya, serta Ega-Iba-Anis yang tidak terpisahkan, dan hum selalu membawa informasi baru bagi kami. Saya tidak bilang bahwa perlakuan saya sama pada tiap orang. Maksudnya, bila keakaraban itu diberi nilai, setiap mereka itu memiliki nilai yang berbeda-beda (terlebih karena saya sendiri pun merasa agak sulit akrab dengan seseorang). Tapi saya kepada mereka selalu opened kok, kalau ada yang mau bercerita, minta pendapat ataupun pertolongan, selama mereka nyaman memintanya kepada saya.

Waktu SMA kemarin, saya sangat bersyukur ada Keluarga M ini. Meskipun sudah saya bilang, bahwa pertemanan bagi saya adalah bukan sesuatu yang perlu dibesar-besarkan. Mereka ada jika saya senang, juga ketika sedih, dan mereka bisa dibilang cukup mendukung saya, dalam setiap situasi. Termasuk dalam menerima kegabutan saya wkwkwk.

Jadi di suatu Rabu, yang dari pagi sampai siang saya kuliah onlen (UTS pulak), ditambah sore hingga malamnya saya ikut PLC, setelahnya saya benar-benar lelah, fisik dan batin. Dan satu-satunya roomchat yang tidak canggung saya spam-i, ya grup Keluarga M itu. Jadilah saya membagikan kuis, yang dengan bangganya, merasa bahwa tidak akan ada yang tahu jawabannya—atau kalaupun mereka tahu, mereka pasti berpikir keras. Hasilnya, ada lah 2 orang teman yang menjawab. Meskipun saya tidak tahu yah, jawaban mereka pure karena berpikir, atau sudah mendapatkan kuis itu sebelumnya haha. Tidak masalah. Tidak ada persyaratan untuk itu. Jadilah saya berikan hadiahnya hari ini.

Bukan hal yang sulit untuk mendeskripsikan dua orang teman ini. Akan tetapi, jujur, saya pun belum terlalu mengenal mereka. Habisnya, kalau ada apa-apa, saya bukanlah orang pertama yang mereka beri tahu, juga bukan kedua, ketiga, biasanya saya cuma dengar dari orang pertama, kedua, atau ketiga itu. Mungkin (dan sebenarnya bukan mungkin lagi), saya bukanlah orang yang paling akrab di Keluarga M bagi mereka. Oke, saya akui haha.


Pertama, Ega, atau lengkapnya Megatul Mukarramah. Hm, dia adalah teman yang bisa dibilang masuk di lingkaran pertemanan saya karena berteman dengan teman saya (eh). Iya, awalnya kami tidak saling menyapa. Dan disitu saya tidak tahu, bahwa Ega ini orangnya sangat tertarik dengan urusan orang lain haha. Dalam artian dia pengertian, selalu ingin mengerti, dan seakan ingin berkata “Kamu ngga sendiri loh, ada aku.” Termasuk dia sangat antusias dengan kisah romansa saya. Entah karena itu “saya”, atau karena “dia”.



Kalau masalah loyalitas (baca: kesetiaan), saya salut sama orang ini. Awalnya saya kira, Ega ini seperti kebanyakan perempuan lain di Keluarga M yang tidak begitu urus dengan crush boy. Tapi ternyata oh ternyata… Haha, saya tidak ingin melanjutkan. Intinya, cukup mengejutkan ketika kami lulus SMA dan suatu hari berkesempatan berbagi cerita hingga larut malam, dan dia berkata memilki someone special *hiyyaaa.

Termasuk yang mengejutkan saya ialah, bahwa ternyata dia nyaman di Jurusan Hukum dan Bahasa Inggris. Dua disiplin ilmu yang sama sekali tidak mencerminkan dirinya ketika SMA. Tapi, bukankah satu-satunya yang abadi adalah perubahan?

Terakhir (supaya tidak terlalu panjang, karena masih ada seorang lagi), Ega ini adalah orang yang paling sulit saya baca. Saya tidak tahu ketika dia berkata, “Tidak, tidak marah jka” apakah benar dia tidak, atau sekadar ingin menunjukkan bahwa “saya bukanlah anak kecil yang marah karena hal seperti itu”, atau ketika dia bilang, bahwa dialah yang paling mengerti saya, atau semacam pujian seperti saya cantik, saya bertanya-tanya, apakah itu hanya untuk menyenangkan saya, atau memang karena begitu adanya. Haha.

Apapun itu Ega, saya sebenarnya lebih senang kamu jujur. Tidak usah berusaha menyenangkan saya jika itu bukanlah sesuatu yang dibenarkan oleh hati nuranimu. Over all, kamu hebat Ega. Jangan berubah ke arah yang buruk ya.


Kedua, ini teman yang benar-benar langka. Jarang sekali saya mendapati orang seperti dia. Namanya Muhammad Rafii, atau akrab disapa Rafii (saya sih bilangnya Rapii). Pertama, saya tahu bahwa dia baik hati, namun entah kenapa dia selalu ingin menunjukkan kepada dunia, kepada teman-temannya, bahwa dia adalah seorang bad boy.

Kedua, saya tahu dia cerdas. Tapi, entah dia menyembunyikannya atau benar-benar malas, dia sering sekali mendapat teguran dari guru karena tidak seperti orang pintar lain. Ketiga, saya tahu dia sebenarnya gagah, tapi, yang diperlihatkan kepada kami hanyalah kebobrokan, ke-‘jorok’-an, yang membuat aura manly-nya hilang seketika.




Humm, dia selalu menunjukkan kata “tolong, maaf, dan terima kasih” dengan cara yang berbeda. Saya sih tidak bisa merincikan ya, karena dia minta tolongnya selalu bukan kepada saya wkwk. Dia juga jarang berbuat salah kepada saya, jadi yah, saya bilang begitu dari hasil mengamati saja.
Kadang dia membuat saya jengkel, benar-benar jengkel. Tapi, kadang pula membuat tertawa, yang betul-betul ngakak sampai mengeluarkan air mata. Bagaimana pun kondisinya, Rafii tetaplah Rafii. Yang tidak ingin menunjukkan kesulitannya di depan orang lain. Itulah mungkin, alasan mengapa saya belum betul-betul mengenal dia. Karena dia selalu menolak perhatian yang orang-orang berikan, termasuk saya.

Satu momen yang tak terlupakan bersamanya ialah, ketika perjalanan pergi-pulang dari bendungan. Di situ, kami berlima. Dan saya tidak bisa menggambarkan perasaan saya waktu itu selain kehangatan—dan kekenyangan(?) haha. Sebab kami makan banyak sekali. Dan lagu Sempurna di perjalanan pulang, dengan latar senja, benar-benar membuat hati saya berdesir. Entah karena suasananya, atau karena orang-orang yang bersama saya waktu itu.

Untuk Rapii, I have nothing to say. Cuma mengingatkan, jangan lupa hutang  I am not the only one-ku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Novel "Memberi Jarak pada Cinta"

Some Theories About How The Conflict Appears

Naluri: Review Novel "Penguasa Lalat" oleh William Golding