Ketika Salento Mencari Jati Diri




-Nikmat Tuhan mana lagikah yang kau dustakan?-

Salento, ternyata tahun ini ia ubahnya seorang anak raja. Inginnya mencicipi makanan istana baik yang berat sampai yang teringan sekalipun. Tak urung, semua pakaian dan mainan anak raja sesungguhnya telah dicoba semua. Mengaku anak raja, tapi yang ia lakukan hanya tidur-main- dan menggoda gadis-gadis kerajaan.
Ia baru kapok menjadi seorang anak raja ketika disuruh berpidato dalam acara ulang tahun kerajaannya. Karna memang hidupnya tak pernah menetap, mana ada waktu dia pelajari tata bicara di depan khalayak. Akhirnya, dia ditertawai seantero kerajaan. Di surat kabar selembaran zaman dulu, dia jadi topik utama : ANAK RAJA MEMBISU SAAT MEMBERIKAN SAMBUTAN.
Dan sekarang lembaran surat kabar itu sedang digenggamnya, tapi anehnya dia malah yang paling keras tawanya diantara orang lain yang juga membaca. Bukan bermaksud menertawakan diri sendiri, ternyata dia bukan lagi anak raja di surat kabar harian yang terbit mingguan itu, sekarang sudah lewat sembilan bulan, kurun waktu yang tidak lama untuk dia berubah menjadi seorang wartawan.
Memangnya jadi wartawan punya banyak uang? Tidak juga. Memang incaran Salento kali ini bukanlah uang melimpah, prinsipnya sekarang : apa yang lebih menarik selain dapat meliput artis-artis hot  yang tengah naik daun?
Berbeda tapi sama saja halnya malam ini, ia ditugaskan untuk meliput PSK-PSK yang digerebek polisi wanita. Sambil mewawancara, sempat juga ia meminta nomor ponsel salah seorang PSK yang dianggapnya paling menonjol (?)
Ketidaktertarikannya menjadi wartawan mencuat ketika dia diperintah atasan untuk meliput tawuran antarmahasiswa. Rupa-rupanya, ia terkena lemparan batu orang tak jelas. Alhasil, pelipis sampai ujung kakinya membentuk aliran darah.  Encer dan basah. Dan mulai saat itu ia memutuskan tak ingin jadi wartawan lagi.
Setelah anak raja-turun ke wartawan, maka sekarang lebih turun lagi ke tukang bubur keliling. Atas motif apa yah? Dia juga masih memikikan. Yang ia tahu, ketika menjadi wartawan berdarah tempo hari, seorang tukang buburlah yang pertama menolongnya. Setelah dibopong ke rumah sakit terdekat, dia diberi semangkuk bubur yang luar biasa enaknya.
Katakanlah saja hatinya tersentuh. Sehingga motifnya menjadi tukang bubur bukan lagi yang jelek-jelek. Tapi dia benar-benar ingin berbuat kebaikan sebagaimana Pak tukang bubur berbuat kebaikan padanya.
Meski hidup susah, dia tak pernah mengeluh. Kadang, ketika ada anak jalanan yang kelaparan dan hanya bisa menganga memandangi buburnya tanpa adanya kecukupan untuk membeli, ia akan memberikan semangkuk dengan cuma-cuma.
Namun sungguh sial, ternyata kebaikan tak selamanya dibalas kebaikan. Anak yang terkadang diberinya semangkuk bubur gratis itu ternyata terus meminta, lebih tiga kali sehari, sebagaimana penjual yang tak ingin rugi, Salento tak ingin terus memberi sampai buburnya hanya habis karena diberikan pada si anak. Salento meronta dalam hati. Berusaha untuk sabar dan tetap berjualan bubur.
 Sungguh lebih sialnya lagi, anak tadi lantaran tak diberi bubur, maka melapor ke satpol PP yang memang mencari pedagang kaki lima yang butuh diamankan. Singkat cerita, tergopoh-gopohlah Salento bersama gerobaknya dikejar oleh petugas-petugas berseragam hijau kecokelatan itu.
Dia marah, sangat marah, sangat-sangat marah. Melebihi marahnya seorang ibu saat anak gadisnya pulang tengah malam. Tekadnya sudah bulat : tak ingin menjadi orang baik lagi.
Tinggallah ia sekarang di kamar. Hanya tiduran sambil menerawang langit-langit kamar. Ingin mancari inspirasi, pasalnya sekarang dia bukan lagi tukang bubur yang dikejar-kejar satpol PP, melainkan seorang komposer lagu.
Atas dasar apa, jangan tanyakan. Sebab ketika dikejar satpol PP dia kebetulan saja lewat depan orkes. Waktu itu, hampir saja ia tertangkap karna sempat berjoget. Betapa sebuah lagu dapat mengambilalih pikiran pendengarnya.
Mulai dari nol, ia benar bersungguh-sungguh kali ini. Satu lagu, dua lagu, sepuluh lagu telah di komposing. Tak tanggung-tanggung, lagu-lagunya juga dipublikasikan dan sukses  di pasaran. Sungguh kesenangan yang baru ketika menjadi seorang komposer ia rasakan. Ternyata lagulah yang mengalirkan uang ke sakunya. Hanya menghitung bulan hingga tahunan, ia pun menjadi komposer ternama seantero Jogja.
Sejauh ini, baik-baik saja. Menurutnya menjadi seorang komposer cukup menyenangkan. Dia mulai memiliki fans yang kebanyakan dari kaum hawa. Tak jarang cokelat, bunga, hingga pakaian tak murah ia dapatkan saat hari ulang tahun----atau lebih tepatnya hari dimana ia memutuskan untuk menjadi seorang komposer.
Namun lagi-lagi, sebuah berita tak mengenakkan membuatnya ingin mundur lagi dari kehidupannya sekarang. Salah satu lagu Salento ternyata divonis katakanlah musisi X sebagai karyanya berabad-abad hari silam. Salento tentu tak bisa mengelak. Apa yang pernah ia dengarkan dari musisi X itu ketika ia masih menjadi anak raja atau mungkin wartawan berabad-abad hari lalu?
Singkat cerita, musisi X pun menuntut dan di pengadilan Salento ditetapkan bersalah serta dikenakan denda seratusdua juta. Besoknya, ketika musisi X dan pengacaranya ingin mengunjungi Salento di jeruji besi, dia telah raib.
Kasus raibnya Salento berangsur-angsur hilang ditelan masa. Kini Salento mencari jati diri lagi. Karna ini sudah yang sekian kali, ia betul-betul memikirkan matang-matang, sangat matang malahan, tentang ingin jadi apa dia kelak.
Alhasil pilihannya jatuh di kursi tertinggi di pengadilan. Mengapa? Mungkin karna ia ingin mebalas dendam pada hakim yang menjatuhinya hukmna penjara. Kasus-kasus pun terselesaikan dengan sedikit tak adil. Salento sering menerima suap dari beberapa oknum yang tak bertanggung jawab seperti dirinya.
Rupa-rupanya dia senang dengan itu. Makan minum cukup meski dengan uang yang tak jujur. Namun, ada satu hal yang ia lupakan. Ia benar-benar lupa. Barulah ia teringat ketika memimpin persidangan pagi ini.
Ini adalah kasus seorang nenek yang dituntut hanya karna mencuri kayu bakar di kebun si penuntut. Nenek ini jelas tak punya pengacara sedang penuntut menyewa jaksa yang tertinggi di levelnya. Dalam hati Salento, dia kasihan juga. Bagaimana bisa si penuntut tak bisa mengikhlaskan beberapa batang kayu bakar untuk nenek tua itu?
Tapi ia tak ingin pura-pura baik. Bagaimana pun hukum dan hakimlah pengambil keputusan tertinggi di dunia yang konyol ini. Butuh waktu yang tak lama untuk Salento memutuskan kebersalahan si nenek.
“Baik, dengan bukti-bukti yang diutarakan oleh jaksa penuntut, dan terdakwa pun telah mengakuinya, maka keputusan hakim adalah saudari… siapa namanya?” Salento agak berbisik ke sebelah.
“Marsinah Jalaluddin”
“Iya, saudari Marsinah Jalaluddin……..
Kata-kata Salento menggantung di langit-langit ruang sidang. Ia ingat nama itu. Ia juga ingat namanya adalah Salento Damar, Damar----singkatan dari Darwis dan Marsinah, kedua orang tuanya. Ia ingat. Sebelum menjadi anak raja, wartawan, tukang bubur, komposer lagu, bahkan hakim seperti sekarang, ia juga punya keluarga. Keluarga…. Itulah yang ia lupakan.

                                                                  -Ini Kisahnya..
                                                                   Pinrang, 22 Februari 2016



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Novel "Memberi Jarak pada Cinta"

Some Theories About How The Conflict Appears

Naluri: Review Novel "Penguasa Lalat" oleh William Golding