Tetralogi : Senja



#2 Hujan dan Lelaki itu
Hujan yang Tercantik dan Tersayang…
Rasa-rasanya kau akan turun lagi sore ini, terima kasih. Tahukah kau betapa senangnya aku jika tetes airmu mengucur walaupun serintik? Benar saja, kau pun menghujam bumi yang penuh dosa ini. Seperti biasa, tatkala sudah kudengar gentingku berbunyi tik-tik-tik maka dia akan melesat keluar mengadahkan tangan dan mendongkakkan kepala.
Dari balik kaca, aku terbuai dengan dinginmu yang begitu menusuk sampai ke relung hatiku. Kusaksikan, kadang, anak-anak mu yang nakal akan jatuh tepat menerpa matanya, sehingga perih mungkin dia rasakan sedikit. Atau pun mereka---anak-anakmu dengan jahil menyentuh bibirnya yang basah juga karena anak-anakmu yang lain. Jikalau sudah begitu, terpasksa sudah dia lijat, pun air itu bercampur dengan air ludahnya yang pada akhirnya dia telan jua.
Kalau-kalau dia beruntung, maka bisa saja aku mendapat kau di tengah hari. Kata orang , yang seperti itu namanya hujan orang mati, atau lebih tepatnya airmata yang berjatuhan karna langit pun menangisi kepergian sesorang di bumi…
Benarkah itu, bu hujan? Kalau begitu akankah kau menangis besok? Pasalnya akan ada yang pergi kurang dari dua puluhempat jam lagi. Jika kau bertanya mengapa kau harus menangis, maka akan kujawab dengan jawaban terbaikku.
Akulah----si gadis pecinta senja yang kau temui beberapa waktu lalu yang akan kau tangisi besok. Menangislah sederas-derasnya.. karena selain kau dan lelaki itu, maka tak ada lagi yang sudi menangisiku. Siapa yang akan peduli dengan nasib gadis terasingkan sepertiku?
Hujan… hujanku tercantik dan paling cantik..
Lelaki itu, lelaki itu tanpa sepengetahuannya aku tahu bahwa dia senang memandang hujan. Tanpa sepemahamannya juga aku tahu bahwa dia telak memandangku. Kalau kau turun ke bumi, dia akan berteduh juga. Aku masih dapat melihat bayangannya di jendela dan aku tahu kalau-kalau dia sudah masuk ke rumah atau belum.
Tanpa sepemikirannya juga, aku tahu bahwa ia akan berangkat kerja di pagi buta dan akan pulang menjelang senja, sehingga sebelum mengulum gorden jendela, dia akan bersamaku memandang senja walau ada jarak pemisah.
Lelaki itu, tanpa seperkiraannya aku dengar bahwa kemarin lusa dia datang padaku dan bertanya : “Hei, gadis pecinta senja, apa yang sebenarnya kau tunggu dari senja itu?” aku tentu tak tuli. Mau bagaimana pun telinga manusia difungsikan untuk mendengar kata-kata  termasuk dari lelaki itu. Kuharap kau tak cemburu..
Hujan… hujanku tersayang, paling ku sayang, dan akan selalu kusayang..
Lelaki itu bilang aku tak suka dengan kau. Dia lagi-lagi tak tahu, kalau kehadiranmulah yang selalu kutunggu setiap senja itu. Tidak selalu juga, karena kadang, aku menunggu senja yang sebenarnya menunggu kehadirannya yang terus menatap kearah senja dan kearahku.
Dia bilang dia ingin tahu siapa yang kuajak bicara, apa yang kumakan, dimana aku berbelanja, dan mengapa aku tak pernah lalu lalang di jalan setapak depan rumahnya.
Kujawabkah itu, hujan? Toh dia tak bertanya padaku. Namun, aku juga tak menjamin bahwa dia akan kuberi jawaban ketika aku ditanya olehnya.
Aku selalu berbicara. Berbicara bukankah bermain kata-kata? Maka sekarang pun akau berbicara padamu. Kadang juga pada ayahku, ibuku, adikku, bahkan dia, lelakiku. Aku juga sering makan, aku makan kacang-kacangan yang kutanam sendiri di rumahku. Disini ada lebih sepuluh tanaman sayuran yang kutanam, kurawat, dan kumakan  seorang diri.
Aku ini vegetarian dan di pusat perbelajaan di dekat rumahnya itu hanya menjual sayuran yang sudah berlubang daunnya. Terlebih lagi, tak ada yang menuntunku ke sana… aku takut tersesat, kemudian terjatuh, lalu terluka dan tidak ada juga yang akan merawat lukaku.
Tapi lebih dari itu, aku tak ingin membicarakannya sekarang. Sekarang tersisa kurang dari delapan jam sebelum kepergianku. Tolong sampaikan padanya “terima kasih” untuk setidaknya telah peduli secuil bagian hidupku.
Untuk hujanku tercantik yang paling kusayang dan akan selalu kusayang melebihi dari apapun..
Matahari belum turun dan kau belum menangis. Padahal beberapa kali enam puluh detik lagi aku akan berangkat memulai kehidupan baru. Tak apalah kalau kau memang tak dengar atau pura-pura tuli. Biarlah aku pergi tanpa tangisan. Toh, kau juga sudah banyak membuang air mata…..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Novel "Memberi Jarak pada Cinta"

Some Theories About How The Conflict Appears

Naluri: Review Novel "Penguasa Lalat" oleh William Golding