Kau dan Aku Berubah Seiring dengan Kita yang Beranjak Dewasa



Aku tak heran mengapa tokoh Peter Pan itu tak mau menjadi dewasa. Walaupun sebenarnya menjadi dewasa bukanlah sebuah ‘kemauan’ melainkan suatu ‘keharusan’ jika kita masih ingin menikmati indahnya dunia. Aku menulis ini bukan berarti aku tidak suka dengan kedewasaan, hanya saja terkadang… menjadi dewasa itu sangat menyebalkan.
 Jika ada sesuatu yang salah, orang dewasalah yang paling banyak disalahkan daripada anak-anak. Mereka akan berkata “yang dewasa harus mengalah..” dan begitu terus sampai anak-anak itu juga menjadi dewasa. Orang dewasa selalu melakukan pekerjaan berat dengan upah yang sedikit, sedangkan anak-anak bahkan tanpa bekerja pun mereka bisa mendapat upah cuma-cuma. Dan yang paling menyebalkan ketika kita telah beranjak dewasa, ialah telah dikenal rasa malu, takut, acuh, cuek, kere, sedih, patah hati juga sepi.
Sebut saja kau dan aku, kita. Dimasa kanak-kanak silam, dengan leluasanya kita berlarian kemari kesana---dengan genggaman tangan yang tak kunjung lepas, kita bebas menyobek kertas berapa pun untuk dibuat pesawat atau perahu kertas, toh yang akan disalahkan nanti juga orang dewasa. Kita tertawa lepas tanpa ada teguran “husssshh” yang biasa dituju pada wanita dewasa yang ketawa besar.
Tak tanggung-tanggung, kita juga akan saling menegur lalu menyapa jika tanpa sengaja bertemu di jalan, jika salah satu kau atau aku tidak nampak, maka yang nampak itu akan berkunjung ke rumah yang tak nampak dengan tangan kosong---tak perlu roti, susu, atau buah.
Disaat kau dan aku, kita dihukum guru karena tak mengerjakan PR, bukanlah rasa takut ataupun sedih karena nilai kurang yang ada dibenak kita, melainkan perasaan senang----mengharu-biru sebab, saat itu kita bisa bermain pelosotan lagi, jungkat jungkit dan ayunan juga.
Aku sangat suka masa itu. Sebab, tatkala kita terjatuh dan terluka pun, orang tua hanya akan berkata : “Maklum, anak-anak”
Namun seperti yang kukatakan tadi, kita tidak menjadi dewasa bukan karena kita tak ingin. Melainkan karena memang belum saatnya. Dan ketika saat menjadi dewasa itu menghampiri, baik kau maupun aku, kita tak ada yang bisa menolak.
Jadilah kau dan aku, kita seperti ini dalam kedewasaan. Saling acuh, saling mneghindari, membuang muka----bahkan jauh-jauh sebelum berpapasan. Saat tak sengaja bertemu, baik kau maupun aku, kita sama-sama tak ada yang berani menghampiri. Alasannya apa: malu.
Kita bagai orang asing yang tinggal di raga yang tak ubahnya saat anak-anak dulu. Kau dan aku, kita bukannya tidak saling mengenali. Persahabatan yang begitu kuat sedari kanak-kanak itu tidak membuat kita lupa dengan aura tubuh masing-masing. Kau dan aku berubah seiring dengan kita yang beranjak dewasa.
Persahabatan di waktu dewasa bukan mustahil, tak jarang malahan. Hanya saja, seperti yang kukatakan tadi : Kau dan aku berubah seiring dengan kita yang beranjak dewasa. Begitupun persahabatan itu.

-Ini Kisahku..
Campalagian, 24 Maret 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Novel "Memberi Jarak pada Cinta"

Some Theories About How The Conflict Appears

Naluri: Review Novel "Penguasa Lalat" oleh William Golding