Contoh Surat Pribadi



 Pinrang, 5 Januari 2016
Kepada:
Kawanku tercinta, Syarifah Al-Mukarramah
di Makassar

Kalian membela yang bayar, kami membela yang benar… dan penggalan puisi Taufik Ismail itu adalah ungkapan salam rindu untukmu, Kawan..

Bagaima kabarmu di awal 2016 ini? Lama kita tak berjumpa. Saking lamanya mungkin kau sudah lupa rupa wajahku. Tapi kawan, mengingatmu aku tiba-tiba membenci jarak dan waktu. Mereka telah memisahkan kita mau tak mau. Tapi bukan berarti mereka dapat memisahkan persahabatan kita. Masikah kau ingat, Kawan? Dahulu kita pernah berbagi nasi, berbagi roti , berbagi kasur dan berbagi selimut. Kita pernah terjaga hingga hampir pukul tiga karena dengar musik, me-retail drama tv dan peristiwa unik. Dasar anak asrama.
Berbicara tentang asrama, ternyata aku terlanjur suka dengan seluk beluk kehidupannya. Sehingga jenjang selanjutnya, aku memilih menjadi anak asrama,  SMA Negeri 11 Unggulan Pinrang. Di sekolah ini, aku harap kesan unggul itu akan tumbuh pada diriku sehingga aku pun akan memberi kesan unggul kepada sekolahku di atmosfer pendidikan kita.
Kawan, sangat kusayangkan perpisahan kita. Tapi sekarang, dengan jarak pemisah beribu kilometer pun kita masih bisa bertukar pikiran. Banyak media dan teknologi yang bisa kita gunakan. Salah satunya melalui surat ini, surat yang lebih layak disebut cata tan kecil untuk membantu masa depanmu, masa depan kita. Bukan apa-apa sih, hanya ingin memberitahumu bahwa aku masih suka menulis dan untuk tahu kamu masih suka menulis atau tidak.
Oh ya Kawan, sudah baca puisi hari ini? Jika belum, bacalah dua pasang puisi Taufik Ismail ini: Potong Tiga Kali, Mundur Dua Kali, Mencari Sekolah yang Mengajarkan Rasa Malu dan Kami Muak dan Bosan. Eh, sudahkah kuceritakan kawan? Desember kemarin aku  baru saja bertemu dengan penyair mahsyur itu.
Aku dapat ilmu banyak dari beliau. Beliau menceritakan masa kecilnya pada kami dan itu membuatku bangga bahwa orang seperti beliau ada di Indonesia.
Wajahnya mulai menua, langkah pun tak lagi tegak. Aku takut, kelak ketika ia termakan maut, akankah ada orang yang berani memberikan kritikan pada birokrat bangsa melalui syairnya?  Lucunya, mengapa   Bapak Taufiq tidak menjadi birokrat saja ya. Lebih lucu lagi, meskipun sindiran demi sindiran yang terselip dibalik syair Taufik Ismail itu sudah sangat mengena, yang bersangkutan tetap saja tak menghiraukan. Entah benar tak tahu atau pura-pura tak tahu.
Orang Jepang merasa salah, memang mundur.
Orang Indonesia jelas salah, pantang mundur
(Penggalan puis Taufik Ismail - Mundur Dua Kali)
Kawan, dewasa ini bukan hanya pemerintah yang sepadan dengan dua penggalan puisi Taufik Ismail tadi. Tapi pegawai-pegawai biasa pun tak ingin menyia-nyiakan kesempatan dibalik jabatannya. Pihak sekolah misalnya. Bukan sedikit, Kawan pihak sekolah yang menerima suap agar si pemberi mendapat nilai tinggi. Bahkan dalam UN sekalipun. Kok begitu,yah? Seakan-akan sekarang segala sesuatu dapat dibeli dengan uang.
Lantas bagaimana dengan harga diri? Semurah itukah? Banyak sekali, Kawan. Sudah banyak fakta yang difiksikan oleh uang. Para pendidik memang  mengajarkan kejujuran, mengajarkan bahwa “kejujuran itu akan kalah dari uang”. Peserta didik pun ikut belajar kejujuran, belajar bahwa “kejujuran hal nyata yang dalam kenyataan tidak ada“. Untuk kesekian kalinya, kita merujuk lagi pada puisi Taufik Ismail “Mencari Sekolah yang Mengajrkan Kejujuran”. Bagaimana mungkin tak ada sekolah yang mengajarkan kejujuran di negeri ini?
Kau tahu, kawan? Jujur itu sangat sulit. Itulah alasan mengapa aku dan mungkin kau juga tak tertarik dengan dunia politik. Meskipun dalam hati kecilku, pernah pun kuberpikir bahwa  hal wajar bagi seseorang memiliki hasrat terhadap sesuatu dan cenderung tidak merasa puas dengan apa yang disaku. Itu sifat alami manusia. Kupikir menjadi seorang legislatif, eksekutif, maupun yudikatif yang dapat menjalankan tugas dengan baik tanpa mengocek sepeserpun uang sangat luar biasa. Karna selain faktor sifat manusia itu, pasti godaan demi godaan akan terus mereka hadapi sepanjang mempertahankan kaidah serta kejujurannya.
Heran, aku tak heran. Toh di era modern ini, genarasi muda pun acuh tak acuh dengan semua itu. Jadilah bangsa kita dengan kebodohan yang kompleks.
Kawan, Oleh karena kita tidak tertarik dengan politik, tidak ingin menjadi polisi, tidak suka dengan hakim dan jaksa, tapi kita masih bermimpi negeri bebas korupsi, mari kita menjadi penulis saja. Mari kita tulis syair-syair yang tidak hanya meluluhkan tetapi juga melelehkan hati para koruptor. Kita sampaikan pada mereka bahwa di banyak daerah yang tidak terbaca oleh peta, ada hujan airmata kelaparan, air mata derita akibat subsidi yang harusnya mereka punya, singgah ditangan lain entah kapan kan beranjak.
Inilah tujuan sebenarnya kutulis surat ini. Tiga tahun kita bersama jangankan peringaimu, bunyi kentutmu pun sudah kuhafal diluar kepala. Pernah kau katakan belum memiliki cita-cita, kan? Oleh karenanya, sebagai seorang yang peduli padamu dan bangsamu dan tentu juga bangsaku, mari kita jadi penulis saja.
Kawan, jadi penulis itu yang terbaik. kita kan bukan orang kaya. penulis pun tak butuh kekayaan. tapi penulis butuh ilmu. karenanya, mari kita tumbuhkan kembali budaya membaca sejak dini. kita jadikan buku itu sahabat disetiap waktu. Mari berlatih menulis setiap hari. Agar kita pun bisa seperti Pak Taufik, yang mengukir syair aspirasi anak negeri.
Andai kau ada disana, Kawan. Hari dimana Pak Taufik berbicara dihadapanku, menceritakan masa mudanya, tak ada kata yang dapat kutangkap kecuali semuanya menjerumus pada “banyaklah membaca”.
Hasrat untuk mewujudkan mimpi Negara bebas korupsi itu sungguh besar, Kawan. Dan itu akan membutuhkan bekal yang tak sedikit. Maka dari itu, persiapkanlah dari sekarang. Aku tahu kita bisa,kawan. Mari kita menulis tulisan yang dibaca seantero nusantara agar kawan kita yang merangkak dilantai kemiskinan tersalurkan aspirasinya, hanya dengan menulis, Kawan.
(Tak perlu kau balas suratku, cukup kau balas pada para koruptor..
Katakana pada mereka “selamat”, selamat karna telah menjadi pembunuh rakyat jelata)




Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Novel "Memberi Jarak pada Cinta"

Some Theories About How The Conflict Appears

Naluri: Review Novel "Penguasa Lalat" oleh William Golding