Ketika Salento Merindukan Ibu



Salento termangu melihat beberpa butir beras yang menjelma menjadi nasi (?) dihdapannya. Sebenarnya ia sendiri bertanya, apakah didepannya saat ini adalah sesuatu yang orang-orang sebut ‘nasi’ untuk dimakan guna memiliki tenaga demi menyambung hidup. Bukannya tak mau menolak, ia hanya tak bisa menolak apa yang diberikan atasannya dan Yang ada di atas sana.
Sepeninggalan ibunya, yang dia bawa berkelana ke penjuru dunia hanyalah kalung emas seharga tujuh ratus duapuluh lima ribu----warisan ibunya dengan apa yang ia kenakan saat itu. Bukan main beraninya, dia menyusuri lautan, samudera, pepulauan, selat diantara selat, lembah diantara lembah dengan bekal yang bagimu akan ludes tak genap sehari.
Tapi, kasih Tuhan untuk Salento masih mengalir meski tak deras. Di sebuah daratan tanpa nama, ia disuguhi pekerjaan sebagai sopir bus penumpang. Tak tanggung-tanggung Salento menerima suguhannya. Dalam hati ia berterima kasih kepada Alm. Ayahanda karena sedari kecil, telah diajari naik sepeda, sepeda motor, motor becak, becak mesin, mesin diesel, dan lain-lain.
“Kalau nanti kau tidak lulus sekolah, maka kau bisa gunakan keahlianmu itu untuk dapat kerja” begitu otaknya memutar ulang perkataaan ayahnya seperempat abad lalu.
Sekali pun, bahkan setengah kali pun Salento tak pernah membayangkan kehidupan belasan tahun lalunya yang indah yang kesehariannya hanya membuang-buang uang, bereinkarnasi menjadi hidup melarat yang setiap harinya mati-matian mengumpulkan uang.
Dan kini, andai yang ia alami sama dengan sopir bus itu belasan tahun silam, ia akan tetap menjadi sopir bus yang bahagia mengantar anak-anak remaja menyusuri likuk jalan hingga ke tempat yang mereka kehendaki. Ikut tertawa bersama mereka, makan apa yang mereka makan, dan tidur seperti mereka tidur.
Namun, kenyataan membuatnya menelan hanya kepahitan. Air matanya yang jatuh membuat nasi di suapannya sedikit asin, dan ia masih melanjutkan makan sampai nasi itu benar-benar lumat masuk ke kerongkongannya.
Salah jika kau berkata Ia menagis karena makan nasi sisa, lebih salah lagi jika kau mengira ia menangis sebab marasa tak adil pada Tuhan yang memberinya kehidupan sedemikian melaratnya. Tetapi ia tersedu-sedu, terisak-isak sampai dadanya sesak karena ia merindukan seseorang…
Ibu.
-
“Bu, nanti teman ku yang perempuan tidur di lantai atas, yang laki-laki tidur di lantai bawah, terus aku tidur di kamar tamu bawah. Bagaimana?”
“Lalu, sopirnya tidur dimana?”
“Alaah, ibu. Sopir kan bisa tidur di bus. Mereka sudah biasa tidur di bus kok”
“Jangan nak… mereka juga kan capek, bawa bus berkilo-kilo meter. Masa disuruh tidur di bus”
“Begini saja, kamu tidur di lantai bawah sama teman-teman kamu, biar yang tidur di kamar tamu itu pak sopir aja..”
“Tapi ibu…”
“Salento…”
“Iya deh, bu..”
-
“Teman-teman, Ayo makan!”
“Eh To, nanti dulu. Sopinya kan belum makan. Nanti kamu dan teman-temanmu belakangan”
“Ibu, sopir itu makannya sisa kami aja, mereka kan Cuma sopir bu, nanti juga kan dikasi uang pembeli rokok, gak usah dilayanin segitunya”
“Salento, sopir itu pasti lapar, sebentar kalian mau diajak keliling kota, mereka harus punya tenaga”
“Sudah, panggil dulu sopirnya makan. Baru kamu yang makan”
“Iya deh, bu..”
-
“To, coba lihat. Yang untuk sopir bagusnya mana yah?”
“Apa? Lah kok buat sopir sih..?”
“Iya, ini kan empat kardus. Dua untuk guru kamu. Dua ini untuk masing-masing sopir dan kernetnya”
“ibu, sopir sama kernetnya itu sudah Salento kasih uang, gak usah dikasi beginian segala. Terlalu banyak”
“loh, nggak bisa dong, To. Ibu belikan memang mereka punya bagian”
“Kalau begitu, satu dus ini mereka berdua aja. Biar mereka yang bagi rata. Terus yang satunya lagi kasih teman-temanku aja”
“Jangan begitu, nak. Justru orang-orang kecil seperti mereka itulah yang harus diperhatikan..”
“Terserah deh.”
-
Bayang-bayang ibunya masih berkelebat dibenakknya. Nasinya masih asin. Air matanya masih  mengalir. Ia sangat merindu. Sungguh rindu yang tak pernah ada rindu yang mengalahkan peirhnya seumur hidup. Ia sedih sebab tak adanya sosok seperti ibunya sekarang. Tak usah ia berharap ibunya akan datang menyeka air matanya. Ia pun tahu diri bahwa Tuhan mungkin tak akan menujukkan keajaiban padanya meskipun itu mungkin saja jika Tuhan ingin.
Semuanya campur aduk. Kenangan manis dan pahit silih berganti bersemayam dalam benaknya. Banyangan akan kehidupan mewah di masa remaja yang penuh kasih, tawa, dan harta. Bayangan masa kuliah yang serba dibiayai orang tua, melintas juga bayangan si jago merah saat sedang lahapnya menyantap habis rumah mewah kebanggaannya serta merta menewaskan kedua orangtuanya.
Dan lagi-lagi airmatanya jatuh…
Semuanya campur aduk. Termasuk nasi yang ada dihadapannya sekarang. Entah sudah berapa jenis air liur yang telah menyentuhnya. Namun, mau tak mau ia telan jua. Musabab hidupnya dan mungkin hidup anak-anak remaja perekreasi yang ia bawa akan bergantung pada tenaga dan konsentrasinya dalam mengemudi.
Belum habis sepertiga piring nasinya, Abidin---ketua rombongan yang ia bawa  bertitah. “Mas Salento, jalan yuk.. aku dan teman-teman mau ke Rawa Bangun”, katanya. Dengan sombongnya, dengan ketidak-merasa-bersalahannya. Maka Salento pun bangkit. Menyisakan kurang sepertiga nasi yang nampaknya basah, mungkin air mata.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Novel "Memberi Jarak pada Cinta"

Some Theories About How The Conflict Appears

Naluri: Review Novel "Penguasa Lalat" oleh William Golding